Ngelmu.co – Pemerintah China dilaporkan, akan menulis ulang kitab suci Al-Qur’an, Injil, dan semua teks suci agama besar lain yang ada di negaranya, agar sejalan dengan Partai Komunis China (PKC).
Sejalan dengan PKC
Dilansir Tempo, edisi baru kitab suci, disebut tak boleh mengandung konten apa pun yang bertentangan dengan kepercayaan partai tersebut.
Seperti yang disampaikan oleh seorang pejabat tinggi partai, yang dikutip dari laporan Daily Mail, 24 Desember 2019.
Jika terdapat paragraf yang dianggap salah oleh sensor, maka akan diubah atau diterjemahkan kembali sesuai ketentuan mereka.
Meskipun Al-Qur’an dan Injil tak disebutkan secara khusus, tetapi PKC menyerukan, “Evaluasi komprehensif agama klasik yang ada bertujuan mengubah konten yang tidak sesuai dengan kemajuan zaman,”.
Dilansir The Sun, laporan mengatakan bahwa China ingin teks-teks suci dari semua agama besar, ditinjau kembali. Disesuaikan dengan era Presiden Xi Jinping.
Secara resmi, China mengakui semua agama, tetapi mereka pun akan melakukan pengawasan ketat terhadap praktik keagamaan.
Mereka menyoroti, perumpamaan Yesus Kristus yang harus sejalan dengan Partai Komunis.
Al-Qur’an dan Injil, bukan satu-satunya kitab suci yang akan ditinjau kembali.
Sebab, semua teks suci dari agama besar, termasuk Sutra Buddha, akan mereka tinjau, sesuai dengan kampanye Sinofikasi.
Mengikuti Instruksi Presiden Xi Jinping
Perintah itu muncul di bulan November, pada pertemuan yang diadakan oleh Komite Urusan Etnis dan Agama Komite Nasional Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China, yang mengawasi masalah etnis dan agama di China.
Di mana 16 pakar, tokoh, dan perwakilan agama yang berbeda dari Komite Sentral Partai Komunis China menghadiri konferensi tersebut, seperti dilansir Kantor Berita Xinhua.
Pertemuan itu pun diawasi oleh Wang Yang, Ketua Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China.
Ia menekankan, otoritas agama harus mengikuti instruksi Presiden Xi Jinping, dan menafsirkan ideologi agama yang berbeda sesuai dengan ‘nilai-nilai inti Sosialisme’.
Begitupun ‘syarat dengan zaman’, seperti dirilis laporan surat kabar Prancis Le Figaro.
Sistem Keagamaan Karakteristik China
Wang juga mendesak, agar para pejabat membangun sistem keagamaan dengan karakteristik China.
Para pejabat yang setuju dengan arahan Wang, mengklaim bahwa dengan mengevaluasi kembali buku-buku agama, sama saja dengan mencegah pemikiran ekstrem dan ide-ide sesat yang mengikis negara mereka.
Pertemuan di bulan November itu, berlangsung saat China menghadapi kritik global atas kebijakannya terhadap agama, terutama di Xinjiang.
Dokumen yang bocor menunjukkan bagaimana mereka menjalankan sistem pusat pendidikan ulang untuk mengindoktrinasi minoritas Muslim Uighur, di Xinjiang.
Pedoman untuk mengoperasikan pusat-pusat penahanan dan instruksi bagaimana menggunakan teknologi untuk menargetkan orang, jelas terungkap pada dokumen-dokumen itu.
Kamp-kamp di Xinjiang juga diungkap, bukan untuk pelatihan kerja sukarela, seperti yang diklaim Beijing.
Para pakar dan aktivis PBB mengklaim, setidaknya ada satu juta etnis Uighur dan Muslim lainnya yang ditahan di kamp-kamp tersebut.
Bahkan, mantan tahanan pun menuturkan, bahwa Muslim dipaksa mengonsumsi daging babi, dan berbicara menggunakan bahasa Mandarin, di kamp-kamp tersebut.
Pemerintah China yang awalnya menyangkal keberadaan kamp, akhirnya mengakui telah membuka pusat pendidikan kejuruan di Xinjiang.
Namun, mereka mengatakan, tujuannya untuk mencegah ekstremisme, dengan mengajarkan bahasa Mandarin dan keterampilan kerja.
Dewan Negara Republik Rakyat China telah menerbitkan tiga white paper atau laporan resmi untuk merespons kritik dunia atas isu Uighur di Xinjiang.
Laporan tersebut menegaskan, bahwa kamp merupakan fasilitas kejuruan sebagai bagian dari upaya mencegah terorisme dan separatisme Uighur.
Baca Juga: Lewat Komik, Seniman Ini Beberkan Penyiksaan China ke Etnis Uighur
Tetapi Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, mengatakan pada bulan November, bahwa dokumen yang bocor membuktikan otoritas China telah terlibat dalam penindasan masif dan sistemik terhadap Muslim dan minoritas lainnya.
Lagi-lagi, Kementerian Luar Negeri China menyangkal.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, menuding beberapa media mencoreng upaya kontra-terorisme dan anti-ekstremisme China di Xinjiang.
Kepada The Guardian, Kedutaan besar China di London membantah adanya dokumen semacam itu, dan mengatakan dokumen tersebut adalah fabrikasi murni, serta berita palsu.