Lolosnya Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai peserta Pemilu 2019 menambah daftar keikutsertaan partai Islam di perhelatan lima tahunan itu. Tercatat, ada Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sebelumnya sudah lolos verifikasi KPU.
Komposisi ini relatif sama persis dengan formasi partai Islam dalam ajang pemilu paska Orde Baru. Menariknya, selama empat kali pemilu dilakukan (1999, 2004, 2009, 2014), partai Islam tak pernah menjadi pemenang.
Episode kekalahan partai Islam dalam pemilu masih saja berlangsung. Tahun 2004, PKS pernah menerbitkan harapan baru saat mengalami lonjakan suara signifikan. Namun, di dua episode pemilu selanjutnya: 2009 dan 2014, suara PKS stagnan di kisaran 7-8%, tak jauh berbeda dengan partai Islam lainnya seperti PAN, PPP dan PKB.
Dalam tulisan ini, yang dimaksud partai Islam adalah mereka yang berasaskan Islam atau yang memiliki basis massa Islam.
Tentu saja banyak sebab mengapa partai Islam belum mampu menjemput takdir kemenangannya. Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak kita melihat dari kisah yang dialami Nabi Ibrahim as.
Ummatan Wahidah
Umat Islam di Indonesia bukanlah ummatan wahidah (umat yang satu dan padu)—meminjam istilah Amien Rais dalam bukunya Cakrawala Islam. Kita adalah umat yang tercerai berai ke dalam beberapa definisi.
Pertama, umat nominal, yakni umat KTP-nya memang Islam, tapi pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap Islam sangat minim—untuk tidak mengatakan sama sekali tidak paham. Mereka adalah penduduk negeri yang ini lahir dari rahim seorang ibu yang Islam. Namun, perilaku kegamaan mereka sama sekali tak mencerminkan Islam; cenderung sinkretis atau abangan dan priyayi, kata Clifford Geertz. Jumlah mereka mayoritas.
Kedua, Umat Islam didefinisikan sebagai himpunan orang-orang yang sudah menjalankan ritus-ritus keagamaan, atau upacara-upacara ibadat, seperti: shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Definisi ini kita sebut definisi ritual. Dengan definisi ini jumlah umat Islam sudah mulai menurun dan berkurang.
Ketiga, Umat Islam adalah himpunan orang-orang yang memiliki pengetahuan yang memadai, atau lebih dari itu, tentang ajaran Islam. Definisi ini kita sebut definisi intelektual. Dengan definisi ini jumlah Umat Islam semakin berkurang saja.
Keempat, Umat Islam adalah himpunan orang-orang yang berusaha mengatur perilakunya ditengah-tengah masyarakat sesuai dengan ajaran Islam, seperti: dalam berpakaian, makan-minum, bertetangga, berniaga, bergaul, dan sebagainya. Definisi ini kita sebut definisi sosial. Dengan definisi ini jumlah Umat Islam semakin sedikit.
Kelima, umat ideologis. Mereka adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman keislaman yang memadai. Modal itu membuat mereka memiliki kesadaran tinggi untuk menjalankan ilmu yang dimilkinya dalam segala bidang kehidupan, termasuk politik. Menurut mereka, Islam adalah agama paripurna yang mengatur segala sendi kehidupan. Karena itu, Islam bisa adalah solusi kehidupan, menjadi ideologi alternatif di saat kapitalisme dan komunisme mulai sekarat.
Pemilih partai Islam sejatinya adalah umat ideologis ditambah sebagian kecil umat ritual, sosial dan intelektual. Sedangkan pangsa pasar terbesar yakni umat nominal, memilih partai nasionalis. Jika bercermin dari hasil pemilu 2009, umat ideologis jumlahnya sekitar 27% (gabungan suara PKS, PAN, PPP, PKB, PBB) dan menjadi sekitar 37% an pada pemilu 2014.
