Ngelmu.co – Apakah penyebab penundaan pemilu sebenarnya adalah karena para elite politik tidak siap kalah di 2024 mendatang?
Seperti diketahui, tiga partai politik (parpol), yakni PKB, PAN, dan Partai Golkar, kompak menyuarakan penundaan pemilu.
Suara mereka terdengar setelah DPR, KPU, dan pemerintah menyepakati pemilu serentak berlangsung di tanggal 14 Februari 2024.
Lalu, mereka menjadikan kondisi pandemi, ekonomi, hingga kepuasan terhadap Jokowi, sebagai alasan usulan penundaan.
Namun, benarkah karena itu?
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (UI), Panji Anugrah Permana, S.IP, M.Si, Dr. phil., menyampaikan pandangannya.
Ia menyebut, isu penundaan pemilu malah menunjukkan bahwa ketiga parpol tadi, tidak siap menghadapi pertarungan di 2024.
“Alasan menunda Pemilu 2024, karena ketidaksiapan secara psikologis para elite politik untuk kalah dalam kontestasi Pemilu 2024.”
“Bukan alasan ekonomi, seperti yang mereka ungkapkan di publik.”
Demikian tutur Panji, dalam webinar bertajuk ‘Penundaan Pemilu Menerabas Pembatasan Masa Jabatan? Tinjauan Aspek Hukum, Politik dan Ekonomi‘.
Perbincangan Panji bersama belasan orang lainnya itu juga terunggah di kanal YouTube Tata Negara FHUI, Rabu (9/3/2022).
Sebelumnya, kata Panji, Indonesia memang pernah melakukan penundaan pemilu.
Namun, ia menekankan, kali ini perlu alasan ‘extraordinary’, karena wacana penundaan diawali dengan mencari-cari alasan.
Semacam untuk memulihkan ekonomi, dan juga keberlanjutan kebijakan; menyoal ibu kota negara (IKN) baru.
Lebih lanjut, Panji menyampaikan, wacana ini juga timbul lantaran ketimpangan situasi politik formal.
Sehingga berakibat kepada tidak ada masa garansi kekuasaan politik di Indonesia, secara permanen.
“Struktur politik kita yang kompetitif, cenderung oligarkis, momentum politik kohesif,” ujarnya.
“Sehingga mereka memiliki rasa percaya diri lebih, untuk terus menggulirkan wacana penundaan pemilu,” sambung Panji.
Baca Juga:
Pelaksanaan pemilu, sejatinya, sangat penting dalam demokrasi. Namun, ada juga yang tidak kalah penting, yakni instrumen legitimasi pelaksanaannya.
“Legitimasi jadi sarana kontrak sosial, dari mereka yang akan menguasai dan rakyat yang dikuasai,” kata Panji.
“Kalau misal, pemilu ditunda, basis legitimasinya dari mana?” sambungnya bertanya.
“Dimungkinkan memang dengan mengubah konstitusi. Namun, ketika itu terjadi, basis konstitusi pemberian hak suaranya di mana?” tanyanya lagi.
“Maka basis legitimasi inilah yang harus bisa dipecahkan, jika benar pemilu ditunda,” pungkas Panji.