Ngelmu.co, JAKARTA – Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus terjadi akan menekan pelaku usaha impor atau importir. Akibatnya, para importir itu harus memikul biaya yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Jumat (18/5) mencapai level Rp 14.107, melemah dibandingkan hari sebelumnya yang sebesar Rp 14.070. Bahkan level Rp 14.107 tersebut merupakan yang tertinggi sejak awal bulan Mei yang berada di level Rp 13.936.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, para pengusaha kalangan menengah merupakan yang paling tertekan dengan pelemahan rupiah. Sementara perusahaan besar dinilai memiliki daya tahan yang lebih tinggi, karena telah melakukan lindung nilai (hedging) untuk mengurangi fluktuasi nilai tukar rupiah.
“Kalau perusahaan besar kan pasti ada hedging yang dilakukan. Tapi kalau perusahaan menengah, kan kami enggak ada kesempatan untuk hedging, jadi mereka yang paling merasakan dampaknya,” ujar Shinta dikutip kumparan, Senin (21/5).
Dia pun meminta kepada pelaku usaha lainnya untuk melakukan antisipasi terburuk jika rupiah terus melemah.“Jadi ini kita harus antisipasi, berapa lama ini akan terjadi, sampai sejauh mana pemerintah bisa mengendalikan. Tapi kami harap jangka pendek, dan bisa secepatnya diatasi,” jelasnya.
Shinta menyebutkan, saat ini titik keseimbangan kurs bagi pengusaha adalah di sekitar level Rp 14.000. Artinya, pengusaha masih bisa menerima fluktuasi rupiah di kisaran tersebut.
Namun jika kurs rupiah mencapai Rp 15.000, kata dia, pengusaha sudah berhati-hati dan melakukan sejumlah langkah. Untuk importir, misalnya, mempercepat proses impor. “Paling enggak, enam bulan ke depan Rp 14.000, ini sesuatu yang bisa kami kendalikan, tapi kalau sampai Rp 15.000 ini kan harus berhati-hati, warning. Ada langkah yang harus diambil pengusaha,” tambahnya.
Adapun jika pengusaha mengambil langkah cepat tersebut, seperti importir, hal ini dikhawatirkan akan berdampak ke sektor lain, seperti neraca dagang. Impor yang semakin tinggi juga akan memperdalam defisit transaski berjalan (Current Account Deficit/CAD).
Pada kuartal I 2018, CAD tercatat USD 5,5 miliar atau sebesar 2,1% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), melebar dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya 1% terhadap PDB. Namun demikian, CAD ini masih di bawah 3% terhadap PDB, atau masih dalam kondisi yang aman.