Ngelmu.co – Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, menanggapi kasus tewasnya mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Mohammad Hasya Athallah Saputra.
Seperti diketahui, Hasya tewas tertabrak mobil yang dikendarai oleh purnawirawan Polri, AKBP Eko Setio Budi Wahono pada 6 Oktober 2022.
Kecelakaan maut itu terjadi sekitar pukul 01.30 WIB di Jalan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Pada Sabtu (28/1/2023) lalu, akun Twitter @NarasiNewsroom, mengunggah potongan video pernyataan ibunda Hasya, Dwi Syafiera Putri (Ira).
Menurut Ira, kala itu sang suami bertanya, “Mana yang nabrak [Hasya, anak saya]?”
Lalu, Eko Setio Budi Wahono seketika berdiri dan menjawab, “Saya yang menabrak, saya yang melindas anak bapak. Bapak mau apa?”
View this post on Instagram
Mendapati video viral itu, Fadli Zon–melalui akun Twitter pribadinya–memberikan respons:
Saya pernah jadi korban ditabrak truk ketika dibonceng motor bapak saya.
Bapak saya meninggal di tempat, saya pun luka parah dan koma.
Saya tuntut penabrak, akhirnya saya menang di pengadilan.
Harus ada keadilan menyangkut nyawa manusia. Apalagi yang dihadapi, manusia arogan.
Mendapati pernyataan Fadli Zon tersebut, warganet pun melayangkan beragam respons.
Berikut di antaranya:
@muazzam1011: Mungkin karena yang menabrak Anda hanya sopir truk, jadi ditangkap…
@otong1997: Jangan cuma komen, Pak. Bantu kelurga korban untuk mendapat tanggung jawab dari pelaku.
@pranhsb: Bantu dong, om, keluarga korban, dengan segenap power-mu dan partaimu.
Demi rasa keadilan buat publik juga, karena kalau ini dibiarkan, besok akan ada lagi peristiwa serupa.
Baca Juga:
Sebelumnya, Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Latif Usman, mengatakan, “Kenapa [Hasya] dijadikan tersangka ini?”
“Dia ‘kan yang menyebabkan [kecelakaan], karena kelalaiannya, jadi dia meninggal dunia,” sambungnya.
Menurut Latif, kecelakaan terjadi saat tengah hujan dan jalanan licin.
Lalu–masih kata Latif–saksi yang merupakan teman Hasya, menyebut Hasya mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 60 km/jam.
“Jadi, temannya sendiri menerangkan, bahwa pada saat itu tiba-tiba ada kendaraan di depannya,” tutur Latif.
“[Hasya] mau belok ke kanan, sehingga si korban [Hasya] melakukan pengereman mendadak,” sambungnya.
Akibat mengerem mendadak, kendaraan pun tergelincir hingga berpindah ke jalur yang berlawanan arah.
Di saat yang sama, mobil yang dikendarai Eko Setio Budi Wahono, muncul di jalur tersebut dengan kecepatan 30 km/jam.
“Nah, Pak Eko dalam waktu ini sudah tidak bisa menghindari, karena sudah dekat,” ujar Latif.
“Jadi, memang bukan terbentur dengan kendaraan Pajero, tapi jatuh ke kanan, diterima oleh Pajero,” imbuhnya.
“Sehingga terjadilah kecelakaan,” kata Latif.
Informasi soal kecelakaan yang menimpa Hasya, beredar melalui pesan WhatsApp.
Dalam pesan itu terdapat foto Hasya, masih mengenakan jaket almamater UI.
Adapun mobil yang dikendarai Eko Setio Budi Wahono dan menabrak Hasya adalah Mitsubishi Pajero.
Suara Ibu Hasya
Terpisah, Ira menyatakan pernah menjalani mediasi yang digelar pihak kepolisian. “Sudah ada beberapa kali mediasi.”
“Salah satunya mediasi yang diprakarsai oleh pihak kepolisian. Kami dipertemukan.”
“Maksudnya polisi, dipertemukannya kami dengan pihak pelaku di Subdit Gakkum Pancoran,” jelas Ira.
Kala itu, Ira didampingi kuasa hukum keluarga Hasya, yakni Gita Paulina dan lima orang lainnya.
Namun, Ira mengatakan bahwa polisi justru memisahkannya dengan pihak kuasa hukum.
Saat itulah, polisi sempat meminta damai, dengan dalih posisi Hasya yang lemah.
“Ada beberapa petinggi polisi, mohon maaf, saya harus menyebutkan itu, meminta kami untuk berdamai.”
“Sudah, bu, damai saja, karena posisi anak ibu sangat lemah,” tutur Ira menirukan ucapan pihak kepolisian terhadapnya.
“Saya bilang, ‘Kenapa?’, saya bilang itu posisi anak saya meninggal dunia, kenapa jadi yang lemah? Gimana dengan si pelaku yang nabrak ini?” ucap Ira.
Tuai Polemik
Di sisi lain, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, juga bicara.
Ia menganggap penetapan tersangka terhadap Hasya yang dilakukan oleh pihak kepolisian adalah hal keliru.
Erasmus pun meminta, agar polisi membuka proses penanganan kasus tersebut ke publik.
“Harus dibuka ke publik prosesnya, penetapan tersangka ini keliru, hal lain kalau fakta tidak menolong orang sekarat ada, maka ada pidana lain yang mungkin terjadi.”
“Ini akibat penyidikan dianggap selalu harus ada penetapan tersangka,” tegas Erasmus.
Pengamat kepolisian dari Indostitute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto juga buka suara.
Ia menduga, ada keterkaitan relasi kuasa dalam penetapan status tersangka tersebut.
Selengkapnya, baca di: