Ngelmu.co – Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, jumlah anak Indonesia adalah sepertiga dari jumlah penduduk, yaitu sekitar 86 juta jiwa. Jumlah ini tentu signifikan bagi kualitas bangsa kita ke depan, sehingga perlakuan kita terhadap anak saat ini, akan menentukan wajah bangsa dan negara kita di masa yang akan datang.
Menyambut Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 23 Juli 2019, hari ini kita disuguhkan perkembangan anak-anak Indonesia yang semakin mengkhawatirkan. Kejahatan dan ancaman lingkungan setiap saat mengintai tumbuh kembang anak Indonesia.
Dalam lima tahun terakhir, laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, telah terjadi kekerasan terhadap anak setiap tahunnya tidak kurang dari 4000 kasus.
Berdasarkan pemetaan permasalahan anak tesebut, maka kekerasan terhadap anak menempati urutan pertama, sehingga Indonesia sudah berada pada kondisi darurat kekerasan terhadap anak.
Hal ini menggambarkan, bahwa perlindungan anak selama ini belum optimal dilaksanakan, sehingga perlu ada strategi dan kebijakan khusus yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang, ditinjau dari tiga perspektif.
Aspek kelembagaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), yang selama ini dalam program-programnya lebih fokus pada Pemberdayaan Perempuan, tetapi mengabaikan persoalan Perlindungan Anak.
Hal ini bisa kita tengarai dari makin maraknya kasus-kasus yang mencederai perlindungan anak seperti di atas. Kementerian ini juga merupakan kementrian koordinatif, bukan kementrian teknis, di mana posisi kementrian ini di klaster 3, bukan klaster 2 (UU no. 39/2008 tentang Kementrian dan Lembaga).
Hal ini menyulitkan kementerian untuk menggerakkan aparat sampai dengan daerah.
Aspek anggaran, Kementrian PPPA anggarannya tidak signifikan. Bahkan dalam RAPBN tahun 2020, anggaran yang diajukan hanyalah Rp293 miliar, menurun 52 persen dibanding APBN tahun 2019.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Agar Cahaya Kebahagiaan Memancar dari Anak
[/su_box]
Demikian pula dengan APBD, anggaran yang disediakan juga kecil. Misalnya APBD Provinsi Jawa Barat, anggaran yang disediakan hanya 0,03 persen.
Aspek legislasi, banyak Undang-undang terkait perlindungan anak yang sudah dibuat. Namun, implementasinya tidak sesuai dengan semangat perlindungan anak itu sendiri.
Contohnya adalah kasus grasi bagi Neil Bantleman. Kita pahami bahwa UU No 35/2014 sebagai perubahan dari UU no. 23/2002, dibuat berdasarkan semangat untuk melindungi anak-anak dari kekerasan di sekolah atau lembaga pendidikan.
Kemudian diperkuat dengan pemberatan hukuman bagi pelaku, bila pelaku adalah orang dekat, termasuk yang terdapat dalam lingkungan lembaga pendidikan, yang termuat dalam perubahan terakhir dari UU Perlindungan Anak ini menjadi UU No 17/2016.
Pemberian grasi tersebut, menjadi sesuatu yang kontradiktif dengan spirit di atas.
Di samping itu, muatan dari peraturan perundang-undangan yang ada, juga lebih banyak mengandung unsur kuratif daripada preventif. Sebagai wahana tumbuh kembang anak, keluarga belum dipandang sebagai institusi strategis dengan tidak adanya landasan legislasi yang memadai untuk memastikan peran tersebut.
Oleh karena itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengusulkan kepada Pemerintah Republik Indonesia (RI):
- Penguatan Kelembagaan/Kementerian dengan mengubah nomenklatur dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjadi Kementerian Pembangunan Ketahanan Keluarga dan Perlindungan Anak.
- Meningkatkan status Kementerian menjadi kementerian cluster dua.
- Negara harus memiliki komitmen politik anggaran yang tinggi dan serius untuk mengadvokasi peningkatan anggaran untuk perempuan, anak, dan keluarga.
- Mewujudkan lahirnya UU Ketahanan keluarga sebagai RUU lex spesialis yang menjadi payung hukum perlindungan anak, perempuan dan keluarga
Jakarta, 23 Juli 2019
Dra. Wirianingsih, M.Si.
Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga