Ngelmu.co – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama DPD RI dan pemerintah sepakat untuk membawa RUU Cipta Kerja ke rapat paripurna. Meski demikian, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) tetap konsisten untuk menolak RUU Ciptaker tersebut.
Fraksi PKS yang diwakili oleh, Ledia Hanifa Amaliah menilai, bahwa akan banyak elemen yang terdampak akibat disahkannya RUU tersebut. RUU Cipta Kerja sekurangnya berdampak terhadap 78 Undang-Undang. Sehingga, diperlukannya pertimbangan mendalam.
“Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menyadari bahwa substansi pengaturan yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja memiliki implikasi yang luas terhadap praktek kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia sehingga diperlukan pertimbangan yang mendalam apakah aspek formil dan materil dari undang-undang tersebut sejalan dengan koridor politik hukum kebangsaan yang kita sepakati bersama,” papar Anggota Komisi X DPR RI ini.
Ia juga menjelaskan, bahwa terdapat sejumlah catatan penting FPKS DPR RI terkait RUU Ciptaker. Hal yang pertama, PKS memandang pembahasan RUU Ciptaker pada masa pandemi COVID-19 ini, akan menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukkan, koreksi, dan penyempurnaan terhadap RUU Cipta Kerja.
“Banyaknya materi muatan dalam RUU ini semestinya disikapi dengan kecermatan dan kehati-hatian. Pembahasan DIM yang tidak runtut dalam waktu yang pendek menyebabkan ketidak optimalan dalam pembahasan. Padahal Undang-undang ini akan memberikan dampak luas bagi banyak orang, bagi bangsa ini,” terang Ledia.
Ketiga, FPKS juga memandang RUU Cipta Kerja ini tidak tepat dalam membaca situasi yang ada, tidak akurat dalam diagnosis, dan tidak pas dalam menyusun resep. Meski yang kerap disebut adalah soal investasi, namun pada kenyataannya, persoalan yang hendak diatur dalam Omnibus Law bukanlah masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi.
“Contoh ketidak tepatan ini adalah formulasi pemberian pesangon yang tidak didasarkan atas analisa yang komprehensif. Hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha tanpa melihat rata-rata lama masa kerja pekerja yang di PHK. Sehingga nilai maksimal pesangon itu semestinya tidak menjadi momok bagi pengusaha,” papar Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini.
Keempat, PKS menilai sejumlah ketentuan dalam RUU Cipta Kerja masih memuat substansi yang bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang kita sepakati pasca amandemen konstitusi.
“Ancaman terhadap kedaulatan negara melaui pemberian kemudahan kepada pihak asing. Termasuk juga ancaman terhadap kedaulatan pangan kita RUU Cipta Kerja memuat substansi pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhap tenagakerja atau buruh melaui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha. Terutama pada pengaturan tentang kontrak kerja, upah dan pesangon,” ungkapnya.
Baca Juga: Video 1 Menit 36 Detik Tentang Omnibus Law yang Begitu ‘Menggelitik’
Menurutnya, RUU Ciptaker, memuat pengaturan yang berisiko menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian lingkunagn hidup. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 37 RUU Cipta Kerja terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) dihapus.
“RUU Cipta Kerja memberikan kewenangan yang sangat besar bagi Pemerintah namun kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan menciptakan sistem pangawasan dan pengendalian terhadap penegakan hukum administratifnya. Seyognyanya apabila pemerintah bermaksud untuk mempermudah perizinan maka sistem pengenaan sanksinya harus lebih ketat dengan mengembangkan sistem peradilan administrasi yang modern,” ujar Ledia.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut, dengan memohon taufik Allah SWT dan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menyatakan MENOLAK Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja untuk ditetapkan sebagai UU,” tegas Ledia mengakhiri pandangan mini Fraksi PKS terhadap RUU Omnibus Law.