Berita  

Menilik Aksi Konkret Berbagai Negara Menentang Israel

Negara Menentang Israel

Ngelmu.co – Senin, 6 Mei 2024, pasukan penjajah Israel, memaksa warga Palestina, meninggalkan wilayah bagian timur Kota Rafah di bagian selatan Jalur Gaza.

Perintah dan paksaan itu disampaikan sebelum mereka kembali menyerang Rafah.

Melalui pesan teks, selebaran, dan unggahan di media sosial, pasukan penjajah Israel, memerintahkan sekitar 100.000 orang.

Mereka dipaksa bermigrasi ke kamp-kamp di kota-kota tetangga; Khan Younis dan al-Mawasi.

Sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat (AS), telah memperingatkan Israel.

Agar Israel, menghindari serangan terhadap Rafah; tempat perlindungan terakhir bagi satu juta lebih warga Palestina.

Makin banyak juga suara dari komunitas internasional yang menyerukan agar Israel, menghentikan serangan di seluruh wilayah tersebut.

Bahkan, beberapa negara telah mengambil langkah konkret, menekan pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu.

Baik dengan memutus hubungan diplomatik, menangguhkan penjualan senjata, hingga menempuh jalur hukum internasional.

Aksi konkret menentang Israel

Pekan lalu, Kolombia mengumumkan bahwa mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel.

Turki ikut mengambil langkah nyata dengan menangguhkan hubungan dagang dengan negara tersebut.

Ini merupakan tindakan terbaru, guna memengaruhi aksi pasukan penjajah Israel.

Namun, dampak dari tindakan-tindakan ini bisa jadi hanya bersifat simbolis.

Pernyataan itu keluar dari Yossi Mekelberg, seorang pengamat Timur Tengah dan Afrika Utara di Chatham House; sebuah lembaga konsultasi dan penelitian di London.

“Namun, efek kumulatifnya terhadap isolasi diplomatik atau apa yang mereka sampaikan tentang Israel, dan bagaimana Israel melakukan perang adalah penting.”

Ini bukan pertama kalinya Israel, menghadapi kecaman dari berbagai negara atas tindakannya di Gaza atau Tepi Barat.

Tekanan internasional saat ini adalah yang terkuat.

Sebab, faktanya, skala kehancuran akibat serangan Israel saat ini juga belum pernah terjadi sebelumnya.

Sejak 7 Oktober 2023–hingga detik ini–Israel telah membunuh lebih dari 35 ribu warga Palestina.

Tercatat, 85 persen penduduk juga harus mengungsi dari rumah mereka.

Setengahnya, atau sekitar 1,1 juta orang, bahkan berada di ambang kelaparan; menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dengan latar belakang inilah, berbagai negara memutuskan untuk mengambil tindakan nyata terhadap Israel.

Memutus hubungan diplomatik

Seiring meningkatnya kehancuran di Gaza, sejumlah negara menarik duta besar mereka, atau menangguhkan hubungan diplomatik dengan Israel.

Negara-negara di wilayah Timur Tengah seperti Yordania, Bahrain, dan Turki, memulangkan duta besar mereka.

Aksi ini disusul oleh Chad dan beberapa negara di Amerika Latin, seperti Cile, Honduras, dan Kolombia.

Kini, mereka memutuskan untuk mengambil langkah lebih jauh dengan menangguhkan hubungan diplomatik.

Langkah ini juga diikuti Bolivia dan Belize.

“Hari ini, umat manusia di semua jalan, setuju dengan kami.”

“Era genosida, pemusnahan seluruh bangsa di depan mata kita, di depan kemanusiaan kita, tidak dapat kembali.”

Demikian pernyataan Presiden Kolombia Gustavo Petro–beberapa waktu lalu–saat mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel.

Pada 31 Oktober, Juru Bicara Bolivia juga mengumumkan keputusan yang sama.

“[Bolivia] mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel.”

“Sebagai bentuk penolakan dan kecaman atas serangan Israel yang agresif dan tidak proporsional yang dilakukan di Jalur Gaza.”

Demikian pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri Bolivia Freddy Mamani, saat itu.

Israel melanggar hukum internasional

Dua pekan kemudian, dalam sebuah pernyataan, Belize mengumumkan bahwa mereka menangguhkan hubungan diplomatik dengan Israel.

Alasannya, karena pengeboman tanpa pandang bulu, terus terjadi di Gaza.

