Jumadi
Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, menggelar sidang korupsi dana desa dengan terdakwa Jumadi.
Dalam sidang yang digelar pada Selasa (28/11/2017) itu, Jumadi, menerima tuntutan 5 tahun penjara.
Di mana pimpinan Majelis Hakim adalah Dahlia, dengan dua hakim anggota Tony dan Yanuar.
Jaksa, menuntut 5 tahun penjara, dengan denda Rp200 juta, subsider 3 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti Rp399 juta.
“Apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti selama putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita negara.”
“Apabila harta bendanya tidak mencukupi, diganti dengan hukuman penjara selama 2 tahun.”
Demikian jelas JPU Odit Megonondo, dalam tuntutannya, mengutip Detik.
Jumadi, terlibat kasus korupsi dana desa sebesar Rp399 juta, dalam anggaran APBD Rokan Hilir, tahun 2015.
Semestinya, dana tersebut untuk pembangunan desa, tetapi Jumadi, menilapnya. Tak satu pun proyek fisik, dibangun di desa tersebut.
Jumadi, juga tidak menyetorkan pajak yang seharusnya masuk ke kas negara.
Edhy
Bagaimana dengan dosa Edhy? Sebagai informasi, ia menerima tuntutan hukuman 5 tahun penjara, dengan denda Rp400 juta, subsider 6 bulan kurungan.
Dosanya? Terbukti menerima suap–total mencapai Rp25,7 miliar–dari pengusaha eksportir benur atau benih bening lobster (BBL).
“Menuntut agar majelis hakim dapat memutuskan, menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama.”
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 5 tahun, dan pidana denda Rp400 juta, subsider 6 bulan kurungan.”
Demikian kata Jaksa KPK Ronald Worotikan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Selasa (29/6) lalu.
Edhy, terbukti menerima suap melalui beberapa anak buahnya.
- Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Budi Daya Lobster, Andreau Misanta Pribadi;
- Wakil Ketua Tim Uji Tuntas [sekaligus staf khususnya], Safri;
- Sekretaris pribadi Edhy, Amiril Mukminin;
- Staf pribadi istri Edhy [Iis Rosita Dewi], Ainul Faqih; juga
- Komisaris PT Perishable Logistics, Sidwadhi Pranoto Loe.
Total suap senilai Rp25,7 miliar, berasal dari dua pihak:
- USD 77 ribu, dari Direktur PT DPPP, Suharjito; dan
- Rp24,6 miliar, dari pengusaha benur lainnya, dalam bentuk biaya kargo, menggunakan perusahaan boneka.
Edhy, juga berperan aktif dalam memberi izin ekspor benur.
Bahkan, jaksa menyebutnya mengintervensi proses pemberian izin budi daya dan ekspor BBL, kepada PT DPPP dan perusahaan eksportir lainnya.
Edhy, diyakini melanggar Pasal 12 huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.