“Ini pemandangan langka. Izin saya foto boleh ya?” Seorang Marinir yang menjawab. “Oke, Bang”.
“Kalau saat Reformasi ’98 Marinir menjaga mahasiswa karena ada pengaruh Ali Sadikin (eks Gubernur Jakarta, pensiunan Marinir), sekarang siapa yang kasih perintah?”, saya bertanya sambil memotret.
Marinir tadi tertawa, lalu menjawab, “Hati nurani saja”.
“Apa perintahnya?” saya mendesak karena tentu saja tak percaya.
Tapi Sang Marinir dari markas Cilandak ini hanya tersenyum. Lalu kami pun ngobrol ringan. Di ruas tol dan sisi jalan yang lain menjelang perempatan Slipi, polisi dan tameng antihuru-hara bersiaga. Sisa gas air mata masih menyengat.
Foto ini saya posting di Twitter. Direspon 9.000 likes dan 7.000 retweet dalam tempo kurang 12 jam. Timeline Twitter memang sedang disesaki dengan rekaman video kekerasan polisi terhadap demonstran di berbagai kota di Indonesia. Polisi mengejar mereka hingga dalam masjid, stasiun kereta, bahkan pengendara motor biasa yang sedang terjebak macet, ikut dipukuli polisi.
Wartawan yang merekam aksi kekerasan mereka, tak luput dari incaran.
Polisi bertindak represif karena panik. Jika gerakan ini bergulir menjadi reformasi baru, yang terancam bukan hanya kekuasaan Jokowi atau partai-partai di DPR, melainkan juga eksistensinya. Ia khawatir kekuasaannya direformasi seperti terjadi pada TNI tahun 1998.
Padahal ia sedang kuat-kuatnya. Ada di badan intelijen, urusan beras di Bulog, dan kini sudah menguasai KPK.
Salah satu cara termudah melihat ini adalah membandingkan bagaimana polisi merespon demonstran pendukung revisi UU KPK yang bertindak agresif di gedung KPK, dengan aksi-aksi lain di seluruh Indonesia yang aspirasinya sebaliknya.
Maka, seperti halnya militer yang berusaha mempertahankan Orde Baru dengan menculik dan menembaki mahasiswa saat Reformasi 1998, polisi kini dalam situasi yang sama.
Dia tidak bisa dilihat sebagai unit netral yang menjaga ketertiban bla-bla-bla, tapi telah menjadi aktor itu sendiri.
Jika Soeharto memakai tentara, rezim Jokowi memakai polisi. Institusinya sipil, tapi wataknya militeristik. Di masa Orde Baru polisi memang bagian dari ABRI (angkatan keempat). Saat reformasi, ia dipisah menjadi sipil, tapi paradigma dan strukturnya belum sipil.
Padahal, jika mau belajar dari sejarah, kemarahan rakyat pada Soeharto disumbang besar oleh tindakan militer sepanjang Orde Baru. Merekalah wajah terdepan rezim. Sama dengan masa kolonial di mana pribumi membenci kelompok tertentu dari etnis Tionghoa karena mereka lah yang disuruh menarik pajak untuk Belanda.
Wajah rezim pemerintahan Jokowi hari ini diwakili oleh polisinya.
Kekuasaan polisi sendiri terus membesar karena terlalu banyak urusan. Bayangkan, mulai SIM, lalu-lintas, ganja selinting, laporan pencemaran nama baik, unjuk rasa, sampai anti-terorisme. Bahkan unit khusus pariwisata.
Di RKUHP yang ikut memicu gerakan protes besar ini, polisi akan diberi wewenang lebih jauh mengurus urusan selangkangan rakyat.
Maka, salah satu premis penting saat ini adalah, polisi harus dikurangi urusannya agar kekuasaannya bisa dikontrol. Sebab kekuasaan yang sedemikian besar, membuat mereka akan sulit dikendalikan. Bukankah ini alasan yang dipakai DPR dan Istana soal kewenangan KPK?
Sebab inilah dulu yang juga terjadi pada tentara ketika kekuasaannya sangat besar, dari urusan di desa, menghadapi buruh pabrik, komisaris perusahaan, jadi bupati/gubernur, hingga jatah kursi di DPR dalam sistem Dwifungsi ABRI.
Reformasi mengubah ini. Karena itu polisi bersikap keras pada mahasiswa di jalanan karena ini bukan tentang Jokowi dan DPR semata, ini juga tentang diri mereka.
Sebab, melihat video-video hari ini, satu hal yang jelas jika gerakan ini berkembang menjadi gelombang perubahan adalah ada kemungkinan besar terjadi perombakan sistem, struktur, dan pendidikan di kepolisian. Inilah yang paling mereka khawatirkan.
Sebenarnya di draf awal Nawacita ada agenda reformasi kepolisian. Kapolri di bawah Mendagri. Kapolda/Kapolres di bawah Gubernur/Bupati. Hanya unit tertentu yang punya garis komando nasional. Selebihnya “Satpol PP”. Toh KUHP-nya sama. Untuk apa gunanya garis komando jika hukum yang mau ditegakkan sudah sama.
Ada maling di Ambon, Padang, atau Sukabumi, pasal KUHP-nya sama. Polisi di daerah bisa melakukan tindakan penegakan hukum. Tak perlu perintah siapapun.
Jadi untuk apa polisi di daerah punya garis komando ke Jakarta. Bahkan kini Kapolri pun langsung berada di bawah presiden. Urusan apa? Terlalu berlebihan.
Tapi gagasan ini tiba-tiba hilang dari Nawacita. Sebaliknya, Jokowi dan polisi kini berada dalam satu garis yang sama menghadapi aspirasi masyarakat dan mahasiswa.
Persis seperti Soeharto dan militer di masanya. Dan dalam posisi ini, sejarah sudah punya halaman khusus untuk mereka. Termasuk bagaimana endingnya.
Ditulis oleh:
Dandhy Dwi Laksono
Dikutip dari https://geotimes.co.id/komentar/antara-polisi-marinir-dan-mahasiswa/
Foto : geotimes.co.id
*Disclaimer: Setiap tulisan yang dimuat di portal Ngelmu menjadi tanggungjawab penulisnya