Israel terus melanggar hukum internasional, sejak 7 Oktober 2023.

Namun, apa arti pemutusan hubungan ini? Faktanya, masih belum jelas.

Tidak satu pun dari ketiga negara tersebut, memiliki pengaruh politik yang besar di Timur Tengah.

Sebelum krisis ini, hubungan perdagangan dan diplomatik mereka dengan Israel juga tidak banyak.

Meski demikian, Kolombia adalah mitra dagang terbesar kedua Israel di Amerika Latin; setelah Brasil.

Kolombia dan Israel menandatangani perjanjian perdagangan bebas pada 2020.

Angkatan Darat Kolombia menggunakan pesawat dan senjata Israel untuk memerangi kartel narkoba serta kelompok pemberontak.

Namun, untuk saat ini, perjanjian itu tampaknya tidak berpengaruh.

Kementerian Luar Negeri Kolombia juga mengumumkan niatnya untuk mempertahankan aktivitas masing-masing bagian konsuler di Tel Aviv dan Bogota.

“Efek dari pemutusan hubungan diplomatik ini bersifat simbolis, dan menunjukkan rasa terisolasi, serta perubahan sikap terhadap Israel.”

Kurang lebih, begitu analisis pakar dari Chatham House, Mekelberg.

Namun, ia juga menunjukkan bahwa keputusan semacam ini, biasanya memiliki muatan ideologis dan pengaruh politik dalam negeri.

“Ini seperti yang terjadi di Brasil dengan [mantan presiden Jair] Bolsonaro, yang dulu mendukung penuh Israel, tapi ketika sayap kiri kembali [berkuasa], kritik itu kembali muncul.”

Memutus hubungan perdagangan

Pekan lalu, Turki mengumumkan bahwa mereka akan menangguhkan semua perdagangan dengan Israel.

Sampai Israel, tidak lagi memblokade aliran bantuan kemanusiaan yang tidak terputus dan cukup ke Gaza.

Menurut Menteri Perdagangan Turki, transaksi ekspor dan impor yang terkait dengan Israel–yang mencakup semua produk–telah dihentikan.

Tahun lalu, perdagangan antara kedua negara mencapai Rp111,7 triliun.

Turki adalah negara mayoritas muslim pertama yang mengakui Israel pada 1949 lalu.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, hubungan bilateralnya memburuk.

Baca juga:

Episode paling menegangkan terjadi pada 2010 lalu, ketika Turki, memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel.

Saat itu, Israel menyerang enam armada kapal Turki di perairan internasional yang mencoba mencapai Gaza.

Mereka menerobos blokade maritim yang diberlakukan Israel di wilayah tersebut.

Serangan pasukan penjajah Israel itu bahkan menewaskan 10 aktivis pro-Palestina asal Turki.

Pada 2016, hubungan kedua negara kembali membaik.

Namun, dua tahun kemudian, kedua negara kembali mengusir duta besar masing-masing.

Penyebabnya adalah konflik baru terkait pembunuhan warga Palestina di perbatasan Gaza.

Situasi memburuk sejak 7 Oktober 2023. Netanyahu dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, makin sering saling baku tuduh.

Erdogan membandingkan pemimpin Israel seperti Hitler, Mussolini, dan Stalin, sekaligus menyebut Netanyahu ‘penjagal Gaza’.

Sebaliknya, Netanyahu juga melayangkan tudingan terhadap Erdogan.

Penangguhan penjualan senjata

Beberapa negara seperti Kanada, Italia, Jepang, Belgia, dan Spanyol, dalam beberapa bulan terakhir, telah mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan penjualan senjata ke Israel.

Namun, jika menganalisis keputusan itu secara lebih rinci, kenyataan yang ada, agak berbeda.

Di Belgia, hanya wilayah Walloon yang memutuskan untuk menangguhkan penjualan mesiu ke Israel.

Italia juga mengumumkan penangguhan ekspor senjata sejak 7 Oktober 2023.

Namun, menteri pertahanannya mengatakan, mereka tetap mengirim senjata ke Israel yang telah dipesan sebelum tanggal tersebut.

Dengan jaminan, senjata-senjata itu tidak akan digunakan di Gaza.

Hal serupa juga terjadi di Spanyol yang juga mengumumkan bahwa mereka akan menangguhkan pengiriman senjata.

Namun, diketahui bahwa mereka tetap mengirimkan amunisi.

