Hari-hari ini, saat Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan akan mencari dosa-dosamu, saya teringat dengan kenangan 20 tahun lalu, saat berjumpa kali pertama dengan engkau yang datang ke kampus Universitas Nasional, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Engkau berbicara dalam sebuah diskusi politik di aula utama lantai 4. Peserta membludak.
Nama engkau kala itu sedang moncer. Tulisan soal Busang, Kalimantan Timur yang dimuat di Republika, 9 Januari 1997 membetot publik. Berani, lugas dan tanpa tedeng aling-aling ketika banyak cendekiawan justru merunduk.
Di forum itu saya memberanikan diri bertanya. Sebagai mahasiswa politik yang masih baru, di tengah puber ideologi dan pemikiran, saya berpikir tak boleh melewatkan kesempatan emas untuk mengajukan tanya.
“Apakah dengan melihat kondisi saat ini bapak siap memimpin perubahan?” Kira-kira begitu tanya saya.
“Insya Allah siap jika untuk kepentingan bangsa dan negara,” begitu jawab Engkau disambut gemuruh mahasiswa yang hadir.
Jumpa pertama yang penuh kesan bagi saya. Keresahan saya terhadap kondisi negeri yang mengendap dalam jiwa pun seperti tersalurkan dengan persuaan tersebut.
Lalu takdir mempertemukan kami lagi. Di saat situasi negara makin genting akibat krisis moneter dan berlanjut kepada krisis ekonomi, saya kembali bertaut muka dengannya di sebuah masjid Muhammadiyah di Tebet, Jakarta Selatan.
Di acara itu, lagi-lagi saya bertanya. Mirip dengan pertanyaan pertama namun ditambah bumbu penyedap sesuai dengan dinamika yang ada kala itu. Dan Engkau kembali menjawab dengan ciri khasnya: tegas, lugas tanpa tedeng aling-aling.
Kemudian situasi negara makin liar. Tuntutan turunkan Presiden Soeharto bergema di mana-mana. Mahasiswa bergerak. Dan Engkau selalu hadir dalam setiap perjuangan menumbangkan rezim Orde Baru. Hingga pada puncaknya, Soeharto lengser keprabon pada 21 Mei 1998.
Jerih payah Engkau membuat publik menasbihkan dirimu sebagai “Bapak Reformasi”. Gelar yang sangat mulia dan terhormat karena Engkau berjuang dengan gagah berani, tulus dan tanpa pamrih.
Perjuangan politik Engkau tak berhenti. Paska Orde Baru, Engkau membidani lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN). Seingat saya salah satu pendirinya ada Goenawan Mohammad, budayawan sekaligus jurnalis senior yang tulisannya di kolom Catatan Pinggir Majalah Tempo menjadi kegemaran saya.
Engkau kemudian menjadi inisiator lahirnya Poros Tengah pada 1999. Kelihaian politik Engkau membuat KH Abdurrahman Wahid menjadi kyai dan orang NU pertama yang duduk sebagai presiden. Saat itu presiden masih dipilih MPR dan partai nasionalis menguasai parlemen. PDI Perjuangan yang mendulang lebih dari 35,689 juta suara dan Partai Golkar 23, 741 juta suara. Sementara PKB hanya mampu mengumpulkan sedikit diatas 13,336 juta suara.
Engkau berhasil menyatukan partai Islam. PPP, PAN, PKB, PBB dan PK (sebelum menjadi PKS) sepakat mengusung calon alternatif selain Megawati Soekarnoputri. Banyak yang memberikan kesaksian, para tokoh Poros Tengah sepakat menjadikan Engkau sebagai presiden. Namun Engkau menolak dengan alasan sudah menjadi Ketua MPR dan bisa dianggap haus kekuasaan. Engkau pun menyodorkan nama Gus Dur. Padahal, itulah momentum paling tepat untuk menjadi presiden bagi Engkau.
