“Sang Gelombang! Izinkan saya memanggilnya begitu. Dengan jiwanya yang sangat kaya serta penanya yang indah, ia melahirkan kata-kata yang menghujam, pikiran-pikiran yang tajam, dalam ungkapan-ungkapan yang sangat bertenaga.“
Itulah kalimat pertama yang saya tulis di Pengantar Buku Arsitek Peradaban yang saya editori, 12 tahun yang lalu. Buku yang terbit tahun 2006 itu merupakan proyek bersejarah saya bersama sahabat saya, Ustadz Nandang Burhanuddin lewat usaha penerbitannya, Fitrah Rabbani. Isinya merangkum renungan dahsyat dari rubrik Syazarot di Majalah Inthilaq, majalah Islam bertitel, Jurnal Dunia Islam (JDI) dan berslogan Cahaya Islam Dunia Damai.
Terus terang, waktu itu saya memang jatuh cinta kepada sang penulis, karena seluruh materi yang disajikannya selalu memberikan kelezatan dan energi dahsyat bagi orang seperti saya yang saat itu sedang haus tarbiyah.
Setiap bulan saya selalu berkomunikasi dengannya dan mengkoordinir penulisan artikel Kajian Utama di tempat saya bekerja, Majalah Suara Hidayatullah, dengan ia sebagai salah satu penulisnya.
Sejak saat itu saya bukan hanya berguru dari tulisan-tulisannya, tapi juga dari berbagai diskusi dan obrolan, bahkan dari interaksi sekecil apapun: ketika makan bersama, jalan bersama, dll. Oya, saya hampir lupa menyebut bahwa Sang Gelombang itu tidak lain adalah penulis buku ini, Anis Matta.
Begitulah saya mengakhiri pengantar buku tersebut dengan penuh ekspresi kekaguman. Dan munculnya ide untuk membukukan pemikiran-pemikiran beliau pun merupakan bagian dari ekspresi tersebut. Bagaimana tidak terbius kagum? Saya jadi semakin mengenalnya lebih dekat, bukan hanya pemikiran, tapi juga keteladanan. Salah satunya adalah keteladanan dalam sikap taatnya dengan keputusan syuro pasca reformasi.
Ketika itu beliau termasuk yang tidak setuju jika jamaah merespon dampak reformasi dengan memanfaatkan peluang emas untuk mendirikan partai politik.
Namun setelah keputusan bersama ternyata harus mendirikan partai, beliau bukan hanya patuh, tapi menjadi kader yang paling gigih menjalankan berbagai tugas kepartaian.
Dan bahkan saya menjadi saksi sejarah, bagaimana beliau secara aktif mengemas dan sangat serius menjadi pemancar ideologi “Gerakan Dakwah yang Merambah Negara”, melalui tulisan-tulisan yang digarapnya di beberapa media Islam legendaris, yakni di Saksi, Tarbawi, dan juga di Suara Hidayatullah, tempat saya berkiprah.
Maka ketika saat ini “takdir” zaman yang menyambangi Partai Dakwah PKS sampai pada fase “antitesis” dimana muncul gerakan alternatif yang kontroversial, yakni Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI), saya merasa berkewajiban untuk “membongkar” dan menyebarkan kembali jatidiri dan pemikiran asli Anis Matta yang pernah saya abadikan selama saya “mengawal” beliau.
Maksudnya agar bisa menjadi referensi primer bagi para GARBIers yang saat ini tengah dilanda euforia, supaya lebih utuh dalam memandang beliau. Sehingga, sikap yang seharusnya diambil sekarang, justru bukan menjadi pengagum buta dan pendukung beliau yang gelap mata. Karena akibatnya justru langkah-langkah yang terjadi malah kontraproduktif, yakni jadi meruntuhkan bangunan yang susah payah sudah beliau bangun bersama para qiyadah dan seluruh elemen jamaah selama dua dekade ini.
