Ngelmu.co – Tim Resmob Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, mendalami motif remaja putri yang membunuh ayah kandungnya sendiri di Duren Sawit, Jakarta Timur (Jaktim).
Pihaknya juga telah menahan satu orang yang diduga sebagai pembunuh di Ruko Pondok Bambu tersebut.
Namun, motif pembunuhannya masih didalami.
Satu terduga pelaku, yakni KS (17), juga telah dibawa ke Markas Polda Metro Jaya.
Remaja putri itu diduga membunuh S yang tidak lain adalah ayah kandungnya.
Sebelumnya, polisi menduga pelaku berjumlah dua orang, yakni kedua putri korban; KS (17), dan P (16).
Namun, hasil penyelidikan mengerucut kepada satu pelaku, yakni KS.
Kepala Subdirektorat Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Titus Yudho Ully juga mengonfirmasi.
Pihaknya menangkap KS, tidak jauh dari lokasi penemuan S yang sudah dalam keadaan terbaring bersimbah darah.
Dengan luka tusuk, S ditemukan di Jalan Masjid Baitul Latif, Kelurahan Pondok Bambu, Duren Sawit pada Sabtu (22/6/2024).
“Benar, sudah ditangkap. Kami yang menangkap dan memeriksa, sesuai dengan fakta penyidikan, pelaku satu orang,” kata Titus, Senin (24/6/2024).
Kepastian mengenai jumlah pelaku yang hanya satu orang, merupakan hasil pemeriksaan lanjutan polisi terhadap KS dan P.
Keduanya adalah anak korban, S.
Titus belum menjelaskan lebih jauh, kapan terduga pelaku membunuh korban, dan apa motif lengkapnya.
Sebab, saat ini tim penyidik masih harus menyelidiki terlebih dahulu.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur Komisaris Besar Nicolas Ary Lilipaly–melalui pesan tertulis–membenarkan kabar pembunuhan ini.
Pelaku juga telah ditangkap pada Sabtu (22/6/2024) sore.
Dugaan modus awal adalah karena pelaku sakit hati, dimarahi oleh S, lantaran mencuri uang.
“Saat ini, Subdirektorat Resmob Polda Metro Jaya, menangani kasusnya,” kata Nicolas, Ahad (23/6/2024) sore.
Latar belakang pelaku
Sosiolog kriminal, Soeprapto, menilai, secara sosiologis, intensitas di dalam keluarga terus terjadi dan tinggi, dibandingkan dengan orang lain atau luar.
Interaksi intensif itu, tidak selalu mengarah ke hal positif seperti komunikasi dan harmonisasi keluarga yang baik.
Interaksi intensif juga bisa menimbulkan kesalahpahaman, perbedaan persepsi, dan gesekan.
Dalam kondisi ini, secara struktur sosial, tindak kejahatan tidak lagi mengenal batas.
Potensi kejahatan atau kriminal bisa muncul dari lingkup keluarga itu sendiri.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan keluarga justru menjadi pelaku kriminal.
Seperti dalam kasus KS, tindak kriminal itu terjadi ketika seseorang tidak mampu mengendalikan diri, atau kecerdasan emosionalnya rendah.
Sehingga dalam situasi tertentu, jalan keluarnya adalah menyakiti diri sendiri atau keluarga.
”Daya pikir rasionalnya menurun, sehingga yang dikedepankannya adalah emosi, sehingga muncul tindakan kekerasan yang bisa mengarah ke pembunuhan,” kata Soeprapto.
Menurutnya, faktor penting yang harus dilihat dari tindakan nekat KS, dan ini harus pula didalami oleh kepolisian adalah latar belakang psikologis sang anak.
Tindakan KS, bisa saja karena akumulasi dari suatu kejadian yang diterima, dan perasaan yang telah lama dipendam KS.
Entah itu dari dalam lingkup keluarga, ataupun dari luar.
Jika benar, KS mencuri uang, perlu digali juga alasannya mencuri.
Misalnya, ditagih utang, pinjaman online, judi online, atau ada kebutuhan mendesak lainnya.
Sehingga ia terpaksa mencuri uang, dan berujung pada kemarahan orang tuanya.
”Akumulasi kegelisahan itu, pada satu titik akumulasi, itu akan pecah.”
“Sehingga ia berusaha mencari solusi dari keluarga, tetapi sayangnya, mungkin tidak terkabulkan.”
“Maka dalam kondisi itu, bisa muncul tindakan tidak terkendali. Pelampiasan bisa ke keluarga, meski penyebabnya dari luar.”
“Oleh karena itu perlu tahu, apa penyebabnya mencuri,” jelas Soeprapto.
Baca juga:
Harus juga dicermati, apakah KS, sering mencuri, atau sebelumnya pernah meminta uang, tetapi tidak pernah diberikan orang tuanya.
“Atau memungkinkan pula KS, sebelumnya sama sekali tidak pernah mencuri, atau baru pertama kali meminta uang, karena ada alasan mendesak, ia bisa berpikir, kenapa ia tidak dibantu.”
“Bisa pula ia sering meminta uang, tapi tidak pernah diberikan, sehingga ia menjadi kecewa,” kata Soeprapto.
Lebih lanjut, menurutnya, ada juga faktor usia atau kecerdasan emosi yang membuat KS, bertindak di luar nalar.
Di usia muda, pengambilan keputusan belum sepenuhnya matang.
Tingkat kedewasaan seseorang memang berbeda, dan tidak bisa dipukul rata.
Namun, faktor usia bisa sangat berpengaruh dalam kasus KS.
Tindakan KS, bisa saja karena akumulasi dari suatu kejadian yang diterima, dan perasaan yang telah lama ia pendam.
Entah itu dari dalam lingkup keluarga, ataupun dari luar.
Belajar dari kasus KS–dan kasus serupa lainnya–lingkungan keluarga menjadi sangat krusial.
Harmonisasi dalam keluarga makin terkikis, karena kesibukan orang tua, misalnya.
Peran orang tua sebagai rumah berlindung dan rumah untuk nilai serta norma, luput diberikan kepada anak-anaknya.
Fungsi perlindungan ini dalam beberapa kasus, luput.
Banyak anak yang merasa keluarganya tidak mampu melindunginya.
Jika terjadi masalah, anak lebih memilih bercerita di media sosial, teman, ataupun memendamnya sendiri.
“Pengaruh teman ini bisa juga. Ia melihat teman-temannya memiliki barang ini dan itu, sehingga ia ingin memilikinya juga, meski tidak tahu harus memperolehnya dari mana.”
“Ada pula fungsi keluarga yang hilang, yaitu fungsi ekonomi.”
“Kesibukan orang tua mencari nafkah, orang tua pengangguran, kerja serabutan, turut berpengaruh dalam perkembangan anak,” kata Soeprapto.