Ngelmu.co – Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 adalah tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), resmi menekennya pada 31 Agustus 2021.
Namun, aturan tersebut justru dikritisi oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan ditolak oleh Majelis Ormas Islam (MOI).
PKS Tanyakan Dasar Hukum
Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah, menanyakan dasar hukum Permendikbud Ristek tersebut.
“Secara mendasar, kita perlu ingat, bahwa setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah–dalam hal ini Mendikbud Ristek–harus mengacu pada UU 12/2011 [tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan].”
“Di dalam Pasal 8 ayat 2 undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa peraturan menteri, bisa memiliki kekuatan hukum mengikat.”
“Manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi. Maka terbitnya peraturan menteri ini, menjadi tidak tepat.”
“Karena undang-undang yang menjadi cantolan hukumnya saja belum ada,” tegas Ledia.
Jauh dari Nilai Pancasila
Lebih lanjut, ia juga menyayangkan beberapa muatan dalam Permendikbud Ristek tersebut, yang jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Bahkan, menurut Ledia, cenderung kepada nilai-nilai liberalisme.
“Sangat disayangkan, bahwa satu peraturan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan terkait kekerasan seksual, justru sama sekali tidak memasukkan landasan norma agama.”
“Di dalam prinsip pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, yang termuat di Pasal 3.”
“Padahal, Pancasila–dengan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa–adalah dasar negara yang [tiap silanya dijabarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila] merupakan cara manusia Indonesia, bersikap dan mengambil keputusan,” jelas Ledia.
Selain tidak adanya landasan norma agama, sambungnya, berbagai muatan–dalam mengambil sikap–Permendikbud Ristek ini juga banyak memasukkan unsur liberal.
“Definisi kekerasan seksualnya menjadi bias,” kata Ledia.
“Misalnya saja, ketika memasukkan salah satu jenis kekerasan seksual pada ‘penyampaian ujaran yang mendiskriminasi identitas gender’.”
“Belum lagi, masuknya persoalan ‘persetujuan’, atau yang biasa dikenal sebagai consent, menjadi diksi yang berulang-ulang digunakan.”
“Sebagaimana bisa ditemukan pada Pasal 5 ayat 2,” papar Ledia.
“Bahwa, beraneka tindakan atau perilaku, akan masuk dalam konteks kekerasan seksual, bila tidak terdapat persetujuan dengan korban.”
“Ini tentu merupakan satu acuan peraturan yang berbahaya,” kritiknya.
“Ditambah dengan tidak dimasukkannya norma agama, generasi muda kita seolah digiring pada satu konteks,” sambung Ledia.
“Bahwa ‘dengan persetujuan, suatu perilaku terkait seksual, bisa dibenarkan’. Jelas-jelas berbahaya ini,” tegas Ledia.
Lalu, ia juga mencontohkan awal dari terjadinya banyak hubungan seks di luar nikah, adalah soal persetujuan, alias suka sama suka.
Belum lagi, kini mulai bermunculannya perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender, secara terang-terangan.
“Padahal, dalam norma agama, seks di luar nikah juga perilaku LGBT, bukan sesuatu yang dibenarkan,” kata Ledia.
Sekadar Sanksi Administratif Internal
Secara keseluruhan, Ledia, juga melihat bahwa isi dari Permendikbud Ristek 30/2021 ini belum mencegah pun melindungi secara hukum.
Namun, hanya sekadar menyampaikan sanksi administratif internal.
“Setelah dicermati, peraturan menteri ini hanya menambah beban birokratisasi administrasi baru, dengan segala ketentuan perizinan.”
“Dan belum menampakkan satu klausul pun yang bisa memastikan proses hukum berjalan, untuk melakukan pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual.”
Ledia juga mencontohkan, bagaimana Pasal 7 dan 8, berfokus pada birokratisasi administrastif.
Ancaman cukup berat juga belum nampak dalam keseluruhan muatan Permendikbud Ristek tersebut.
“Padahal, salah satu sarana efektif dalam pencegahan adalah terdapatnya ancaman hukum yang jelas dan tegas, secara pidana.”
“Agar orang berpikir seribu kali, kalau mau melakukan kejahatan.”
“Tambahan pula, Permendikbu Ristek ini juga seolah menyampingkan proses hukum, bila terjadi suatu kasus.”
