Ngelmu.co – Mahkamah Konstitusi (MK), menolak permohonan yang diajukan Anies-Cak Imin soal Perselisihan Hasil Pemilihan Pemilu (PHPU) Pilpres 2024.
Putusan tidak bulat. Putusan tersebut diambil oleh delapan hakim MK:
- Suhartoyo,
- Saldi Isra,
- Arief Hidayat,
- Enny Nurbaningsih,
- Daniel Yusmic Pancastaki Foekh,
- Guntur Hamzah,
- Ridwan Mansyur, dan
- Arsul Sani.
Tiga hakim–Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat–menyatakan, dissenting opinion. Berikut jabarannya:
Jokowi Cawe-cawe
Arief Hidayat menilai, seharusnya gugatan Pilpres 2024 yang dilayangkan paslon 01, dikabulkan oleh Mahkamah.
Ia sependapat dengan dua hakim MK lainnya, yakni Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih.
Arief mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi), sudah melanggar Pemilu dan Pilpres 2024 secara terstruktur dan sistematis.
Tindakan Jokowi, telah mencederai prinsip moral dan etika kehidupan berbangsa dan bernegara yang seharusnya di junjung tinggi.
Sebagaimana termuat di dalam TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang secara filosofis lahir pada 2001.
Sebagai akibat adanya kemunduran dalam etika kehidupan berbangsa.
“Etika kehidupan berbangsa ini perlu disinggung kembali, dan ternyata, hingga kini masih relevan untuk dipertimbangkan dan diterapkan.”
“Setidaknya sebagai kaca benggala, agar pemerintah dan para elite politik mampu bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati.”
“Siap mundur dari jabatan politik, apabila terbukti melakukan kesalahan, dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”
Demikian penjelasan Arief saat membacakan dissenting opinion-nya di MK, Senin (22/4/2024).
Oleh karena itu, ia menuturkan, dalam sebuah negara hukum demokratis yang berlandaskan Pancasila, pelaksanaan rule of law, harus dibarengi dan diikuti oleh penerapan rule of ethics.
Sebagai nilai luhur serta aturan yang penting dan strategis dalam tiap penyelenggaraan negara.
“Kembali ke soal perselisihan hasil pemilu, sejak pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019, tidak pernah ditemukan pemerintah turut campur dan cawe-cawe dalam pemilihan presiden/wakil presiden,” kata Arief.
Namun, ia mengatakan, dalam Pilpres 2024, terjadi hiruk pikuk dan kegaduhan, disebabkan, secara terang-terangan, presiden dan aparaturnya bersikap tidak netral, bahkan mendukung pasangan calon presiden tertentu.
“Apa yang dilakukan Presiden, seolah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme sempit, dan berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan,” kata Arief.
Politisasi Bansos Terbukti
Hakim MK, Saldi Isra, menyebut politisasi bantuan sosial (bansos) yang merupakan salah satu dalil dari pemohon Anies-Cak Imin, terbukti terjadi di Pilpres 2024.
Saldi berpandangan, seharusnya, MK menerima dalil politisasi bansos untuk menghindari praktik serupa terjadi di pilkada, November 2024 mendatang.
Ia juga yakin, politisasi bansos benar-benar terjadi.
“Dengan menyatakan dalil a quo terbukti, maka akan menjadi pesan jelas dan efek kejut [deterrent effect] kepada semua calon kontestan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bulan November 2024 yang akan datang, untuk tidak melakukan hal serupa,” kata Saldi saat membacakan dissenting opinion-nya.
“Dengan demikian, saya berkeyakinan bahwa dalil Pemohon terkait dengan politisasi bansos, beralasan menurut hukum,” imbuhnya.
Menurut Saldi, adanya ‘banjir’ bansos selama proses Pilpres 2024, tidak bisa sama sekali dilepaskan dari upaya pemenangan calon tertentu.
“Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta tersebut, pembagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan electoral, menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali,” kata Saldi.
Sebagai kewajiban moral, ia menuturkan, MK perlu memberikan keputusan untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam tiap kontestasi pemilu.
“Terlebih, dalam waktu dekat, yang hanya berbilang bulan, akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional.”
“Penggunaan anggaran negara/daerah oleh petahana, pejabat negara, ataupun oleh kepala daerah, demi memenangkan salah satu peserta pemilihan yang didukungnya, dapat dimanfaatkan sebagai celah hukum, dan dapat ditiru menjadi bagian dari strategi pemilihan,” kata Saldi.
