Ngelmu.co – Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi), siap menjalani vaksinasi COVID-19, Rabu (13/1) besok, tidak demikian dengan anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning.
Ia, menolak untuk menjalani penyuntikan vaksi Corona, dan lebih memilih membayar denda bagi seluruh keluarganya.
“Saya tetap tidak mau divaksin. Saya udah 63 [tahun] nih, mau semua usia boleh, tetap [tidak mau].”
“Misalnya pun hidup di DKI, semua anak cucu saya dapat sanksi lima juta, mending gue bayar [denda], mau jual mobil kek.”
Demikian tegas Ribka, saat Rapat Kerja bersama, mengutip Tempo, Selasa, 12 Januari 2021.
Dalam rapat itu, hadir pula Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin; Kepala BPOM, Penny K Lukito; dan Direktur Utama PT Bio Farma (Persero), Honesti Basyir.
Sebelumnya, aturan mengenai denda ini sempat disampaikan oleh Pemerintah Provinsi DKI.
Pemprov Jakarta, menyatakan akan menerapkan denda Rp5 juta, bagi warga yang menolak vaksinasi.
Namun, Ribka, mengklaim banyak kasus vaksin yang ternyata berdampak buruk bagi kesehatan.
Ia pun mencontohkan, penderita polio di Sukabumi, Jawa Barat, yang justru lumpuh layu pasca vaksin antipolio.
“Terus antikaki gajah di Majalaya, mati dua belas [orang],” tutur Ribka.
“Karena di India ditolak, di Afrika ditolak, masuk di Indonesia, dengan 1,3 triliun, waktu saya ketua komisi,” imbuhnya.
“Saya ingat betul itu, jangan main-main vaksin ini, jangan main-main,” tegas Ribka.
Ia juga mewanti-wanti pemerintah, tidak boleh memaksa vaksinasi COVID-19 kepada mereka yang menolak.
Pemaksaan, kata Ribka, adalah bentuk pelanggaran HAM.
Ia juga menyinggung, kebijakan pemerintah yang menggratiskan vaksin COVID-19.
Ribka menanyakan, vaksin mana yang akan digratiskan bagi warga.
Pasalnya, akan ada sejumlah vaksin yang beredar di Indonesia, dengan rentang harga Rp116 ribu, hingga Rp2 juta.
Ribka, curiga jika vaksin yang murah-lah yang akan masyarakat miskin terima.
Ia kembali mencontohkan, perbedaan harga tes swab yang hasilnya keluar lebih cepat, jika warga membayar lebih mahal.
Baca Juga: Soal Vaksinasi COVID-19, Wali Kota Bekasi Bilang Pemimpin Harusnya Belakangan
Terlepas dari itu, Kepala BPOM Penny, mengatakan uji klinik secara keseluruhan, menunjukkan vaksin COVID-19 aman.
Adapun efek samping yang ditimbulkan, bersifat ringan hingga sedang.
“Yaitu efek samping lokal berupa nyeri, iritasi, pembengkakan, serta efek samping sistemik berupa nyeri otot, retik, dan demam.”
Demikian kata Penny, dalam konferensi pers virtual, Senin (11/1).
Frekuensi efek samping dengan derajat berat, sakit kepala, gangguan di kulit, atau diare yang dilaporkan, lanjut Penny, hanya sekitar 0,1-1 persen.
Menurut Penny, efek samping itu tidak berbahaya dan dapat pulih kembali.
Penny, juga mengatakan hasil evaluasi terhadap data dukung khasiat [efikasi] coronaVac.
BPOM, menggunakan data hasil pemantauan dan analisis dari uji klinik yang dilakukan di Indonesia.
BPOM juga mempertimbangkan hasil uji klinik yang dilakukan di Brazil dan Turki.
Vaksin coronaVac, kata Penny, telah berhasil menujukkan pembentukan antibodi di dalam tubuh.
Termasuk pembentukan antibodi dalam membunuh atau menetralkan virus.
Berangkat dari uji klinik fase satu dan dua di Cina, dengan periode pemantauan hingga enam bulan.
Penny juga membahas, uji klinik fase tiga di Bandung.
Data imunogenitas, ujarnya, menunjukkan data yang baik.
Pada 14 hari setelah penyuntikan, dengan hasil kemampuan vaksin membentuk antibodi sebesar 99,74 persen.
Pada tiga bulan setelah penyuntikan, hasilnya 99,23 persen.
“Hal tersebut menunjukkan sampai dengan tiga bulan yang memiliki antibodi masih tinggi,” kata Penny.
Lebih lanjut, ia, menjelaskan hasil analisis terhadap efikasi vaksin CoronaVac, berdasarkan uji klinik di Bandung, sebesar 65,3 persan.
Berdasarkan laporan efikasi hasil uji di Turki adalah 91,25 persen, dan 78 persen di Brazil.
“Hasil tersebut sudah sesuai persyaratan WHO yang 50 persen,” pungkas Penny.