“Karena nampak lebih berfokus pada pengadilan internal, dengan keberadaan satgas di lingkungan kampus,” kritik Ledia lagi.
Maka itu ia berharap, Permendikbud Ristek 30/2021, dibatalkan.
Ledia juga meminta agar Kemendikbud Ristek, dapat lebih fokus kepada pembinaan sistem perkuliahan yang berkarakter Pancasila.
MOI Tolak Permendikbud Ristek 30/2021
Majelis Ormas Islam (MOI) tegas menolak Permendikbud Ristek 30/2021, karena menilai, justru dapat melegalkan seks bebas di kampus.
MOI terdiri dari 13 ormas Islam, yakni:
- Persatuan Umat Islam (PUI);
- Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII);
- Syarikat islam (SI);
- Mathla’ul Anwar;
- Al Ittihadiyah;
- Al Washliyah;
- Persatuan Islam (PERSIS);
- Wahdah Islamiyah;
- Al Irsyad Al Islamiyah;
- Hidayatullah;
- Ikatan Dai Indonesia (IKADI);
- Badan Kerja sama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI); dan
- Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).
Adapun berikut 12 sikap MOI, terhadap Permendikbud Ristek 30/2021:
1. Tegas Menolak
Menolak Permendikbud Ristek ini, karena secara tidak langsung, telah melegalisasikan perzinaan, dan dengan demikian, akan mengubah serta merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus, yang semestinya perzinaan itu kejahatan, malah kemudian dibiarkan.
2. Mengingatkan Pemerintah
Mengingatkan, bahwa tujuan pendidikan, sebagaimana diamanahkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 3 adalah mengembangkan potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
3. Nampak Mengadopsi Draf Lama RUU P-KS
Terlihat sangat nyata, bahwa Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021, mengadopsi draf lama RUU P-KS [Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual], yang telah ditolak masyarakat luas dan DPR, pada periode 2014-2019, karena jelas bertentangan dengan Pancasila.
4. Paradigma Sexual Consent
Sebagaimana landasan filosofis draf lama RUU P-KS, hal yang sama jelas tersurat dalam Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021, yakni paradigma sexual consent.
Paradigma ini memandang, bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual, tidak lagi agama.
Namun, berganti kepada persetujuan dari para pihak.
Selama tidak ada pemaksaan, telah berusia dewasa, dan ada persetujuan, maka aktivitas seksual menjadi halal.
Meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.
Termasuk perilaku yang dianggap tidak bermasalah adalah persetujuan untuk membuka pakaian seseorang.
Mengusap dan meraba seseorang, membuat konten video porno, hingga melakukan transaksi serta aktivitas seksual.
Jelas, hal ini sangat bertentangan dengan moralitas berbasis Pancasila.
5. Praktik Zina dan LGBT
Praktik Zina dan LGBT adalah salah satu sebab utama, maraknya tindak kejahatan seksual terhadap perempuan maupun anak-anak, selama ini.
Maka dengan terbitnya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini, justru berpotensi memfasilitasi berkembangnya praktik ini.
6. Mengambil Konstruksi Berpikir Barat
Penggunaan definisi relasi kuasa dan relasi gender, jelas tidak diambil dari Pancasila.
Melainkan diambil dari konstruksi berpikir Barat, seperti Marxisme, yang bertentangan.
7. Tak Kompatibel dengan Moralitas Ketimuran
Dengan fitrah penciptaan manusia, Tuhan telah menciptakan jenis kelamin.
Adapun gender adalah orientasi seksual yang boleh berbeda dari jenis kelamin, maka konsep gender yang diterima luas di Barat, tidak kompatibel dengan moralitas ketimuran di Indonesia.
8. Soal LGBT
Penderita LGBT adalah pasien yang harus dibantu kesembuhannya, melalui Lembaga Konseling.
Menjadi tugas negara untuk memfasilitasi konseling di tingkat pendidikan tinggi.
Sehingga setiap manusia, dapat hidup sesuai fitrah kelahirannya.
Oleh karenanya, upaya pendidik atau tenaga kependidikan, dan masyarakat kampus, yang berusaha meluruskan penyimpangan orientasi seksual, haruslah mendapatkan apresiasi dan dukungan penuh.
