Ngelmu.co – Pemerintah, lewat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, memberi kewenangan impor gula–pun garam–langsung kepada para pelaku usaha.
Dengan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, mereka dapat mengimpor gula dan garam, tanpa melalui importir terdaftar.
Kebijakan ini menjadi perhatian tersendiri bagi Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah.
Ia, menilai keputusan tersebut akan berdampak buruk bagi para petani lokal.
“Nanti ketika gula tebu panen, gula rakyat panen, tiba-tiba harga anjlok, karena ada gula rafinasi keluar ke pasar rakyat. Ini kasihan petani,” tutur Rusli, Kamis (19/11) lalu.
Sebab, meski mungkin di atas kertas semua bisa jadi importir, kenyataannya tetap hanya segelintir yang akan sekaligus dapat melakukannya.
“Yang punya infrastruktur dan modalnya banyak, mereka ini bakal jadi importir untuk pengusaha lain. Dengan kata lain, itu hanya memindah pelaku impor saja,” kata Rusli.
Meski tidak semua mengimpor, tetapi menurutnya, tetap saja kemungkinan rembesan gula ke pasar, akan lebih banyak.
“Pemerintah akan kewalahan memeriksanya. Kebijakan itu juga tidak menjawab persoalan gula mahal,” tegas Rusli.
Lebih lanjut, ia menjelaskan apa yang sebenarnya harus pemerintah selesaikan saat ini.
Salah satunya adalah panjangnya aktor yang diindikasikan bermain, serta membuat harga gula impor menjadi mahal.
Di akhir, Rusli, mengingatkan jika kebijakan ini hanya akan memperburuk keadaan.
Baca Juga: Anggota DPR Tantang Mentan Turunkan Impor, “Berani Tidak Konferensi Pers Bersama Tahun Depan?”
Sebelumnya, kebijakan ini disampaikan oleh Erick Thohir, dalam diskusi online Jakarta Food Security Summit 5, Kamis (19/11) lalu.
“Pemain dari industri gula yang memang butuh untuk perusahaannya, maupun garam industri, impor langsung saja. Kenapa harus ada birokrasi tambahan?” ujarnya.
Mengutip Tirto, Senin (23/11), Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen, juga merespons hal tersebut.
Ia, menjelaskan, dengan jumlah importir gula yang saat ini hanya 11, pemerintah belum mampu mengantisipasi rembesan gula rafinasi.
Artinya, ketika peluang lebih besar, menurut Soemitro, kemungkinan gula impor bocor ke pasar konsumsi tradisional, juga menjadi jauh lebih banyak.
Ia pun menyoroti, dampak buruk dari kebijakan tersebut, yakni gula dalam negeri yang petani lokal suplai, akan memiliki semakin banyak pesaing.
Bahkan, bukan tidak mungkin menjadi tidak laku di pasaran.
Sebab, gula impor yang bocor, kata Soemitro, harganya lebih terjangkau, dan kualitasnya pun lebih bagus.
“Kami ini sudah dipaksa jual gula dengan harga murah, untuk diketahui, harga pokok yang dijual untuk petani itu sudah ditetapkan Rp9.100, di tahun 2016,” jelasnya.
“Sampai 2020 enggak naik. Harganya sudah tidak menguntungkan,” keluh Soemitro, Kamis (19/11).
Ia pun menyarankan, terkait hal apa yang seharusnya pemerintah lakukan, daripada menelurkan kebijakan yang berpotensial memicu masalah.
“Selesaikan rente saja. Jangan ganggu sistem yang ada,” tegas Soemitro.
Rente yang dimaksud adalah pihak-pihak yang hanya membuat rantai distribusi menjadi semakin panjang.
Sebab, dengan adanya rantai distribusi yang semakin panjang, sama sama membuat harga gula menjadi kian mahal.
Mendengar ketakutan ini, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, pun menjawab.
“Kalau dia (pengusaha) melanggar atau membocorkan ke market, membuat garam rakyat turun, ya, izinnya dicabut.”
Baca Juga: Terkontaminasi COVID-19, Cina Hentikan Impor Makanan Beku dari Sejumlah Negara
Namun, ‘ketakutan’ bukan hanya muncul dari petani, tetapi juga pihak pengusaha.
Sebagaimana kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Industri Pengolahan Makanan dan Peternakan, Juan Permata Adoe.
Ia, menilai pemberian kebijakan kewenangan impor langsung ke pelaku industri, bukan langkah yang bijak.
“Tidak semua perusahaan memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk melakukan impor,” kritik Juan, Kamis (19/11).
Menurutnya, jika memang permasalahan terletak di birokrasi tambahan, sebagaimana kata Erick Thohir, maka ada cara lebih baik.
Cara yang Juan maksud, adalah dengan memberi para pelaku usaha makanan dan minuman, akses ke petani tebu atau pabrik gula lokal.
“Alangkah indah, pemerintah memberikan peluang untuk memberikan investasi swasta bekerja sama dengan lahan perkebunan rakyat yang selama ini sudah ada, yang selama ini sudah dikontrol oleh BUMN.”
Juan, juga menyampaikan alasan lain, mengapa ia menolak kebijakan tersebut.
Sebab, menurutnya, para pelaku industri juga mungkin tidak tertarik, karena hanya akan mendapat pekerjaan tambahan, yakni mencari sumber pasokan impor.
“Daripada jadi importir, mending kerja sama dengan yang sudah ada,” pungkas Juan.