Setelah mengunyah nasihat-nasehat agung Anis Matta yang saya kompilasi ini, para GARBIers diharapkan justru bisa semakin membuka hati untuk bisa bersikap kritis kepada beliau dan gerakan yang diasuhnya. Dan selanjutnya segera melakukan rekonsiliasi, merapatkan barisan untuk bangkit kembali memenangkan cita-cita dakwah bersama-sama.
ANIS MATTA, SEJATINYA
Sebagai seorang pembelajar cepat yang cerdas dan energik Anis Matta memang melampaui kader-kader tarbiyah seangkatannya. Kerakusannya membaca dan interaksi harokinya yang intens baik secara nasional maupun internasional, membuatnya sangat cepat dan menghujam dalam menguasai ideologi tarbiyah. Karenanya, tak heran jika jamaah banyak memberikan kepercayaan yang tinggi dalam menjalankan tugas-tugas kepartaian.
Dan justru itulah yang membuat siapapun kader dakwah hari ini, terutama para GARBIers, harus merujuk secara utuh pemikiran aslinya. Bukan hanya larut dalam euforia sensasional seperti yang terjadi belakangan ini.
Maka berikut ini saya sajikan beberapa rekaman asli pemikiran beliau dari proyek pencerdasan umat dan harokah dakwah melalui rubrik Kajian Utama Majalah Suara Hidayatullah yang saya gawangi.
Pemikiran-pemikiran orisinil beliau tentang ideologi gerakan dakwah di pentas negara, dengan berbagai landasan, spirit, dan juklaknya, tertuang di rubrik tersebut kurang lebih selama tiga tahun, antara akhir tahun 2001 sampai 2004.
Tema-tema yang dibahasnya memang sengaja didesain untuk mencerahkan dan membimbing para aktivis dakwah dalam menjalani qodratnya, untuk masuk dan mengambil peran dalam kekuasaan.
Pemikiran-pemikiran itu yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan oleh Penerbit Fitrah Rabbani menjadi sebuah buku fenomenal berjudul “Dari Gerakan Ke Negara”. Buku yang memberikan spirit dan disain dalam metamorfosis gerakan dakwah di Indonesia itu, setelah terbitnya langsung dikupas oleh Anis Matta sendiri di gedung DPR RI dalam sebuah seminar besar.
Kemudian dibahas juga dalam roadshow keliling Jawa Barat, termasuk di Kampus STPDN. Dengan izin Allah, saya ditakdirkan menjadi saksi dari torehan-torehan sejarah itu.
Berikut ini saya kutipkan beberapa tausyiah ideologis Anis Matta yang harus menjadi bahan pencerahan bagi para GARBIers. Karena sejatinya, beliau tidak pernah meralat (nasikh-mansukh) pemikirannya tersebut. Sehingga nasihat-nasehat ideologis yang saya kumpulkan setiap bulan selama tiga tahun di rubrik Kajian Utama Suara Hidayatullah (Sahid) itu, hingga saat ini masih tetap segar dan aktual. Dan karenanya harus bisa diterapkan.
ORANG LAIN DITENGAH KITA (Sahid Edisi Februari 2003, Jamaah dan Pengkhianat)
Dalam sejarah pergerakan Islam, ada sebuah fakta yang terulang berkali-kali, bahwa sebagian besar musibah yang menimpa da’wah dan harakah selalu datang dari dalam harakah itu sendiri. Untuk sebagiannya, musibah itu datang dari shaf yang terlalu longgar, yang kemudian tersusupi dengan mudah.
Begitu harakah Islam mulai membuka diri dengan masyarakat luas, masyarakat yang heterogen, maka mereka akan berhadapan dengan persoalan kontrol organisasi. Pengetatan dan pelonggaran berakar pada konsep harakah sendiri tentang mekanisme kontrol internalnya.
Keterbukaan adalah asas da’wah. Semua manusia mempunyai hak untuk dida’wahi, sama seperti mereka berhak juga untuk ikut berpartisipasi dalam da’wah. Jadi gerakan bawah tanah haruslah dianggap sebagai sebuah pengecualian, yang ditentukan oleh tuntutan kondisi lingkungan strategis da’wah.
