Ngelmu.co – Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin, turut mengomentari Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud, yang menuai polemik. Ia menilai, kesalahan bukan terletak pada Mendikbud Nadiem Makarim.
“Kesalahan bukan pada Nadiem Makarim,” kata Din, seperti dilansir Kumparan, Rabu (29/7).
Menurutnya, kesalahan dan tanggung jawab sepenuhnya ada pada Jokowi.
“Yang sangat bersalah dan patut dipersalahkan, serta harus bertanggung jawab, pendapat saya adalah Presiden Jokowi sendiri,” ujar Din.
“Dialah yang berkeputusan mengangkat seorang menteri, walaupun menyempal dari fatsun politik yang berlangsung dari waktu ke waktu,” sambungnya.
“Atau jangan-jangan, Presiden Jokowi sendiri, tidak cukup memahami sejarah kebangsaan Indonesia, dan berani mengambil keputusan yang meninggalkan kelaziman politik,” lanjutnya lagi.
Kebijakan tersebut, menurut Din, tidak bijak dan tak merakyat.
“Mundurnya Muhammadiyah, NU, dan kemudian PGRI dari program tersebut, menunjukkan adanya masalah besar dan mendasar,” tuturnya.
“Jelas, hal ini menunjukkan bahwa Mendikbud, tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang sejarah pendidikan nasional Indonesia,” imbuh Din.
Begitupun soal peran organisasi-organisasi kemasyarakatan.
“Khususnya keagamaan dalam gerakan pendidikan nasional,” sambung Din.
Baca Juga: PKS Kritik Kemendikbud: Tunjangan Guru Dipotong, Yayasan Milik Korporasi dapat Bantuan
Muhammadiyah dan NU, lanjutnya, adalah pelopor pendidikan di Indonesia.
Beserta organisasi pendidikan lainnya, mereka merupakan stakeholders sejati pendidikan nasional.
Sementara Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation? Dinilai sebagai pendatang baru.
“Yayasan atau foundation seperti Sampoerna atau Tanoto, hanyalah pendatang baru, yang setelah menikmati kekayaan Indonesia, baru berbuat atau memberi sedikit untuk bangsa (dibandingkan dengan keuntungan yang mereka raup) dari tanah dan air Indonesia,” tegas Din.
“Jadi kalau mereka yang dimenangkan atau dilibatkan dalam POP, sungguh merupakan ironi, sekaligus tragedi,” lanjutnya.
Mengingat program itu sudah telanjur menjadi polemik, Din, mengusulkan agar POP dihentikan.
“Lebih baik Kemendikbud, bekerja keras dan cerdas mengatasi masalah pendidikan generasi bangsa yang akibat pandemi COVID-19, menurut seorang pakar pendidikan, telah menimbulkan the potential loss, bahkan generation loss (hilangnya potensi dan hilangnya generasi),” kata Din.
Bagi Din, pemerintah tidak hadir melindungi rakyat, serta tak tergerak membangun infrastruktur telekomunikasi dan teknologi pendidikan.
Ia juga menilai, pemerintah tidak berpikir membantu meringankan anak-anak yang kesulitan mengakses internet; seperti membebaskan biaya kuota.
“Kemendikbud ‘memaksakan’ belajar daring atau jarak jauh, tapi tidak menyiapkan infrastruktur itu,” kritik Din.
“Anggaran yang diklaim untuk penanggulangan COVID-19, tidak dialokasikan untuk membantu anak-anak, rakyat yang terpaksa belajar dari rumah dalam keterbatasan dan kekurangan,” imbuhnya.
“Tapi sudah terlambat. Ketakhadiran dan ketakefektifan para pembantu Presiden bekerja serius dengan sense of crisis dalam situasi kritis, bukan masalah pembantu, tapi masalah yang mengangkatnya,” tegas Din.
Akibatnya, beban masalah menumpuk di pundak seorang presiden, kata Din, yang agaknya juga tidak mampu menahan.
Sebelumnya, pada Jumat (24/7) lalu, PGRI, memutuskan mundur dari POP Kemendikbud, menyusul LP Ma’arif PBNU dan Majelis Pendidikan Dasar-Menengah PP Muhammadiyah.
Selengkapnya: Usai NU dan Muhammadiyah, Kini Giliran PGRI yang Mundur dari POP Kemendikbud