Ngelmu.co, JAKARTA – Ketua DPP Partai Gerindra, Heri Gunawan menilai masih banyak janji nawacita yang belum dipenuhi pemerintahan Jokowi-JK. Padahal jalannya pemerintahan efektif tinggal satu tahun lagi.
Anggota DPR RI komisi keuangan ini mengulas soal utang luar negeri pemerintah yang saat ini sudah hampir mencapai Rp 4.000 triliun. Padahal komponen utang itu berupa pinjaman memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Konsekuensi nyata dari utang itu dapat dilihat pada depresiasi nilai tukar riil akibat masuknya pinjaman pemerintah yang berasal dari luar negeri. Hal ini kemudian menyebabkan daya saing produk domestik melemah dan menekan ekspor bersih Indonesia yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan. Untuk diketahui, nilai ekspor Indonesia relatif stagnan,” katanya, baru-baru ini.
Lebih jauh, menurut Heri, membesarnya utang pemerintah tak bisa dilepaskan dari postur APBN yang terus-menerus mengalami defisit. Hal itu dapat dilihat pada tahun 2014 defisit APBN sebesar 2,25 persen, tahun 2015 sebesar 2,59 persen, 2016 sebesar 2,49 persen, dan tahun 2017 direncanakan sebesar 2,93 persen, terakhir dalam RAPBN 2018 dipatok sebesar Rp 326 triliun.
“Dari pengalaman yang ada, angka defisit seringkali melenceng dari target sebagaimana yang terjadi pada APBN-P TA 2016 yang lalu. Defisit yang terus membesar itulah yang berakibat pada jumlah utang yang terus membesar sehingga akan menyulitkan terwujudnya keseimbangan primer yang positif. Dan kalau terus-menerus begitu, maka postur APBN akan tetap tidak sehat dan kredibel. Dan itu berarti pemerintah akan terus bergantung pada utang,” kata Heri.
Ditegaskannya bahwa pemerintah tidak boleh terlena dengan rasio utang yang disebut-sebut masih aman dibandingkan dengan negara-negara lain. Karena kalau dilihat dari trendnya, rasio utang cenderung mengalami kenaikan. Nampak jelas pada tahun 2014 sebesar 24,7 persen, tahun 2015 naik tajam ke 27,4 persen, lalu tahun 2016 menjadi 27,9 persen, tahun 2017 ada di angka 28,2 persen. Tahun 2018 diproyeksi bisa menyentuh angka 29 persen terhadap PDB.
“Yang dikuatirkan dari utang adalah pembayaran bunga utang tidak boleh dianggap sepele. Tahun 2017 saja tercatat sudah mencapai di atas Rp 200 triliun. Artinya, telah terjadi kenaikan 15,8 persen dari target APBN-P 2016 sebesar Rp191,2 triliun. Jumlah itu setara dengan 40 persen alokasi belanja non kementerian atau lembaga,” bebernya.
Selanjutnya, indikator jatuh tempo utang dengan tenor hingga 5 tahun naik dari 37,2 persen menjadi 38,6 persen dari total outstanding. Heri menilai bahwa dengan keadaan seperti itu, sepertinya publik tidak bisa berharap banyak untuk pencapaian program kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi riil. Terlebih pengelolaan fiskal pemerintah nampak tidak ada yang istimewa.
“Buktinya, uang hanya habis untuk membayar utang yang semakin bertumpuk di tengah penerimaan pajak yang cenderung negatif,” demikian Heri.