Bukan malah berpotensi dikriminalisasi, sebagaimana Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi:
“Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban.”
Jangan sampai, upaya pendidikan berbasis fitrah manusia, dianggap melakukan ‘kekerasan seksual’, hanya karena dianggap ‘mendiskriminasi identitas gender seseorang’.
9. Menyoroti Acuan Identitas Gender
Mengingatkan pemerintah, bahwa identitas gender, jika mengacu pada definisi WHO, sangat jelas, membuka karpet merah bagi LGBT:
“Gender identity refers to a person’s deeply felt, internal and individual experience of gender, which may or may not correspond to the person’s physiology or designated sex at birth.”
[Identitas gender merujuk kepada perasaan terdalam seseorang, internal, dan pengalaman gender secara individual, yang boleh atau tidak boleh dikaitkan dengan keadaan psikologi atau jenis kelamin tertentu ketika lahir]
Definisi ini, jelas bertentangan dengan kodrat manusia yang sudah ditentukan jenis kelaminnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sejak kelahiran seorang manusia di dunia ini.
10. Potensi Praktik Monopoli
Permendikbud Ristek ini juga berpotensi melahirkan praktik ‘monopoli’, khususnya dalam bab pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Cenderung memihak kepada gerakan feminisme radikal, dan secara otomatis, telah memarginalkan peran ulama.
[Termasuk] Organisasi berbasis keagamaan, keluarga, dan bahkan menganggap para pendidik di pendidikan tinggi, tidak kompeten dalam menangani berbagai persoalan terkait seksualitas, dan dalam melakukan penanaman nilai-nilai agama dan moralitas.
Hal ini terlihat pada Pasal 24 ayat (4) yang berbunyi:
“Anggota panitia seleksi sebagaimana dimaksud ayat (1), harus memenuhi syarat:
a. pernah mendampingi korban kekerasan seksual;
b. pernah melakukan kajian tentang kekerasan seksual, gender, dan/atau disabilitas;
c.pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu kekerasan seksual, gender, dan/atau disabilitas; dan/atau
d. tidak pernah terbukti melakukan kekerasan, termasuk kekerasan seksual.”
11. Soal Comprehensive Sexuality Education
Permendikbud Ristek ini juga berpotensi menyebarkan pemikiran kebebasan seksual, selama dilakukan secara aman.
Melalui penggunaan kondom, dan seks sehat, meski dilakukan di luar pernikahan.
Melalui apa yang berkembang di dunia, sebagai Comprehensive Sexuality Education (CSE).
Sebagai bagian yang selalu terikat dengan Model Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dalam paradigma Barat.
Sebagaimana Pasal 6 ayat (2), disebutkan:
“…mewajibkan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk mempelajari modul pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang ditetapkan oleh Kementerian.”
12. Harapan MOI kepada Kemendikbud Ristek
Dunia pendidikan adalah benteng terakhir dalam menjaga moralitas bangsa, dari serbuan pemikiran asing yang merusak nilai-nilai Pancasila di NKRI.
MOI masih percaya, bahwa Kemendikbud Ristek, sangat peduli dalam persoalan ini, dalam pengembangan regulasi pendidikan di NKRI.
MOI mendukung segala upaya penghilangan dampak negatif dari aktivitas seksual, tapi dengan cara yang lebih komprehensif.
Sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Sehingga kalimat ‘kekerasan seksual’, dapat diganti dengan ‘kejahatan seksual’, yang lebih kompatibel dengan KUHP [Kitab Undang-undang Hukum Pidana], dan mencakup berbagai bentuk perzinaan yang telah dilarang agama.
Sebagai wujud Berketuhanan yang Maha Esa, dan Berkemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Dengan demikian, MOI meminta kepada Mendikbud Ristek, untuk mencabut Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021, atau digantikan dengan aturan baru yang sejalan dengan jiwa dan nilai-nilai Pancasila, dan dalam pembahasannya, melibatkan organisasi keagamaan yang juga menjadi stakeholder dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia.
Agar setiap peraturan yang keluar, dapat berlaku efektif, karena telah sesuai dengan norma-norma masyarakat Indonesia yang ber-Pancasila.
Baca Juga:
Anda dapat menyimak naskah lengkap Permendikbud Ristek 30/2021, di sini…