Ngelmu.co – Semua berawal sejak tahun 2012 lalu, kehidupan Baiq Nuril, guru honorer di SMAN 7 Mataram, menjadi tak tentu arah. Wanita berkeluarga ini, kerap menerima telepon dari Muslim, kepala sekolahnya. Sampai di sini, mungkin belum ada yang janggal, ya? Namun, nyatanya isi pembicaraan yang Muslim sampaikan di telepon adalah cerita tentang hubungannya dengan wanita lain, yang bukan istrinya.
Itulah sebabnya, istri dari Isnaini ini, merasa tak nyaman. Karena bukan sekali dua kali Muslim menceritakan hal tak pantas ke telinganya, tetapi sering.
Bahkan, selain melalui telepon, Nuril juga sering dipanggil ke ruangan kepala sekolah, sekadar untuk mendengarkan hal yang sama, saat kerja lembur.
Hal itu membuat Nuril tertekan, karena ia jadi diisukan memiliki hubungan spesial dengan atasanya tersebut. Meskipun sudah menampik, omongan miring masih terus berseliweran.
Sampai akhirnya, Agustus 2012, sekitar pukul 16.30 WITA, secara diam-diam Nuril merekam pembicaraan atasannya saat bercerita masalah yang mengandung unsur asusila.
Hal itu ia lakukan, semata-mata untuk membuktikan jika dirinya benar-benar tidak memiliki hubungan spesial dengan atasannya.
Awalnya, rekaman tersebut hanya ia simpan di ponsel pribadinya. Tak ada niat menyebarkan. Baru dua tahun kemudian, tepatnya Desember 2014, Nuril didesak kawan-kawannya untuk menyerahkan rekaman pembicaraan Muslim.
Nuril sempat menolak. Namun, terus didesak, akhirnya ia luluh dan menyerahkan ponsel berisi rekaman, kepada IM, salah satu rekannya.
IM dan rekan-rekan guru pun melaporkan kejadian tersebut ke Kepala Dinas Pendidikan. Sejak itulah, rekaman perbincangan yang direkam Nuril, menyebar.
Meski hal itu membuat karier Muslim sebagai kepala sekolah tamat, karena ia di-mutasi, tak berarti Nuril mengantongi keadilan.
Karena Muslim yang harusnya bersalah, justru marah dan meminta Nuril menghapus rekaman dari ponsel, laptop, pun flashdisk. Usai sampai di situ? Tidak, karena Nuril pun harus menerima nasib, dipecat dari pekerjaannya.
“Semua sudah dihapus, flashdisk sudah dibuang. Sudah damai waktu itu, cuma dia masih marah karena di-mutasi itu. Akhirnya dia melapor ke Polres Mataram. Dari Polres Mataram itulah, di BAP semua,” ungkap Isnaini, seperti dilansir dari Kompas, (5/11/2017).
Akhirnya, Selasa (17/3/2015), ibu dari tiga anak itu dilaporkan oleh Muslim, ke Polres Mataram, atas dugaan pelanggaran UU ITE. Akibat laporan tersebut, Nuril harus menjalani pemeriksaan di kantor polisi, dan resmi ditahan, Senin (27/3/2017).
Penahanan terhadap Nuril, berdampak pada Isnaini. Pria itu mau tak mau, haru berhenti dari pekerjaannya, karena harus mengurus buah hati yang masih kecil.
Beberapa bulan setelah kejadian tersebut, Muslim naik jabatan. Ia menjadi kepala bidang di salah satu Dinas di Pemkot Mataram.
Di sisi lain, tim hukum Nuril, mengajukan surat penangguhan penahanan dengan alasan kemanusian, karena Nuril memiliki tiga orang anak yang masih sangat membutuhkan perhatian dari kedua orangtua. Terlebih Nuril, bukan sosok yang menyebarkan rekaman pembicaraan tak pantas seorang Muslim.
Peristiwa ini pun menyita perhatian banyak pihak. Hingga akhirnya, 28 nama baik dari lembaga maupun perorangan, bersedia menjadi penjamin penangguhan penahanan untuk terdakwa Nuril.
- Kepala Dinas Sosial,
- Kepala Dinas Perdagangan,
- Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
- Ketua DPRD Lombok Timur,
- Ketua Komisi V DPRD Provinsi NTB, dan
- Beberapa lembaga lainnya.
Melalui Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani, mereka mengatakan jerat hukum melalui penuntutan di pengadilan dengan dakwaan melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) atas Baiq Nuril, adalah bentuk kriminalisasi.
Sebab lagi-lagi, Nuril bukan merupakan pihak yang mendistribusikan atau menyebarkan rekaman perbuatan asusila tersebut. Ia justru korban, yang dipaksa mendengar cerita tak senonoh, dari Muslim kepada dirinya.
“Penahanan terhadap Ibu Nuril adalah tindakan yang berlebihan, mengingat Ibu Nuril memiliki tiga orang anak. Tidak ada hal-hal yang membuatnya akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti, atau mengulang perbuatannya,” tegas Yati, Selasa (16/5/2017).
Menurutnya, Nuril harus dilindungi, bukan justru dikriminalisasi atas perbuatan asusila yang dilakukan oleh, Muslim, atasannya. Maka, Yati meminta hakim untuk membebaskan Nuril dari penahanan pun segala tuntutan hukum.
