Oleh: Erwyn Kurniawan
Jika boleh saya memberi saran kepada Prabowo Subianto yang kian gencar bersilaturahim politik jelang pendaftaran capres-cawapres, luangkanlah waktu membaca hasil penelitian soal Party ID. Mengapa? Agar tak salah memilih teman pendamping.
Party ID meneliti perilaku politik uang massa partai pada September-Oktober 2013. Memotret kedekatan antara partai dengan konstituennya. Penelitian dilakukan oleh Indikator, lembaga pimpinan Burhanuddin Muhtadi pada 2013.
Kesimpulannya: kecenderungan menerima politik uang tertinggi massa PKB (47 persen). Terendah, massa pemilih PKS (36 persen).
Dibawah PKB, berturut-turut massa partai yang cenderung menerima politik uang adalah PDIP (46%), Nasdem (46%), Gerindra (46%), PPP (43%), Hanura (42%), Demokrat (39%), Golkar (39%), dan PAN (38%).
Semakin kecil persentase, maka para pemilih partai bersangkutan sudah kebal dengan iming-iming politik uang. Mereka sangat dekat dengan partainya. Sebaliknya, kian besar persentase, maka para pemilih partai bersangkutan sangat rentan terhadap godaan rupiah atau juga sembako.
Party ID adalah kedekatan psikologis dan emosional antara partai dan konstituennya. Semakin rendah skor, maka kian dekat. Menurut Burhanuddin, politik uang terjadi karena Pemilih tidak memiliki kedekatan secara psikologis dengan partai politik atau Party ID. Akibatnya pemilih kemudian melakukan relasi transaksional dengan partai politik. Pemilih menjadikan politik uang dan pendekatan kampanye yang bersifat partikularistik sebagai kompensasi kepada partai politik.
Party ID yang rendah disebabkan karena buruknya kinerja partai politik dalam membangun hubungan dengan massa pemilihnya. Jika partai politik tak berbenah, lanjut Burhan, maka pemilih makin menjauhi partai dan biaya politik makin mahal karena pemilih cenderung memakai pendekatan transaksional dengan partai.
Party ID adalah soal bagaimana sebuah partai memiliki sistem rekrutmen, kaderisasi dan pendidikan politik yang tepat dan optimal. Semakin bagus sistem tersebut dimiliki dan dijalankan maka semakin tinggi tingkat Party ID. Sebaliknya pun demikian. Buruk sistem kaderisasi maka kian rendah tingkat Party ID.
Penelitian ini terbukti. Dalam banyak survei terkait pilihan kader PKS dalam pilkada, pilpres dan sebagainya, persentase mereka yang memilih kandidat yang diusung PKS sangat besar. Sederhananya, pilihan pimpinan partai diikuti dan ditaati oleh kader saat di bilik suara.
Bukti mutakhir adalah pilkada Jabar, Sumut dan Jateng. Lonjakan suara pasangan yang diusung PKS sangat drastis. Jauh dari prediksi hasil survei. Pasangan Asyik di Jabar misalnya, meraih hampir 30 persen suara. Padahal berbagai lembaga survei memperkirakan hanya mendapat kisaran 7 persen.
Ini adalah potret dari Party ID. Kader sami’na waatho’na dengan keputusan qiyadahnya sehingga mereka dengan ikhlas memilih pasangan yang diusung PKS. Mereka tak tergoda dengan politik uang. Alih-alih tergiur pindah ke lain hati karena iming-iming uang dan lainnya, kader PKS justru siap merogoh kocek sendiri untuk memenangkan jagoannya.
Urunan atau infak untuk pengadaan konsumsi para saksi jadi hal biasa di PKS. Ada yang menyumbang Rp 100.000, Rp 200.000 dan seterusnya. Bukan hanya yang mampu. Ada pula yang secara ekonomi pas-pasan, tapi ikut berkontribusi.
Jadi, Party ID sekaligus potret dari militansi dan soliditas jika melihat bagaimana kader PKS berjuang. Party ID bagaikan mesin politik yang siap tancap gas dan digeber untuk kencang melaju di berbagai medan.
Militansi dan soliditas harganya sangat mahal. Jika divaluasikan dalam bentuk uang, jumlahnya sangat besar. Bisa dihitung berapa jumlah saksi dalam setiap pilkada hingga pilpres, kira-kira sebesar itulah nilai uang yang dimiliki oleh PKS. Bisa mencapai miliaran hingga triliunan.
Jika masih ada yang meragukan soliditas dan militansi kader PKS karena adanya upaya memecah belah partai belakangan ini, hasil pilkada Jabar, Sumut dan Jateng jadi jawabannya. Soliditas dan militansi kader PKS sama sekali tak terpengaruh meski ada serangan dari seluruh penjuru mata angin.
Keinginan #2019GantiPresiden harus bisa terealisasi. Salah satu syaratnya tentu saja dengan mencari tokoh pendamping dari partai yang memiliki mesin yang tangguh dan sudah teruji. Jika tidak, maka agak sulit membayangkan ada sosok baru di Istana Negara pada 2019 mendatang.
Saya membayangkan apa yang dilakukan Prabowo dan kandidat capres lainnya ibarat orang yang sedang berada di showroom mobil. Mereka akan membeli mobil dengan melihat berbagai kelebihan dan kekurangannya. Dan pastinya, faktor mesin menjadi pertimbangan sangat penting.
Banyak pilihan. Dari merk hingga warna. Ada merah, kuning, hijau hingga biru. Tapi masing-masing memilliki jenis mesin yang berbeda. Meski semua mobil mempunyai bentuk roda yang sama: bulat.
Jika terpaksa harus menyebut merk, bukankah mesin Alphard dan Avanza berbeda walau rodanya berbentuk sama?