Ngelmu.co – “Saya belum pernah setakut saat ini dalam mengemukakan pendapat berbeda, dengan maksud baik untuk memberikan alternatif. Langsung saja dibuzzer habis-habisan. Masalah pribadi diodal-adil.”
“Zaman Pak Harto, saya sangat longgar diberikan kolom untuk menulis oleh Kompas. Kritik-kritik tajam, tidak sekalipun ada masalah.”
Kicau Pak Kwik Kian Gie, begawan ekonomi senior di akun Twitter-nya.
Twit ini pun menjadi perbincangan hangat di jagad dunia maya. Bu Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja Jilid I, ikut berkomentar.
“I am with Pak Kwik,” cuit Bu Susi.
Beberapa hari kemudian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) merespons-nya di acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI, tahun 2020.
Dalam sambutannya, beliau meminta masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik dan masukan kepada pemerintah.
Respons pemerintah ini mengundang tanda tanya publik. Benarkah pemerintah membutuhkan kritik, atau itu hanya sekadar lips service?
Salah satu tanda tanya itu keluar dari lisan Wakil Presiden RI 2004-2009 dan 2014-2019, M Jusuf Kalla (JK); dalam acara Mimbar Demokrasi Fraksi PKS.
Beliau bertanya secara retoris, “Tunjukkan bagaimana caranya menyampaikan kritik yang aman?”
Pertanyaan ini mendapat respons pemerintah.
Istana, melalui juru bicaranya, menjawab normatif dengan merujuk kepada konstitusi dan perundang-undangan.
Para Buzzer menyerang Pak JK, dengan sangat agresif dan memojokkan.
Melihat respons ini pun, Pak JK merespons santai, “Kalau bertanya saja sudah dipermasalahkan, apalagi mengkritik?”
Pernyataan dan pertanyaan tokoh-tokoh bangsa seperti Pak Kwik, Bu Susi, dan Pak JK adalah gejala kondisi psikologis masyarakat di alam demokrasi yang mengalami regresi [kemunduran] dan semakin terpolarisasi [keterbelahan].
Situasi ini membuat apa yang disebut para ilmuwan psikologi politik sebagai spiral of silence, yakni sebuah kondisi, di mana masyarakat secara kolektif, akan semakin takut menyuarakan suara hatinya.
Sebab, takut dianggap beda, atau karena khawatir mendapat tindakan represif [baik fisik maupun psikis], akibat menyuarakan sikapnya yang berbeda dari arus pemikiran yang berkuasa.
Jika kondisi ini dilakukan terus-menerus, maka cepat atau lambat akan melahirkan pemimpin diktator yang akan menutup keran saluran aspirasi publik secara perlahan-lahan.
Bahkan, nantinya akan membahayakan masa depan demokrasi kita.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018), dua Guru Besar Ilmu Politik Universitas Harvard, meneliti sejarah lahirnya otoriterianisme dan para diktator di berbagai belahan dunia [yang berhasil membunuh demokrasi].
Dalam risetnya, Levitsky dan Ziblatt, menemukan bahwa demokrasi tidak selalu mati melalui proses revolusi atau kudeta militer.
Sejarah membuktikan, bahwa demokrasi bisa mati melalui proses yang demokratis dan konstitusional.
Larry Diamond (2010), seorang ahli demokrasi terkemuka, mengingatkan bahwa trend global democracy saat ini telah memasuki ‘Democratic Recession’ [resesi demokrasi].
Argumen Diamond ini membatalkan thesis ‘Democratic Wave’ Samuel Huntington yang meyakini, bahwa proses demokratisasi akan terus terjadi secara bergelombang, ke berbagai negara.
Para Indonesianis asal Australia, berargumen bahwa demokrasi di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengalami stagnasi, dan belum berhasil melalui proses konsolidasi.
Namun, kondisi demokrasi di era kepemimpinan Presiden Jokowi, justru mengalami pemburukan.
Demokrasi bergeser dari level kemandekan menuju level kemunduran.
Bahkan ada yang menyebutnya sebagai kondisi putar balik haluan [turn around] dari negara demokrasi, ke arah authoritarian [otoriter].
Dalam konteks inilah, membaca laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) terkait Indeks Demokrasi 2020, menjadi relevan.
Dalam laporan tersebut, Indeks Demokrasi Indonesia, mengalami penurunan dengan mendapat skor 6.3.