Perjuangan tersebut membuat Nuril divonis bebas oleh PN Mataram, Kamis (27/7/2017), karena tidak terbukti melanggar Pasal 27 Ayat 1 UU ITE. Namun, semua belum berakhir.
Sebab Rabu (26/9/2018), Jaksa justru mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), hingga MA memutuskan Nuril bersalah. Wanita malang itu dinilai melakukan tindakan pidana, merekam perbincangan perbuatan asusila kepala sekolahnya.
Surat panggilan untuk Nuril pun dikeluarkan, Selasa (16/11/2018). Di mana dalam surat tersebut, Nuril harus menghadap Jaksa Penuntut Umum pada Ahad (21/11/2018).
Masyarakat luas pun menolak penahanan atas Nuril. Hingga Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril membuat petisi daring di laman change.org. Petisi tersebut ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, agar memberikan amnesti bagi Baiq Nuril.
Pembuat petisi, Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu menyoroti putusan MA, yang menyatakan Nuril bersalah, dan dijatuhi hukuman penjara selama 6 bulan serta denda sebesar Rp 500 juta.
Sementara di Mataram sendiri, seratusan simpatisan yang tergabung dalam Solidaritas untuk Nuril, sudah menggelar aksi tolak eksekusi terhadap Nuril, di Jalan Udayana Mataram, Ahad (18/11/2018).
Nuril yang turut hadir dalam acara tersebut pun terlihat menangis dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya terdiam, hingga tiba-tiba lemas sembari memegang kepalanya.
Muslim yang dilaporkan balik oleh Nuril, Jumat (19/9/2018), pun akhirnya diperiksa selama delapan jam, pada Selasa (27/11/2018). Pria beristri itu terlihat bingung sembari bersandar di kursi dan memegangi kepalanya.
Sayangnya, laporan Nuril atas tindakan dugaan pelecehan seksual secara verbal oleh Muslim, ke Polda NTB, dihentikan setelah dinilai tak miliki cukup bukti.
“Karena minimnya saksi dan petunjuk yang dapat membantu mengungkap peristiwa sebagaimana yang dilaporkan, sehingga perkara tidak dapat ditingkatkan ke penyidikan,” ujar Kasubdit IV Renakta Ditreskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati.
Pujawati mengatakan, pihaknya kesulitan mencari unsur perbuatan asusila seperti apa yang dilaporkan Nuril dan kuasa hukumnya.
“Kami juga tidak menemukan pemenuhan unsur perbuatan cabul. Berdasarkan ahli pidana, fakta peristiwa tersebut belum memenuhi unsur,” pungkasnya.
Laporan Nuril pun resmi dihentikan Polda Nusa Tenggara Barat, Senin (28/1/2019).
Tim kuasa hukum Baiq Nuril, akhirnya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA, Kamis (3/1/2019). Sayangnya, 8 bulan kemudian, Kamis (4/7/2019), MA menolak PK yang diajukan, karena memutuskan Nuril bersalah, yakni melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE.
Kembali terancamnya Nuril dipenjara enam bulan dan denda Rp 500 juta, mendapat tanggapan dari Kuasa hukumnya, Joko Jumadi. Ia mengatakan, kliennya terpukul mendengar keputusan MA yang menolak PK kasusnya.
“Bagaimanapun, dia sedih lah menerima putusan MA ini, tetapi keyakinan Nuril bahwa dia tidak bersalah. Meskipun MA menganggapnya bersalah dengan ditolaknya PK,” kata Joko.
Mendengar hal ini, Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), Damar Juniarto pun mendesak Presiden Jokowi untuk secara proaktif, segera memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun.
Amnesti tersebut dinilai mendesak, pasca MA menolak PK yang diajukan oleh Nuril, yang sekali lagi ditekankan, dialah yang sebenarnya merupakan korban pelecehan seksual.
“Sekaranglah saat yang tepat bagi Presiden Jokowi sebagai pemegang otoritas tertinggi negara, untuk menghadirkan keadilan bagi seorang warganya, dengan memberikan amnesti. Langkah ini tidak harus menunggu korban untuk mengajukannya,” ujar Damar dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/7/2019).
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga didesak, agar segera memberi pertimbangan kepada Jokowi, terkait perlunya amnesti sesuai Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Sementara ditemui di tempat terpisah, Jokowi enggan mengomentari putusan MA yang menolak PK Baiq Nuril, dalam kasus perekaman ilegal. Meski ia menghormati putusan MA, Jokowi mengaku perhatiannya tak pernah berkurang, sejak kasus ini mencuat.
“Saya tidak ingin komentari apa yang sudah diputuskan mahkamah, karena itu pada domain wilayahnya yudikatif,” kata Jokowi, di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Jumat (5/7/2019).
Namun, Jokowi berjanji akan menggunakan kewenangannya, jika Nuril memang mengajukan grasi atau amnesti yang merupakan kewenangan Kepala Negara.
“Nah, nanti kalau sudah masuk ke saya, di wilayah saya, akan saya gunakan kewenangan yang saya miliki. Saya akan bicarakan dulu dengan Menkumham, Jaksa Agung, Menko Polhukam, apakah amnesti atau yang lainnya,” pungkas Jokowi.
Pertanyaannya, akankah Baiq Nuril bisa segera menggenggam keadilan? Semoga.