Sejarah terus bergulir. Gus Dur ternyata tak sesuai ekspektasi. Gaya kepemimpinannya tak terkontrol dan kerap memberikan pernyataan kontroversial. Publik mulai menyerangnya. Mahasiswa pun bergerak. Lalu Sang Kyai akhirnya tumbang pada 2001. Nama Engkau kembali dianggap sebagai mastermind karena ketika itu masih menjadi Ketua MPR.
Tahun 2004 kita menggelar pemilihan presiden pertama secara langsung. Engkau maju bersama Siswono Yudohusodo dan mendapat nomor urut 3. Tanpa ragu saya memilih Engkau.
“Pilih siapa nih Wyn?”, tanya mertua saya saat itu.
“Amien Rais saja,” jawab saya.
Engkau akhirnya kalah dari Susilo Bambang Yuhdoyono dan Jusul Kalla. Seingat saya hanya sekitar 17% suara yang didapat.
Usai itu, aktivitas Engkau dalam politik masih berjalan meski tak seintensif sebelumnya. Sesekali memberikan pernyataan bernas dan kritis terkait kondisi bangsa. Sentilan-sentilan kepada rezim pun masih Engkau lontarkan.
Sampai akhirnya kabar mengejutkan itu hadir. Engkau diberitakan menerima aliran dana korupsi alat kesehatan dari mantan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari. Media semacam Kompas, Detik, Tempo dan Metro TV menggorengnya. Lalu Engkau diframing sedemikian rupa seakan-akan sudah pasti korupsi.
Goenawan Mohammad yang dulu sama-sama mendirikan PAN, juga ikut memframing Engkau di akun twitternya. Dia tampilkan foto Engkau yang sedang tertunduk di sebuah rumah sakit. Lalu dituliskan kalimat ini:
Tegaklah, Mas Amien Rais. Anda terima Rp 600 juta tapi belum tentu bersalah. Kita tak boleh cepat mencerca, bukan?
Padahal itu adalah foto saat Engkau sedang menanti kelahiran cucu dari rahim anakmu, Hanum Rais. Dan saat itu Engkau sedang berzikir.
Konferensi pers Engkau gelar melawan opini yang berkembang. Dan sebuah kalimat menggetarkan terucap dari mulut Engkau.
“Saya hanya takut kepada Allah,” kata Engkau dihadapan puluhan wartawan di Jakarta, Jumat, (2/6).
Saya tentu saja tak percaya dengan tuduhan keji korupsi kepada Engkau. Dan terbukti benar. Uang sebesar Rp 600 juta itu dari sahabat Engkau yakni Soetrisno Bachir. Dan dia sudah menyatakan bahwa uang itu miliknya dan Engkau tidak tahu apa-apa.
Tapi kini Engkau hidup di sebuah zaman yang aneh. Menista dan mengkriminalisasi tokoh bangsa dan ulama bagai menu harian. Sebabnya patut diduga soal Ahok yang kalah pilkada DKI Jakarta dan masuk penjara karena menista agama Islam.
Engkau dianggap salah satu aktor penggerak itu semua. Kehadiran Engkau dan ikut berorasi saat Aksi Bela Islam diduga kuat membuat pihak-pihak tertentu geram. Dan akhirnya Engkau pun menjadi korban.
Kini, engkau juga kembali menjadi sasaran. Komentar engkau bahwa pembagian sertifikat tanah oleh Presiden Jokowi kepada masyarakat adalah pengibulan, memunculkan kemarahan Luhut Binsar Panjaitan. Engkau akan dicari dosa-dosanya.
Di usia yang ke 73 tahun, Allah sepertinya menakdirkan Engkau untuk terus berjuang bagi bangsa ini dan berada dalam pusarannya. Dulu Engkau hadir saat Orde Baru di puncak kekuassaanya, lalu menginisiasi Poros Tengah. Kini, Engkau dibutuhkan saat negeri ini berada dalam banyak masalah.
Resikonya: mereka membidik Engkau.
Tapi mereka lupa, Engkau adalah Muhammad Amien Rais, Bapak Reformasi, penumbang Orde Baru.
Saya berharap, kisah 20 tahun saat kali pertama kita bersua yang berakhir dengan sejarah indah, kembali akan terulang.
Erwyn Kurniawan