Organisasi massa Islam didorong untuk melaporkan produsen Viostin DS dan Enzyplex ke kepolisian. Pelaporan ini penting karena berkaitan dengan keyakinan agama yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia.
Anggota Badan Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan, YLKI belum memiliki rencana melaporkan kasus ini ke kepolisian. Sebab, YLKI hanya concerndari sisi pelabelan.
“Tetapi, mestinya yang lebih tepat adalah organisasi Muslim seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Front Pembela Islam,” ujarnya, Ahad (4/2).
Sudaryatmo mengatakan, organisasi Muslim merupakan pihak yang paling dirugikan karena Viostin DS dan Enzyplex mengandung DNA babi. Apalagi, mereka tidak mengumumkan atau menginformasikan sejak awal.
Ia menyebut kasus ini identik dengan peristiwa di Amerika Serikat (AS) beberapa tahun lalu. Saat itu, pernah ada gugatan produk kentang goreng dari sebuah restoran cepat saji yang diklaim menggunakan minyak nabati. Namun, setelah uji laboratorium ternyata produk itu menggunakan minyak hewani.
Hal itu menjadi masalah serius bagi kelompok yang menurut keyakinan harus mengonsumsi produk-produk nabati. “Jadi, yang mengadukannya mestinya asosiasi agama karena ini sangat serius keyakinan agama tertentu yang dilarang mengonsumsi babi. Jadi, asosiasi agama seharusnya bergerak,” ujarnya.
Sudaryatmo mengaku belum bertemu dengan asosiasi agama. Namun, YLKI terus mendorong lewat pernyataan-pernyataan di media agar mereka melapor ke polisi dan menggugat produsen Viostin DS dan Enzyplex.
Dalam kesempatan itu, Sudaryatmo menilai, temuan Badan Pengawas Obat dan Makanan mengenai Viostin DS dan Enzplex sebagai sesuatu yang menarik. Sebab, temuan penggunaan DNA babi dilakukan melalui sampling dari dua produk tersebut.
“Padahal (produk suplemen atau obat) yang lain kan belum tentu tidak mengandung DNA babi juga. Mereka hanya tidak diambil sampling (oleh BPOM),” kata Sudaryatmo.
Karena itu, kata dia, YLKI meminta semua produk yang mengandung DNA babi harus mencantumkan label. Kalau ada produk yang terdapat DNA babi, tapi tidak jujur dan dinyatakan positif maka harus dilaporkan ke kepolisian.
Kepala Laboratorium UI Halal Center Amarila Malik menjelaskan, dalam memperoleh nomor registrasi Badan POM, produsen diharuskan mencantumkan dengan jelas label mengandung babi jika memang ada di dalam suatu produk. Setidaknya, langkah ini untuk menyosialisasikan wajib sertifikasi halal pada 2019 mendatang sebagaimana amanat UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
“Jaminan kehalalan produk yang dikonsumsi atau digunakan mendapat kepastian. Masyarakat menjadi aman dan nyaman,” ujarnya, akhir pekan lalu.
Untuk itu, Amarila meminta masyarakat harus cerdas dalam memakai sebuah produk, apakah layak dikonsumsi atau tidak.
Sebab, pelabelan merupakan penjaminan suatu produk yang dikonsumsi. “Persyaratan Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB) oleh industri juga sudah diberlakukan yang dapat menjadi kepastian tidak terjadi kontaminasi. Jadi, masyarakat diminta cerdas menilai suatu produk jika tidak berlabel,” kata Amarila.
Kasus yang menimpa produsen Viostin DS dan Enzyplex diharapkan menjadi pelajaran berharga untuk semua perusahaan. Perusahaan yang memproduksi produk-produk semacam ini diminta sertifikasi halal supaya masyarakat tidak khawatir.