Kedua orang tua saya sudah divaksin Sinovac, dua kali. Usia 79 dan 74.
Saya sendiri sejak Desember 2019, sudah menahan diri tidak ke Bandung.
Dugaan sementara, penularan terjadi saat PRT [pembantu rumah tangga] kami kembali dari kampung di Garut. Saat datang sudah batuk-batuk.
Selama 3 hari ini, kami, anak-anaknya melakukan segala upaya.
- Buka Siranap? Sudah.
- Buka Pikobar? Sudah.
- Telepon berbagai rumah sakit di Bandung dan Jabodetabek? Sudah.
- Mengupayakan ambulans yang ada infus dan oksigen? Sudah.
Teman suami saya, bahkan menyediakan diri naik motor keliling rumah sakit, ngecek keadaan IGD-IGD di berbagai rumah sakit Bandung.
Masih enggak dapat juga. Betul-betul penuh, bahkan di luar kapasitas.
Salah satu tenaga kesehatan di satu RS swasta terkenal di Bandung, nada suaranya sudah frustrasi.
“Enggak ada, Bu. Penuh, Bu, penuh. Enggak ada, enggak bisa, gak bisa.”
Ia hanya mengulang-ngulang itu, saat saya tanya, ‘Apakah bisa ayah saya datang saja ke IGD, dan mendapatkan perawatan?’.
Satu RS lain sama juga. “Antre, Bu, dan antrenya, ya, urus sendiri-sendiri.”
“Enggak ada tempat tidur, bawa oksigen sendiri kalau punya.”
“Ya, kalau mau datang, silakan, tapi nunggu.”
Lalu, ada satu rumah sakit mempersilakan ayah saya datang ke IGD untuk sekadar diinfus. Tapi itu juga harus antre, keadaan tak ideal.
Kami enggak tega, karena ayah saya sudah sempat tak sadarkan diri, karena gak bisa makan.
Bisanya minum madu dan kaldu dikit-dikit. Akhirnya, kami putuskan batal.
Saya buka website Dinkes Bandung, cari kontak Puskesmas terdekat. Di data tersebut, di kecamatan kami, ada 5 Puskesmas.
Saya telepon semuanya. Satu salah nomor, dua tidak diangkat, satu salah sambung, satu menjawab, tapi rumah kami beda jurisdiksi.
Tapi beliau memberi saya nomor hape petugasnya.
Saya telepon, tidak diangkat. Saya WhatsApp, tidak dibalas. Sudah 5 jam yang lalu.
Saya mau lapor ke Satgas Covid setempat pun tidak tahu nomornya.
Saya gak tahu, apakah kasus di rumah saya ini masuk ke laporan pemerintah? Orang rumah sudah gak kepikir lapor-lapor. Sakit semua.
Upaya lain yang kami lakukan, dan lumayan berhasil, seluruhnya kami upayakan di luar sistem kesehatan nasional, alias pakai mekanisme pasar.
Kami berburu oksigen di Tokped [salah satu perusahaan perdagangan elektronik]. Harganya naik terus.
Kami cari cari obat sendiri, konsultasi dengan dokter-dokter yang bisa kami kontak.
Dokter-dokter ini membantu, tapi sejauh mana bisa membantu, kalau fasilitasnya enggak ada?
Masih untung ada obat. Orang tua saya BPJS, tapi lupakan BPJS, ini semua sudah out of pocket.
Kami bukan orang kaya, tapi masih lumayan bisa berupaya lewat mekanisme pasar. Kalau orang miskin? Haduuuh.
Beberapa hari ini, kami anak-anaknya mengirim ini dan itu, obat, suplemen, makanan, vitamin, popok, juice.
Semua usaha cari sendiri, hasil tanya kiri kanan. Kami sudah gak berhitung, apa saja yang bisa kami beli, kami beli dan kirim.
Urusan nanti kami kesulitan uang, urus belakangan saja.
Sekali lagi, kami beruntung karena masih bisa beli, meski gak mudah. Sistem kesehatan ini sudah kolaps, dan kelas menengah cari selamat sendiri-sendiri pakai mekanisme pasar.
Orang kaya, mungkin ke AS untuk wisata vaksin. Yang paling sedih, tentu yang miskin.
Di saat kerepotan gini, eh, Pak Wapres, bikin acara bertajuk ‘Bangga Berwisata’.
Kok, ya, enggak peka. Yang lebih nyesek lagi, pas saya curhat ngomel ke grup tetangga, saya diminta berhenti marah-marah, karena gak solutif.
Nanti stres, terus sakit, katanya. Saya tambah sakit kalau marah pun enggak boleh.
Saya mengkritik kenapa tidak PSBB seperti Maret 2020 saja? Ditegur lagi, disuruh kalem dan gak boleh marah.
Sistem sudah kolaps begini, dan aku gak boleh marah? Keterlaluan. Keterlaluan kalian.
Orang macam kalian yang bikin kekuasaan ugal-ugalan gak pernah mati dan terus menindas.