Tapi di sinilah letak masalahnya; keterbukaan adalah tuntutan da’wah, tapi keterbukaan juga bisa membawa masalah. Salah satunya adalah penyusupan itu; terlalu ketat akan menutup ruang partisipasi dan rekrutmen, terlalu longgar akan membuka peluang penyusupan. Jadi pertanyaannya adalah bagaimana membangun sebuah organisasi da’wah yang terbuka, tapi tetap rapi dan terkontrol?
Sistem kontrol
Apakah yang harus kita kontrol dalam organisasi da’wah kita? Jawabannya adalah gagasan dan orang. Gagasan perlu dikontrol karena manhaj da’wah kita mengalami proses interaksi yang dinamis dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam organisasi dan pada lingkungan strategis. Prinsip-prinsip da’wah yang bersifat fundamental dan permanen, atau yang biasa disebut dengan tsawabit, dengan pikiran-pikiran yang bersifat variabel, atau yang biasa disebut dengan mutaghayyirat, mengalami proses-proses pengujian dan pembuktian yang rumit dan kompleks.
Benturan-benturan yang berkesinambungan dengan realitas melahirkan dinamika dalam pemikiran yang menjadi sumber kekayaan harakah. Tapi dinamika itu jugalah yang harus dikontrol. Kontrol bukanlah merupakan upaya penjegalan atas munculnya gagasan-gagasan baru. Kontrol dilakukan untuk memastikan bahwa proses kreativitas dan pengembangan pemikiran dalam da’wah berlangsung dengan panduan metodologi yang benar. Keluaran (output) yang kita harapkan adalah munculnya gagasan baru yang menjadi sumber kekayaan pemikiran yang mendinamisasi da’wah.
BERTUMBUH DI TENGAH BADAI DENGAN SYURO (Sahid Edisi Desember 2003, Syuro di Masa Krisis)
Dalam masa pembinaan dan pengkaderan, setiap aktivis biasanya tumbuh dengan serapan ideologi, iman dan moral yang kental. Di tengah mihrab atau di sekitar masjid, kita memandang realitas kehidupan dari kejauhan. Kita belum benar-benar bersentuhan dengan realitas. Cita rasa kita tentang realitas masih semu. Kita belum benar-benar merasakannya. Tapi begitu perjalanan dakwah mengantar kita ke alam nyata secara langsung, serta merta semua sisi kepribadian manusiawi kita muncul ke permukaan.
Setidak-tidaknya dalam empat aspek ini sisi-sisi manusiawi itu pasti memperlihatkan diri: wanita, bisnis, politik dan perang. Wanita, uang, kekuasaan dan perang tidak saja menawarkan godaan. Tapi juga seabrek masalah serius yang memerlukan rumusan solusi sistematis.
Godaannya terletak pada fakta bahwa secara instingtif kita ditakdirkan memiliki obsesi yang besar terhadap keempat kesenangan itu. Tapi masalahnya terletak pada fakta bahwa keempat aspek itu merupakan inti masalah yang paling mempengaruhi kehidupan kita.
Keempat masalah itu terlalu kompleks, sangat pragmatis, pilihan-pilihannya terbatas dan harus ada keputusan yang tegas dalam cara mensikapinya. Keempat aspek tersebut memang menawarkan ruang ijtihad yang sangat luas sekaligus riskan. Ruang ijtihad itu bisa merupakan faktor pemicu pertumbuhan, tapi jika tidak dikelola dengan baik, ia bisa berubah menjadi sumber konflik yang panjang.
Pertanyaan-pertanyaan besarnya mungkin akan tampak begini. Pertama, apakah kadar iman dan akhlak komunitas harokah mampu membentenginya dari godaan di sekelilingnya saat ia bertumbuh dan bergumul di tengah realitas kehidupan itu, tanpa harus kelihatan kaku, minder dan gamang?
Kedua, apakah kapasitas ilmu dan pemikiran komunitas harokah cukup memadai untuk mencerna masalah-masalah baru dalam proses pertumbuhan harokah, berijtihad secara ilmiah dan bebas, menawarkan solusi-solusi cerdas, tanpa harus kehilangan orisinalitas (asholah), atau tampak gamang, atau terlibat dalam konflik pemikiran yang destruktif?