Angka itu merupakan skor terendah selama 14 tahun terakhir, dengan status sebagai ‘Flawed Democracy’ [cacat demokrasi].
Jika kita membaca saksama, terlihat bahwa salah satu skor terburuk adalah terkait indikator kebebasan sipil.
Ini dapat dipahami, karena realitas politik menunjukan hal demikian.
Salah satu contoh nyata adalah bagaimana pemerintah membajak proses dan narasi penyusunan RUU Cipta Kerja secara hegemonik dan represif.
Hal ini menyebabkan partisipasi masyarakat sangat terbatas, hak-hak pemangku kepentingan terabaikan, proses pembahasan tampak terburu-buru dan tidak transparan.
Di saat yang sama, ketika RUU dipaksa untuk segera disahkan, pemerintah secara eksesif menggunakan narasi hoaks dan hate speech untuk menekan gerakan elemen kritis.
Baik masyarakat sipil, aktivis, aliansi buruh, jurnalis, dan civitas akademik yang bersuara lantang menyuarakan sikapnya menentang pengesahan RUU sapu jagad tersebut.
RUU Cipta Kerja hanya satu contoh. Sebelumnya, kita menyaksikan hal yang sama dengan revisi UU KPK, RUU Minerba, RUU HIP, dan Perpu Nomor 1 tahun 2020.
Dalam isu keberagaman [pluralism], pemerintah menggunakan pendekatan yang oleh Indonesianis asal Australia Greg Fealy sebut sebagai repressive pluralism [mempromosikan keberagaman dengan cara represif].
Pemerintah menggunakan narasi anti-pluralisme dan ancaman radikalisme untuk membubarkan organisasi masyarakat seperti Front Pembela Islam (FPI).
Lebih jauh, dengan delik pelanggaran terhadap aturan protokol kesehatan, aparat penegak hukum harus mengambil jalan yang melewati batas [cross the line].
Dengan melakukan penembakan terhadap enam orang anggota FPI. Tragedi KM 50, menjadi saksi sejarah, bahwa telah terjadi dugaan pelanggaran.
Amnesty Internasional menyebutnya sebagai unlawful killing, karena melakukan penembakan di luar perintah hukum dan pengadilan.
Komnas HAM RI pun melalui proses investigasi lapangan, menemukan bahwa insiden KM 50, telah terbukti terjadi pelanggaran HAM terhadap empat orang anggota FPI.
Fitrah Demokrasi
Indonesia telah melewati sejarah panjang merawat demokrasi. Setelah merdeka, Orde Lama pernah bereksperimen dengan sistem demokrasi liberal-parlementer (1950-1959).
Namun, eksperimen tersebut tidak bertahan lama, karena Presiden Soekarno, dengan dukungan militer, membubarkan parlemen dengan dekretnya, dan Indonesia, memasuki era otoritarianisme di era Demokrasi Terpimpin.
Memasuki era Orde Baru, bangsa Indonesia, masuk kepada pseudo democracy [demokrasi palsu], karena praktik yang terjadi adalah otoritarianisme yang dibungkus dengan demokrasi Pancasila.
Reformasi telah membuka lembaran dan harapan baru bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Namun, kabar buruknya, transisi demokrasi kita belum berhasil melakukan konsolidasi.
Saat ini, demokrasi kita berada di persimpangan jalan sejarah bangsa.
Jangan sampai terulang kembali kesalahan-kesalahan generasi sebelumnya. Kita harus banyak belajar untuk perbaikan di masa mendatang.
Sejatinya, kekuasaan lebih membutuhkan kritikan daripada pujian.
Kebutuhan kekuasaan atas kritikan itu ibarat tubuh yang membutuhkan banyak vitamin.
Semakin banyak kita minum vitamin, maka tubuh kita akan semakin sehat.
Pujian itu seperti lemak yang mungkin lezat dan enak dimakan, tetapi kebanyakan mengonsumsinya, justru akan membuat tubuh tertimbun kolesterol.
Bahkan, menjadi penyebab lahirnya banyak penyakit berbahaya.
Sebagai upaya menyelamatkan demokrasi, seyogianya, kita punya komitmen bersama untuk kembali kepada Fitrah Demokrasi.
Fitrah Demokrasi adalah membangun titik keseimbangan [equilibrium] antara kebebasan dan tanggung jawab.
Demokrasi tanpa kebebasan, akan melahirkan kediktatoran. Kebebasan tanpa ada sikap tanggung jawab, akan melahirkan kekacauan.
Oleh: Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu