Praktisi Pendidikan Minta Jokowi Hapus Pendidikan Agama

Ngelmu.co“Pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Karena agama cukup diajarkan orangtua masing-masing, atau melalui guru agama di luar sekolah. Karena negara ini harus dirawat dengan nilai-nilai budaya, bukan nilai agama.”

Pernyataan tersebut keluar dari mulut Praktisi Pendidikan Setyono Djuandi Darmono. Ia mengatakan demikian, karena menurutnya, pendidikan agama di sekolah-sekolah, sudah menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Maka, agar para siswa tidak terpisah-pisah, mata pelajaran agama perlu ditiadakan.

“Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda,” ujar Darmono, di Jakarta, Kamis (4/7), seperti dilansir dari JPNN.

Bahkan, dirinya memberikan saran langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk meniadakan pendidikan agama di sekolah.

Sebab ia menilai, hal tersebut menjadi tanggung jawab orangtua serta guru agama masing-masing (bukan guru di sekolah). Maka, pendidikannya cukup diberikan di luar sekolah, seperti masjid, gereja, pura, vihara, dan lainnya.

“Kalau mau merawat persatuan dan kesatuan bangsa, itu harus dilakukan. Cuma saya melihat presiden tersandera oleh berbagai macam kepentingan politik. Jika ini tidak diubah, sampai kapanpun agama akan dijadikan alat politik indentitas,” lanjut Darmono.

Ia pun menyarankan mapel budi pekerti diperkuat, sebagai gantinya. Agar sikap toleransi di antara para siswa menjadi lebih menonjol, rasa kebinekaan pun menjadi semakin kuat.

“Siswa harus diajarkan kalau mereka itu hidup di tengah keanekaragaman. Namun, keanekaragaman dan nilai-nilai budaya itu yang menyatukan bangsa ini, bukan agama,” tegasnya.

[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Agama dan Budaya: Belajar dari Mualafnya Deddy Corbuzier
[/su_box]

Darmono menilai, jika agama dijadikan identitas, maka akan memicu radikalisme. Dan ketika bangsa Indonesia hancur karena radikalisme, negara tetangga yang se-agama, belum tentu bisa menerima.

“Kita harus jaga bangsa ini dari politik identitas (agama). Kalau negara ini hancur, yang rugi kita sendiri. Memangnya kalau kita pindah ke negara lain yang seagama, kita bisa diterima? ‘Kan tidak. Makanya, rawatlah negara ini dengan nilai-nilai budaya, bukan agama,” pungkasnya.