PJ Kepala Daerah Tidak Netral
Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih juga menyatakan dissenting opinion, hasil sidang putusan sengketa Pilpres 2024.
Dalam dissenting opinion-nya, Enny menyinggung soal netralitas penjabat kepala daerah.
Dalam petitum permohonan Anies-Cak Imin, daerah-daerah yang dipermasalahkan adalah Pj Kepala Daerah:
- Kalimantan Barat,
- Jawa Tengah,
- Sulawesi Selatan, hingga
- Sumatra Utara.
“Adanya indikasi kuat pelanggaran yang telah dilakukan oleh Pj Gubernur Kalimantan Barat.”
“Namun, tidak terdapat kejelasan proses penegakan hukum atas pelanggaran tersebut, menyebabkan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas, telah tercederai, karena adanya keberpihakan kepada salah satu pasangan calon peserta pemilu presiden dan wakil presiden 2024,” kata Enny.
Baca juga:
Enny juga mengutarakan hal serupa saat merincikan dugaan kecurangan yang dilakukan penjabat kepala daerah yang lain.
Dalam kasus Pj Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana yang memakai baju dengan warna biru khas pemenangan Prabowo-Gibran, misalnya.
Enny menyebut tindakan pengawasan Bawaslu, tidak maksimal.
“Terlepas dari Bawaslu telah melaksanakan tugas pengawasan melalui penelusuran, dan hasilnya dinyatakan tidak terbukti terdapat pelanggaran.”
“Namun, hasil penelusuran tersebut tidak cukup meyakinkan, bahwa Pj Gubernur Jawa Tengah, telah bersikap netral.”
“Apalagi, Bawaslu tidak bersungguh-sungguh untuk menindaklanjuti laporan tersebut,” kata Enny.
Begitu juga dengan kasus acara dukungan dari pemerintahan yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian.
“Seluruh kejadian ini menjadi perhatian publik yang sangat luas dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 yang seharusnya ditindaklanjuti oleh Bawaslu, sesuai dengan tugas dan wewenangnya.”
“Namun, tidak terdapat bukti yang kuat bahwa Bawaslu, telah melaksanakan tugas dan wewenangnya secara optimal untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil.”
Dana Operasional Presiden, Diduga untuk Kepentingan Pilpres
Enny juga membahas soal alokasi dana kunjungan presiden dan bansos yang menjadi salah satu gugatan pemohon, saat membacakan dissenting opinion.
Ia mengatakan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam persidangan, menyatakan bantuan kemasyarakatan yang biasa diserahkan Presiden Jokowi, bukan merupakan bagian dari perlinsos, tetapi berasal dari dana operasional presiden.
“Namun, anggaran untuk kunjungan presiden dan anggaran untuk bantuan kemasyarakatan tersebut berasal dari dana operasional presiden (DOP) yang berasal dari APBN,” kata Enny.
DOP tersebut diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2008, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106 Tahun 2008, sementara untuk dana kemasyarakatan Presiden diatur dalam Peraturan Menteri Sekretaris Negara Nomor 2 Tahun 2020.
Adapun kegiatan yang bisa dicakup dalam dana kemasyarakatan oleh Presiden dan Wali Presiden dalam hal itu, kata Enny, adalah kegiatan keagamaan, pendidikan, sosial, ekonomi, kebudayaan, kepemudaan, pemberdayaan perempuan, keolahragaan, dan kegiatan lain atas perintah presiden atau wakil presiden.
“Bantuan ini bisa diberikan dalam bentuk barang maupun uang,” ujarnya.
Berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, Enny menjelaskan, terlihat bahwa realisasi anggaran DOP tidak pernah mencapai 100 persen dari jumlah yang dialokasikan pada tiap tahunnya.
Ia menilai, DOP ini tidak sesuai peruntukannya, karena diduga untuk kepentingan Pilpres 2024.
“Meskipun demikian, anggaran untuk DOP terus meningkat dari tahun ke tahun.”
“Hal ini yang kemudian memunculkan persepsi yang mengarah pada penggunaan DOP untuk bantuan kemasyarakatan dengan tujuan politik menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024,” kata Enny.
Serukan PSU
Saldi menyatakan, bahwa sejatinya, harus ada pemungutan suara ulang (PSU) Pilpres 2024.
Sebab, ada hakim yang menyatakan dissenting opinion.
“Demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, maka seharusnya, Mahkamah, memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah, sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas,” jelas Saldi Isra.