Ngelmu.co – Seorang pengurus Gereja Paroki Santo Herkulanus, Depok, Jawa Barat, SPM (42), diamankan pihak kepolisian, atas dugaan pencabulan terhadap beberapa misdinar—pemuda yang melayani pastor dalam upacara gereja Katolik—Ahad (14/6) lalu.
Setelah pendalaman kasus, SPM, diduga kerap melayangkan ancaman, tak memberi tugas kepada para misdinar, jika tak menurut saat hendak dicabuli.
“Sekitar tanggal 22 Mei 2020, ada keluarga korban yang mau melaporkan ke polisi,” kata pendamping hukum para korban, Azas Tigor Nainggolan, seperti dilansir Kompas, Senin (15/6).
Maka itu pihak gereja sepakat, membawa kasus ini ke ranah hukum, dengan menunjuk Tigor, sebagai pendamping para pelapor.
“Ini terus berkembang, dan kami bikin tim investigasi lebih. Ada psikolog, ada romo (pastor), ada saya di bidang hukum, ada yang biarawati,” jelasnya.
SPM, yang telah ditahan pihak kepolisian, terancam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Sebelumnya, sebagai pembina—sejak awal tahun 2000-an—ia diduga mencabuli sejumlah anak yang aktif di bawahnya.
Berdasarkan penelusuran internal gereja, kasus pencabulan paling lama, terjadi di 2006 silam.
Tetapi kasus baru terendus, 14 tahun kemudian, tepatnya pada Maret 2020 lalu.
“Sekitar bulan Maret, pengurus-pengurus pada curiga, alumni-alumni misdinar juga curiga, karena perilakunya pelaku,” kata Tigor.
“Dia suka pangku-pangku, suka peluk-peluk. Ini cerita dari teman-teman,” sambungnya.
“Akhirnya mereka mencoba mendalami apa yang mereka lihat, melalui orang tua para misdinar, dan teman-teman alumni misdinar,” lanjut Tigor.
Baca Juga: Di Altar Gereja, Seorang Pastor Lakukan Hubungan Terlarang di Tengah Pandemi Corona
Pihak gereja pun membentuk tim investigasi internal, yakni para pengurus lain.
Mereka meminta pandangan Pastor Paroki Gereja, Yosep Sirilus Natet.
Pasalnya, kasus pencabulan ini telah menyeret nama seorang pengurus senior gereja.
Natet pun menyampaikan, bahwa gereja harus berbesar hati, mengakui borok di internal mereka.
Baginya, kasus ini pun harus diselesaikan secara hukum. Apalagi yang menjadi korban adalah anak-anak.
Terlebih, akibat perlakuan ‘miring’ SPM, para korban mengalami trauma.
“Maret itu sudah adalah gelagat, omongan-omongan dari umat. Akhirnya ada umat yang mau mengadukan kejadian itu, bertemu dengan saya,” ungkap Natet.
“Saya katakan, kalau gereja punya semacam kehendak untuk mengungkap segala yang menjadi borok atau keburukan yang terjadi, kenapa tidak?” imbuhnya.
“Kalau ini memang sesuatu yang terjadi di dalam gereja, korbannya umat saya, pelaku juga umat saya, kita harus tetap menegakkan keadilan,” sambung Nantet.
“Bahwa apa yang terjadi adalah pelanggaran,” lanjutnya.
Penyelidikan tim investigasi internal gereja pun berlanjut, dengan mengundang satu per satu orang tua para misdinar.
Namun, tak mudah mendapatkan jawaban yang bernas, ketika para orang tua ditanya soal kemungkinan anak mereka menjadi korban pencabulan oleh SPM.
“Saya melihat ini ada situasi, di mana korban tidak tahu bahwa dirinya sedang dilecehkan, karena mereka masih anak-anak, paling kecil 11 tahun,” beber Tigor.
“Ketika saya mengobrol dengan orang tuanya, juga orang tuanya kadang tidak ngeh, tidak tahu,” imbuhnya.
“Anak-anaknya juga tidak menceritakan ke orang tuanya. Kemudian kalau mereka tahu, ada juga orang tua yang takut dan malu,” sambung Tigor.
Tetapi ada salah satu anak, yang akhirnya berani mengaku sebagai korban pencabulan oleh SPM.
Ia mengaku lewat orang tuanya, telah mengalami hal itu pada Maret lalu, yang kemudian disampaikan kepada tim investigasi internal gereja.
Berangkat dari sana, investigasi terus berkembang, hingga pengakuan korban lainnya pun bermunculan.
Setidaknya, hingga saat ini, kata Tigor, sudah ada 11 anak yang memberikan pengakuan.
Di mana enam di antaranya sudah jelas, sedangkan lima lainnya, masih butuh pemeriksaan lebih lanjut.