Jawaban kuncinya adalah tarbiyah dan syuro. Kalau tarbiyah mengoptimasi pertumbuhan individu dan memberinya pengendalian internal, maka syuro mengoptimasi akal kolektif dan mewadahi dinamika dan kebebasan ijtihad sekaligus mengendalikan proses dan dampaknya.
Sebagai komunitas manusia biasa, harokah mungkin sekali melakukan kesalahan-kesalahan praksis yang bersumber dari kenaifannya.
Tapi itu lumrah. Bahkan untuk sebagiannya tidak terelakkan. Yang harus kita pastikan adalah bahwa kesalahan-kesalahan tersebut bersama seluruh resiko yang ditimbulkannya tidak boleh sampai menghentikan proses pertumbuhan harokah.
Tapi untuk dapat mengantisipasi dampak buruk dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan harokah, harus ada semangat kolektivitas yang tinggi dalam tubuh harokah. Syuro adalah mekanismenya.
BERAMAL ISLAMI DI DALAM DAN MELALUI JAMAAH (Sahid Edisi April 2004, Melawan Koalisi Zhalim)
Walaupun satu keluarga kami tak saling mengenal
Himpunlah daun-daun yang berhamburan ini
Hidupkan lagi ajaran saling mencinta
Ajari lagi kami berkhidmat seperti dulu
Maka jamaah adalah alat yang diberikan Islam bagi umatnya untuk menghimpun daun-daun yang berhamburan itu; supaya kekuatan setiap satu orang saleh, atau orang hebat, atau satu potensi, bertemu padu dengan kekuatan saudaranya yang lain, yang sama salehnya, yang sama hebatnya, yang sama potensialnya.
Jamaah juga merupakan cara yang paling tepat untuk menyederhanakan perbedaan-perbedaan pada individu. Di dalam satu jamaah individu-individu yang memiliki kemiripan disatukan dalam sebuah simpul.
Maka jalan panjang menuju kebangkitan kembali umat ini, harus dimulai dari menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, merajut kembali jalinan cinta diantara mereka, menyatukan potensi dan kekuatan mereka, kemudian ‘meledakkannya’ pada momentum sejarahnya, menjadi pohon peradaban yang teduh, yang menaungi kemanusiaan.
Orang-orang saleh diantara kita harus menyadari, bahwa tidak banyak yang dapat ia berikan atau sumbangkan untuk Islam kecuali kalau ia bekerja di dalam dan melalui jamaah. Mereka tidak dapat menolak fakta bahwa tidak ada orang yang dapat mempertahankan hidupnya tanpa bantuan orang lain, bahwa tidak pernah ada orang yang dapat melakukan segalanya atau menjadi segalanya, bahwa kecerdasan individual tidak pernah dapat mengalahkan kecerdasan kolektif. Bekerja di dalam dan melalui jamaah tidak hanya terkait dengan fitrah social kita, tapi terutama terkait dengan kebutuhan kita untuk menjadi lebih efisien, efektif dan produktif.
Jadi sehebat apa pun seorang individu, bahkan sebesar apa pun kontribusinya, dia tidak boleh merasa lebih besar daripada strategi dimana ia merupakan salah satu bagiannya. Begitu ada individu yang merasa lebih besar dari strategi jamaah, maka strategi itu akan berantakan. Untuk itu setiap indvidu harus memiliki kerendahan hati yang tulus.
Pusat stabilitas dalam jamaah adalah kepemimpinan yang kuat. Tapi seorang pemimpin hanya akan menjadi efektif apabila ia memiliki prajurit-prajurit yang taat dan setia. Ketaatan dan kesetiaan adalah inti keprajuritan. Begitu kita bergabung dalam sebuah jamaah, kita harus bersiap untuk menjadi taat dan setiap.
