Ngelmu.co – Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menanyakan urgensi pemerintah, mengajukan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP), ke DPR, sebagai pengganti RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Terlebih hal itu dilakukan saat pandemi COVID-19 belum berakhir.
“Apa urgensi RUU BPIP? Sehingga pemerintah sepertinya serius mengajukan, apalagi di tengah kondisi pandemi sekarang,” kata Ketua DPR RI Fraksi PKS, Jazuli Juwaini.
“Toh, BPIP sudah ada, dibentuk dengan Perpres, dan sudah seharusnya menunjukkan kinerjanya,” sambungnya, seperti dilansir Kumparan, Jumat (17/7).
“Tinggal dibuktikan dulu peran dan kiprahnya dalam memperkuat Pancasila, karena publik justru melihat lembaga ini lebih banyak kontroversinya, daripada kinerjanya,” lanjutnya lagi.
Status RUU BPIP—yang memang tidak tuntas dijelaskan oleh pemerintah—juga menjadi pertanyaan Jazuli.
Menurutnya, jika berstatus RUU baru, seharusnya RUU BPIP diajukan lewat tahapan ulang; sejak awal proses pembentukan UU.
“Soal status RUU BPIP ini apa? Harus jelas. Apakah DIM Pemerintah atas RUU HIP, atau inisiatif RUU baru dari pemerintah,” ujar Jazuli.
“Keduanya berimplikasi pada prosedur yang diatur dalam undang-undang,” imbuhnya.
Jazuli pun menilai, jika ternyata daftar inventaris masalah (DIM) yang diajukan pemerintah statusnya atas RUU HIP, artinya, pemerintah melanjutkan RUU HIP.
Tetapi sebaliknya, jika RUU BPIP merupakan inisiatif baru, maka harus diajukan, dibahas di Baleg, baru bisa dimasukkan dalam prolegnas, untuk disetujui di paripurna.
“Sikap Fraksi PKS tegas, sejak awal meminta RUU HIP dicabut, sesuai aspirasi ormas, tokoh, dan rakyat Indonesia, dan tidak perlu ada gantinya,” tegas Jazuli.
Pimpinan DPR, lanjut Jazuli, juga harus menjelaskan kepada semua fraksi, soal status RUU tersebut; termasuk prosedur dan urgensi dari RUU BPIP.
“Semua itu ada alas formalnya, berupa surat resmi, dan semua akan diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” tuturnya.
“Sudah tentu, tidak bisa diputuskan secara lisan melalui pernyataan publik,” tutup Jazuli.
Baca Juga: Kepung Gedung DPR, Massa Tuntut Pembatalan RUU HIP dan Omnibus Law
Begitupun dengan anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR F-PKS, Bukhori Yusuf.
Ia juga tak sepakat dengan usul pemerintah, mengganti RUU HIP—yang dibatalkan pada 16 Juli 2020—dengan RUU BPIP.
Menurut Bukhori, seharusnya pemerintah dan DPR, memastikan dulu nasib RUU HIP, dicabut sesuai kehendak masyarakat yang menolak, atau tidak.
“Persoalan kita ini masih di RUU HIP, belum ke yang lain. Jadi tidak boleh dikecohkan,” tegasnya, seperti dilansir CNN, Jumat (17/7).
“Tidak boleh ada tricky, tidak boleh ada menelikung di tengah jalan. RUU HIP ini harus dipastikan dulu,” sambung Bukhori.
RUU HIP, lanjutnya, masih tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Hal itu dibuktikan dalam daftar 37 RUU Prolegnas Prioritas 2020 yang diketok pada Rapat Paripurna DPR RI, Jumat (17/7).
Ia juga menyampaikan, pemerintah dan DPR, seharusnya mencabut RUU HIP terlebih dulu, baru kemudian mengajukan RUU BPIP, lewat mekanisme berlaku.
“Tidak bisa masuk ke dalam (prolegnas) kalau barang baru,” kata Bukhori.
“Barang lamanya (RUU HIP) belum dihapus, tiba-tiba masuk baru lagi. Tidak konsisten,” imbuhnya.
“Kalau pemerintah menawarkan satu DIM, itu pertanyaan saya, DIM untuk RUU apa?” sambungnya lagi.
“Kalau pemerintah itu mau menawarkan DIM perbaikan RUU HIP, maknanya, dia tidak mendengarkan masyarakat,” pungkas Bukhori.
Baca Juga: Adu Mulut PKS dan Gerindra di DPR soal BPJS Kesehatan
Sebelumnya, pemerintah yang diwakili Menko Polhukam, Mahfud MD, menyerahkan konsep RUU BPIP kepada DPR.
Konsep itu diserahkan langsung kepada Ketua DPR RI, Puan Maharani, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (17/7).
RUU ini, kata Mahfud, merupakan respons pemerintah terhadap RUU HIP yang menuai kontroversi.
RUU BPIP, lanjutnya, akan menegaskan Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, dan mencantumkan Tap MPRS XXV/1966, sebagai konsiderans.