Ngelmu.co – Sikap Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini, yang memaksa seorang teman Tuli untuk berbicara, menyakiti hati banyak pihak.
Perwakilan dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), Stefanus, pun mengoreksi sikapnya.
Namun, Risma membela diri. Kepada Stefan, ia menjelaskan, “Kenapa ibu paksa kalian untuk bicara? Ibu paksa memang.”
“Supaya kita bisa maksimal, memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita. Mulut, mata, telinga,” tuturnya, Kamis (2/12/2021).
Sayangnya, berbagai pihak tidak sepakat dengan sikap Risma. Ramai-ramai, mereka pun memprotes.
Surya Sahetapy
Aktivis Tuli sekaligus juru bahasa isyarat, Panji Surya Putra Sahetapy, merespons.
“Saya dukung sikap kerja dan integritas Bu Risma untuk Indonesia.”
“Tetapi tidak sependapat sudut pandang beliau tentang Tuli-HoH, bahasa Isyarat, budaya Tuli-HoH, dan aksesibilitas,” sambung Surya.
Melalui akun Instagram pribadinya, @suryasahetapy, ia bicara. “Menarik untuk mengetahui, bahwa kenapa Tuhan menciptakan bahasa isyarat juga?”
Ia yang mengaku tak dapat berkata-kata, menyindir, “Tahun ini tahun berapa sih? 1880 ‘kan?”
Di tahun 2021 ini, Surya berharap, tidak ada lagi sikap audisme; bentuk perlakuan negatif terhadap Tuli.
Ia juga berterima kasih kepada Stefanus Sinar Firdaus, yang sudah berani bicara kepada Risma, dan mengingatkan.
“Bahasa isyarat oke, bicara oke, tapi ‘memaksa’ sih, no,” kata Surya.
“Memang banyak ragam komunikasi di komunitas kami, bukan berarti kami harus ‘dipaksa’ untuk menyesuaikan kalian [seperti orang dengar yang non pengguna bahasa isyarat],” tegasnya.
Menurut Surya, “Percuma kalau bisa bicara, tapi sulit menyimak percakapan orang dengar.”
Itu mengapa bagi teman Tuli, bahasa isyarat itu penting. “Jadi, disabilitas bukan karena saya tidak mendengar.”
“Tetapi pola pikir sempit seseorang, yang menyebabkan kami disabilitas,” kritiknya.
Potret ini bahkan membuat Surya, ingin kembali ke Amerika Serikat (AS), karena di kampusnya di sana, Surya merasa bukan Tuli.
“Bahkan disabilitas karena pola pikir orang dan aksesnya, lho,” ujar Surya.
Indonesia Ramah Tuli-HoH
Namun, kata Surya, tidak apa-apa. Belum telat untuk menggapai misi ‘Indonesia ramah Tuli-HoH’
“Masih bisa diwujudkan. Sampai ketemu 2045,” tuturnya yang menargetkan lima poin.
- SDM pengajar bahasa Isyarat yang Tuli, berkembang dan berkualitas;
- Bahasa Isyarat masuk pendidikan umum;
- Masyarakat Indonesia dapat menguasai bahasa isyarat dasar;
- Kebijakan akses informasi dan komunikasi yang inklusif [takarir tidak terbatas untuk semua media, SDM JBI, captioner serta teknologi Tuli-HoH yang bisa menunjang]; dan
- Tidak ada hambatan komunikasi selama tinggal di Indonesia.
Tom Humphries (1975), menjelaskan, audism adalah bentuk pemikiran seseorang yang menganggap orang yang dapat mendengar lebih superior dibanding orang Tuli.
Surya pun menjabarkan contoh-contoh sikap audisme
Di antaranya:
- Menganggap Tuli tidak mampu mencapai level orang dengar dalam berintelektual, berbahasa, berkarier, berkemampuan finansial, berkomunikasi, dan lain-lain;
- Menganggap Tuli tidak bisa menjadi guru, pilot, pengacara, dokter, dan lain-lain;
- Memandang Tuli tidak bisa membawa mobil;
- Memandang Tuli tidak bisa kuliah;
- Menanggap Tuli tidak bisa berbicara, maka tidak punya masa depan;
- Menanggap bahasa Isyarat, membuat orang malas berbicara;
- Memandang Tuli tidak bisa berbaur dengan orang dengar;
- Memandang Tuli yang tidak memakai alat bantu dengar, tidak sukses;
- Menganggap semua orang Tuli harus dipaksa untuk latihan berbicara, supaya pintar dan sukses; dan
- Banyak pemikiran lainnya yang menghambat kemajuan Tuli-HoH sendiri.