Meskipun Madrid, mengeklaim bahwa senjata-senjata itu dimaksudkan untuk latihan militer.

Situasi di Kanada juga serupa. PM Justin Trudeau, mengumumkan bahwa kemungkinan perjanjian penjualan senjata baru dengan Israel, ditangguhkan.

Namun? Tidak untuk perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya.

Di Jepang, sebuah perusahaan, Itochu Corporation, menangguhkan kolaborasinya dengan produsen senjata Israel.

Di Belanda, sebuah pengadilan, memaksa negara itu untuk menghentikan penjualan pesawat militer ke Israel.

Namun, keputusan-keputusan ini sepertinya belum berdampak terhadap serangan di Gaza yang masih terus terjadi.

Sebab, lebih dari 95 persen impor senjata Israel, berasal dari AS dan Jerman.

Dua negara yang tidak memberikan tanda-tanda jelas, apakah mereka akan menghentikan pengiriman senjata atau tidak.

Menurut Yossi Mekelberg, AS dan Jerman yang memasok sebagian besar senjata.

Pengadilan internasional

Menghadapi serangan Israel di Gaza dan meningkatnya jumlah korban tersebut di wilayah tersebut, pada Desember 2023, Afrika Selatan, memilih strategi berbeda.

Demi menghentikan Israel, Afrika Selatan beralih ke peradilan internasional.

Para pengacaranya mengajukan kasus ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag.

Di mana mereka menilai Israel, telah melakukan genosida terhadap penduduk Palestina di Gaza.

Israel langsung membantah hal itu, meski faktanya, dunia bisa melihat bagaimana Israel, memang melakukan genosida di sana.

Bagaimana dengan Indonesia?

Kementerian Luar Negeri Indonesia, mengatakan, “Secara moral dan politis, Indonesia mendukung sepenuhnya upaya hukum Afrika Selatan atas dugaan genosida Israel di Gaza.”

“Namun, secara hukum, Indonesia tidak bisa ikut menggugat, karena dasar gugatan adalah Konvensi Genosida, di mana Indonesia, bukan Pegara Pihak.”

Demikian penjelasan Juru Bicara Kemenlu Lalu Muhammad Iqbal, melalui pesan teks beberapa waktu lalu.

Pada Januari 2024, pengadilan yang mengadili sengketa antarnegara, mengeluarkan keputusan sementara.

Memerintahkan Israel, mengambil langkah-langkah mencegah tindakan genosida di Gaza.

Namun, pengadilan tidak sampai menuntut Israel, menghentikan serangan di sana.

“Israel muncul relatif tanpa cedera dari proses ini, tetapi fakta bahwa proses [pengadilan] ini terbuka, berarti Israel, telah kalah dalam pertarungan.”

Demikian kata Michael Oren, Duta Besar Israel untuk AS periode 2009-2013.

Meski demikin, saat ini muncul kekhawatiran kuat di antara para petinggi Israel.

Terutama karena langkah-langkah yang mungkin diambil oleh pengadilan internasional lainnya.

Kemungkinan, Mahkamah Pidana Internasional (ICC), mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap para pemimpin politik dan militer Israel.

Termasuk Netanyahu yang merupakan sumber ketegangan.

ICC, memiliki wewenang untuk mendakwa dan mengadili individu atas kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

ICC juga telah menyelidiki tindakan Israel di wilayah pendudukan selama tiga tahun, dan juga tindakan Hamas; baru-baru ini.

Di masa lalu, ICC telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap para pemimpin negara.

Seperti Vladimir Putin dari Rusia, Muammar Gaddafi dari Libya, dan gerilyawan Uganda, Joseph Kony.

Meskipun ICC, belum mengonfirmasi apa pun.

Saat mengunjungi Israel dan Tepi Barat yang diduduki pada Desember 2023 lalu, kepala jaksa penuntut mahkamah, Karim Khan, menegaskan, “Semua protagonis, harus mematuhi hukum kemanusiaan internasional.”

“Jika Anda tidak melakukan hal ini, jangan mengeluh ketika kantor saya dipaksa untuk bertindak,” tegasnya saat itu.

Yossi Mekelberg, mengatakan, “Ke mana arah [keputusannya], saya tidak tahu, tetapi ini seharusnya mengirimkan pesan kepada Israel, bahwa tiap tindakan, memiliki konsekuensi.