Ketika serangan teroris pada dua masjid di Selandia Baru terjadi, kebetulan saya sedang ada di kantor. Salah satu yang saya cermati pergerakan informasi dan pilihan kata atau diksi dari media online dan tv.
Saya cermati layar lebar. CNN Indonesia, Metro TV konsisten dengan diksi ‘penembakan’. Sedangkan TV One secara cepat menggunakan kata ‘serangan teroris’.
Di media online, Republika memakai ‘aksi teror’ walau tidak konsisten. Menarik adalah Kompas yang juga menggunakan diksi ‘teroris’ kepada pelaku penembakan. Sementara itu Detik dan CNN Indonesia tetap tak goyah, keduanya terus memakai kata ‘penembakan atau pembantaian’.
Ketidaksamaan pilihan kata juga terjadi pada para pemimpin dunia. PM Selandia Baru Jacinda Ardem, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan secara tegas menyatakan sebagai serangan teroris.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez, Presiden Uni Eropa Donald Tusk, hingga Presiden Jokowi menghindari kata ‘serangan teroris’. Mereka seperti ‘janjian’ menggunakan diksi ‘pembantaian dan penembakan brutal’.
Pilihan kata adalah cermin cara pandang kita terhadap sebuah fenomena. Cara pandang itu dipengaruhi banyak faktor. Dari sumber bacaan kita, teman-teman di sekitar kita, pergulatan pemikiran dan sebagainya.
Jika kita masih saja tak sama menyebut Tragedi Selandia Baru dengan sebutan ‘serangan teroris’, sepertinya kita harus duduk bersama agar serupa dalam menyikapi sebuah peristiwa keji.
Jangan sampai, karena pelakunya bule, bernama Barat, dan korbannya orang Islam, maka kita menghindari menyebutnya sebagai aksi teroris. Sebaliknya, dengan cepat kita menyematkan kata teroris saat pelakunya muslim, berjanggut dan bernama Ahmad.
Kata Pramoedya Ananta Toer, kita harus berlaku adil sejak dalak pikiran. Dan pilihan kata adalah cerminannya.
Erwyn Kurniawan
Jurnalis