Ironisnya, umat ideologis ini juga tak pernah menjadi ummatan wahidah. Mereka tak pernah mau bersatu. Padahal, jika mereka berkoalisi, gabungan suaranya lebih dari cukup untuk mengusung pasangan capres-cawapres. Bagaimana mau menjadikan 80% umat Islam sebagai satu kesatuan, jika di antara mereka sendiri saja sudah centang-perenang.
Nabi Ibrahim sebagai Ummah
Mari kita mentadabburi surat Al-Anfal: 120 dimana Allah memberi pengakuan kepada Ibrahim sebagai ummah. “Inna Ibrahim kaana ummah” (An-Nahl:120). Artinya, “Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan hanif.”
Umat adalah kualitas; bukan cuma kuantitas. Ibrahim, meski sosok yang tunggal, namun diakui sebagai umat karena kesabaran, keikhlasan, keistiqomahan dan kecerdasan yang dimilikinya. Itulah yang membuatnya eksis. Ibrahim sering diajak menyembah berhala oleh kaumnya di Babilonia. Bahkan, ia diminta untuk menyembah Raja Namrud yang berkuasa. Namun, ia menolaknya. Ibrahim resah dengan kondisi kaumnya. Sang ayah didakwahinya, tapi tak berhasil. Ia pun mulai membantah penyembahan berhala yang dilakukan kaumnya. HingHingga akhirnya Ibrahim menghancurkan berhala yang disembah kaumnya.
Ibrahim menyisakan satu berhala terbesar. Ia menggantungkan kapaknya di leher patung tersebut. Penduduk Babilonia terkejut saat mendapati tuhan-tuhan mereka telah hancur. Mereka yakin, Ibrahim yang melakukannya.
“Apakah engkau yang melakukannya,” kata hakim yang memimpin pengadilan itu.
“Tanyakan saja pada patung yang besar itu,” jawab Ibrahim.
“Bagaimana mungkin, patung-patung itu tak bisa berbicara, bergerak dan berpikir,” kata para hakim.
“Kalau begitu, mengapa kalian menyembah tuhan yang tidak bisa berbuat apa-apa. Mengapa kalian menyembah tuhan yang tidak member manfaat sedikit pun?” kata Ibrahim.
Jawaban itu membuat mereka geram. Ibrahim lalu dibakar hidup-hidup. Namun Ibrahim sabar dan tetap tenang. Ia yakin pertolongan Allah akan datang. Allah kemudian menyelamatkan Ibrahim dengan menyejukkan api yang membakar tubuhnya. (QS. 21: 51-70, 26: 69-82, dan 37: 83-98).
Ujian kesabaran dan keistiqomahan Ibrahim tak berhenti di situ. Beliau tidak menolak ketika harus meninggalkan istri dan anaknya di lembah tandus tak berpenghuni (Q.S. Ibrahiim [14] : 37), tidak juga protes ketika disuruh menyembelih Nabi Isma’il as (Q.S. Ash-Shaaffaat [37] : 102 – 107). Inilah puncak pengorbanan terbesar Nabi Ibrahim as.
Kisah heroik Nabi Ibrahim adalah sebuah episode kesabaran, keteguhan, keistiqomahan, dan keikhlasan yang tak kunjung padam. Inilah jawaban mengapa Ibrahim diakui oleh Allah sebagai umat. Umat adalah sebuah kualitas; bukan kuantitas.
Keikhlasan Ibrahim karena komitmen yang kuat kepada Allah menjadikannya cerdas. Itu terlihat jelas saat ia tak menghancurkan semua berhala yang disembah kaumnya.
Padahal, dengan mudah ia bisa menghancurkannya untuk memuaskan kepentingannya. Mengapa tak dilakukan? Karena Ibrahim memikirkan nasib dan kepentingan umat. Ia ingin umatnya mendapatkan hikmah dan kemaslahatan dengan cara tersebut.
