Ngelmu.co – Secara aturan, presiden dan menteri memang boleh memihak. Namun, yang menjadi problem adalah sikap tersebut berpotensi merusak etika dan moral.
Maksudnya?
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi), menyatakan bahwa seorang presiden, boleh berkampanye dan memihak pada salah satu pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Jokowi menyampaikan hal tersebut saat menghadiri acara penyerahan pesawat C-130-30 Super Hercules A-1344 di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Rabu (24/1/2024).
Bukan hanya presiden, Jokowi juga menyebutkan bahwa menteri pun diperbolehkan untuk berkampanye dan memihak.
“Kan demokrasi, hak politik tiap orang, tiap menteri sama saja, yang paling penting, presiden itu boleh, lo, kampanye, presiden itu boleh, lo, memihak, boleh, tapi yang paling penting, waktu kampanye, tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” kata Jokowi.
Sebab, presiden dan menteri adalah pejabat publik sekaligus pejabat politik.
Baca juga:
Pertanyaannya, benarkah presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak pada paslon tertentu?
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari, angkat bicara.
Ia mengatakan, secara aturan, presiden dan menteri memang diperbolehkan memihak.
Namun, problem yang terjadi dari hal itu adalah sikap tersebut berpotensi merusak etika dan moral.
“Secara ketentuan undang-undang, memang kesannya presiden tidak menabrak ketentuan Pasal 281 UU Pemilu (UU Nomor 7 Tahun 2017), jika kemudian presiden melakukan cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara,” jawab Feri, Rabu (24/1/2024).
“Tapi problematikanya bukan problem normatif peraturan perundang-undangan, problemnya adalah kerusakan etika dan moral,” jelasnya.
Pasalnya, Jokowi akan mendukung putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang maju sebagai cawapres, mendampingi capres nomor urut 2, Prabowo Subianto.
Terlebih, Gibran juga tidak diusung oleh partai pengusung ayahnya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Ini menjadi sorotan, karena seorang presiden, biasanya akan mendukung capres yang diajukan oleh partainya sendiri.
Namun, Jokowi kali ini tidak melakukan hal tersebut.
“Ini ‘kan kerusakan etika berpolitik, berpartai, dan menjalankan wewenang kekuasaan bernegara. Letaknya adalah panggilan etika dan moral,” kata Feri.
Baca juga:
Ahli hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti juga bicara.
Ia menegaskan bahwa presiden dan menteri, tidak boleh berkampanye atau menyatakan dukungan secara terbuka.
Bivitri kemudian menjelaskan bahwa dalam prinsipnya, UU Pemilu tidak bisa hanya dibaca satu pasal.
“Intinya adalah, UU itu mengatur secara terang, bahwa tidak boleh ada perilaku dari presiden dan semua pejabat negara lainnya untuk memihak salah satu kandidat,” tegas Bivitri, mengutip Kompas TV, Rabu (24/1/2024).
“Mana bisa kita membedakan kalau presiden lagi ngomong sesuatu, ajudannya tidak ada di sampingnya? Ajudan itu dibayar pakai APBN, jadi fasilitas negara itu bisa diperdebatkan lagi,” sambungnya.
Menurut Bivitri, fasilitas negara yang dimaksud dalam UU Pemilu, bukan hanya berupa gedung atau kendaraan.
Namun, semua yang melekat pada diri seorang presiden dan juga menteri.
Tidak hanya itu, dalam konteks masyarakat feodalistik seperti Indonesia, wewenang presiden atau menteri, biasanya juga menghasilkan pengaruh atau instruksi.
“Jadi, kalau misalnya orang-orang yang memegang jabatan seperti presiden dan menteri bilang pilih si X, maka itu akan menjadi seperti perintah bagi bawahannya,” kata Bivitri.
“Makanya, kita pegangannya harus prinsip,” pungkasnya.