Jebakan terbesar yang dapat menjerumuskan kita dalam kehidupan berjamaah adalah posisi struktural. Jamaah hanyalah wadah bagi kita untuk beramal. Maka kita harus selalu berorientasi pada amal dan karya yang menjadi tujuan utama kita berjamaah, dan memandang posisi struktural sebagai perkara sampingan saja. Dengan begitu kita akan selalu bekerja dan berkarya ada atau tanpa posisi struktural.
SAATNYA INTROSPEKSI
Jika kita sungguh-sungguh mencerna dengan hati jernih, ketiga tulisan tersebut sudah cukup menjadi pembuka kesadaran bahwa langkah yang diambil oleh GARBI boleh jadi merupakan sebuah kedurhakaan ideologis terhadap prinsip dan cita-cita dakwah yang dijelaskan oleh Anis Matta sendiri.
Perhatikan! Di tulisan pertama Anis Matta mewanti-wanti bahaya penyusupan terhadap jamaah, dan menyatakan pentingnya jamaah melakukan kontrol yang ketat terhadap orang dan gagasan. Ia juga menegaskan bahwa pengontrolan itu adalah sebuah keharusan, dan bukan merupakan penjegalan terhadap gagasan-gagasan baru.
Maka, langkah yang diambil PKS untuk membingkai kembali para kadernya dengan pernyataan setia dalam sebuah pakta integritas, adalah sesuatu yang wajar dan sudah semestinya.
Tapi, langkah itu yang justru dijadikan “delik” oleh para pendukung Anis Matta untuk membangun gerakan sempalan dengan mendirikan GARBI. Padahal itu menyalahi ideologi perjuangan yang digambarkan Anis Matta sendiri.
Di tulisan kedua, ia menjelaskan tentang sunnatullah dalam dakwah dimana jamaah tidak bisa menghindar dari benturan dan godaan yang hebat. Dan karenanya setiap kader harus selalu menjaga semangat kolektivitas dengan mengedepankan serta menghormati syuro. Bukan malah mendelegitimasinya secara sistematis dan masif yang mengakibatkan bukan hanya terhentinya pertumbuhan jamaah, tapi juga penggerusan. Kenyataannya, itulah yang justru dilakukan dengan bangga oleh GARBI.
Dan di tulisan ketiga, Anis Matta menegaskan bahwa apapun yang terjadi, para kader harus menjaga komitmen untuk tetap beramal di dalam jamaah, BUKAN DI LUAR. Orientasi untuk beramal dan berkarya dengan semangat ketaatan prajurit, dan bukan karena hasrat jabatan struktural, harus selalu dijaga demi mendorong kepemimpinan menjadi lebih efektif.
Tapi pada kenyataannya, GARBI justru melakukan yang sebaliknya, menjadikan kasus-kasus pemberhentian sejumlah kader sebagai amunisi untuk menggalang pembangkangannya. Meskipun narasi yang dikemas tampak seksi, keren dan mengagumkan, tapi jika berangkatnya dari amarah, jauh dari cinta, maka langkah ambisius GARBI tidak akan mendatangkan kemaslahatan hakiki bagi masing-masing pendukungnya, juga bagi jamaah, umat dan bangsa.
Maka camkanlah semua nasehat tajam Anis Matta ini. Dan selagi masih ada waktu insya Allah, segera lakukan islah. Tak perlu malu dan gengsi untuk kembali. Karena pada dasarnya kita lahir dari “rahim” yang satu, yakni tarbiyah yang membentuk kita untuk selalu berkumpul dalam mencintai Allah, berjumpa dalam ketaatan, memadukan hati dalam dakwah, dan berkomitmen untuk membela syariat-Nya.
Semoga Allah kekalkan cinta kita dalam naungan hidayah, dengan sepenuh cahaya yang tak pernah pudar, sehingga lapang dadanya dengan gelombang iman dan keindahan tawakal, karena jiwa yang hidup dengan ma’rifah, dan bercita-cita meraih kematian mulia di jalan jihad. Maka izinkan saya tetap menyayangi GARBI sebagai, Gerakan Arah Balik Ikhwah.
Wallahu a’lam bishawab.
Deka Kurniawan
(Mantan Redaktur Senior Majalah Hidayatullah dan Staf Anis Matta Bidang Arsip)