Bagi partai Islam, seharusnya kemenangan bukanlah tujuan utama. Kemenangan harus diletakkan pada urutan belakang. Lebih penting dari itu adalah proses yang mengiringinya. Dan proses itu butuh jembatan kesabaran, keikhlasan dan keteguhan yang kuat yang tak mudah runtuh diterpa gelombang kepentingan, sebagaimana telah dicontohkan Nabi Ibrahim as.
Elit-elit Partai Islam juga harus belajar dari pengorbanan luar biasa Nabi Ibrahim. Puncaknya saat ia diperintahkan untuk menyembelih Ismail, anak yang telah lama dinanti kehadirannya. Kekuasaan bukanlah puncak politik. Kemaslahatan umat, kesatuan umat, kepentingan umat jauh lebih penting dari sekadar kue kekuasaan. Itulah puncak kita dalam berpolitik. Sudahkah mereka menyembelih kepentingan pribadi, partai dan kelompoknya? Sudahkah mereka menyembelih berhala jabatan menteri?
Tahun 2001, Hidayat Nur Wahid, yang saat itu menjabat Presiden Partai Keadilan, memberikan komentar menarik terkait penolakan mereka mendudukkan kadernya di kabinet Megawati. “Kami secara sadar memilih berada di luar struktur, tetapi tetap bersama bersinergi membangun bangsa. Menjadi pejabat partai tidak serta merta menjadi pejabat Negara. Dengan itu diharapkan moralitas tetap terjaga. Berpartai bagi kami untuk memperluas kemaslahatan, bukan untuk meraih jabatan.” (Kompas, 25 November 2001).
PK memilih beroposisi walau tawaran menggiurkan diberikan. Bahkan, posisi menteri di kabinet sudah sepatutnya mereka dapatkan karena berkat inisiatif PK-lah, Hamzah Haz terpilih sebagai calon wakil presiden. (Republika, 9 Juli 2001). Usulan ini disetujui PPP dan didukung PAN, mitra utama PK di Poros Tengah. Akhirnya, Hamzah Haz terpilih sebagai wakil presiden mendampingi Megawati.
Ya, PK saat itu berhasil meneladani Nabi Ibrahim as yang mampu mengeksiskan dirinya sebagai ummah karena berhasil mengalahkan kepentingan dirinya meskipun untuk itu ia harus menyembelih putranya, Ismail as.
Meski kekuatan PK hanya 1,3 persen, namun mereka eksis sebagai umat sehingga memiliki peran penting. PK saat itu berhasil menyingkirkan kepentingan sesaat. Berada di luar struktur pemerintahan adalah langkah cerdas yang hanya bisa lahir dari rahim keikhlasan, tanpa pamrih.
Bisa jadi, kelurusan sikap PK saat itulah kunci keberhasilan mereka menaikkan perolehan suara dengan sangat signifikan: dari 1,3% menjadi 7%.
Apa yang dilakukan PK pada saat itu juga dilakoni PKS pada Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu.
Awalnya mengusung Mardani Ali Sera sebagai cawagub yang diduetkan dengan Sandiaga Uno, dalam perjalanannya,
PKS menduetkan Anies Baswedan dan Sandiaga. Pertimbangan kemaslahatan umat menjadi salah satu faktor kuat perubahan sikap PKS sehingga legowo tak memaksakan kadernya bertarung melawan Ahok-Djarot.
Langkah PKS semacam ini perlu menjadi karakter elit-elit Islam. Adanya variabel 212 seharusnya bisa jadi pemacu untuk mengedepankan kepentingan umat,
bukan cuma kepentingan elit semata yang sangat pragmatis. Setidaknya, partai Islam satu suara dalam mengajukan capres-cawapres.
Tentu saja tak mudah. Apalagi di tengah cengkeraman penguasa saat ini kepada partai Islam. Namun, tak ada yang tak mungkin.
Kita sangat boleh berharap, kiprah partai Islam di pemilu 2019 nanti tak cuma melanjutkan daftar panjang kekalahan, tapi bisa berubah jadi kemenangan.
Erwyn Kurniawan