“Tipe orang yang memiliki sikap diskriminatif seperti ini,” kata Surya, “biasa disebut audist.”
Surya berharap, semua pihak hari ini, tidak termasuk golongan audist.
“Kenapa audisme bisa seperti itu? Karena sistem pendidikan dan sosial, memisahkan Tuli-HoH dan non disabilitas dalam kehidupan.”
“Kebanyakan orang non Tuli-HoH, baru memahami Tuli-HoH pada usia dewasa, apalagi belajar bahasa isyarat.”
Penyebab, kata Surya, adalah karena tidak adanya guru Tuli-HoH yang mengajarkan bahasa Isyarat di sekolah umum.
“Tidak ada [juga] pertukaran pelajar di antara sekolah Tuli-HoH dan umum [dengar, bukan normal],” jelas Surya.
Sebelumnya, ia pernah memberi usul. Namun, respons pihak yang ‘power’-nya lebih tinggi itu, kata Surya, “Justru dibilang ‘impossible’.”
Potret yang meski disayangkan, tetapi memang sudah biasa.
“Biasanya, orang dengar lebih mendengarkan [sesama] orang dengar, dibanding orang Tuli-HoH,” ucap Surya.
Itu mengapa akhirnya, ia mengganti strategi dengan menitip pesan pemikirannya kepada orang dengar [Deaf Ally].
“Dan titipan melalui ‘Deaf Ally’, malah mau didengarkan. Lucu, ya? Salah, ya, saya sebagai Tuli?”
“Bukan begitu, tapi ya, karena audisme sudah mendarah daging,” sentil Surya.
“Jangan salahkan orang, tapi sistem di Indonesia, sudah seperti itu, dan harus kita rombak. Ya, ‘kan?”
Demikian tutur Surya, meminta kesepakatan Pendiri dan Ketua Handai Tuli Indonesia, Rully Anjar Arifianto.
‘Saya Mau Pingsan’
Lebih lanjut, Surya juga membagikan percakapan antara Stefan dan Risma.
Ia yang mengaku ingin pingsan ketika mendengarnya, sampai memberi peringatan.
“Kalau mau nonton video full… risiko emosional dan trauma ditanggung sendiri, ya.”
Setelanya, Surya pun menjelaskan, bahwa tidak semua anak Tuli, bisa berbicara.
“Faktor bicara itu berdasarkan tingkat pendengaran mereka, investasi alat bantu dengar yang nilai puluhan sampai ratusan juta.”
“Terapi wicara yang berkesinambungan–yang biayanya tidak murah–serta waktu orang tua untuk anaknya sendiri, juga terutama sedang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.”
“Belum lagi pendidikan luar biasa, saat ini belum humanis,” kata Surya.
Menurutnya, seharusnya Risma, mengganti pertanyaan dengan, “Nak, mau menyampaikan pakai apa? Boleh tulis, boleh bahasa isyarat, boleh berbicara, dan lain-lain. Biar ibu yang belajar memahamimu.”
“Tanyakan komunikasi mereka, bukan kita menentukan komunikasi mereka demi kepuasan kita, tanpa memahami kenyamanan mereka,” tegas Surya.
“Hindari sikap linguicism, ya, kawan-kawan! Linguicism merupakan pandangan menganggap orang pakai bahasa Indonesia secara lisan, lebih pintar daripada orang menggunakan bahasa isyarat,” jelasnya.
Surya kemudian menyampaikan, “Bahasa isyarat merupakan bahasa ibuku.”
“Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua, bukan berarti saya tidak berkompeten sebagai warga negara Indonesia,” imbuhnya menekankan.
“Mari rombak sistem sosial dan pendidikan yang kejam di Indonesia! Sebelum 2045, ya, Tuhan!,” pungkas Surya.
Iies Arum Wardhani
Seorang ibu dari anak Tuli, Iies Arum Wardhani, juga menyampaikan pandangannya atas sikap Risma terhadap Aldi.
Awalnya, ia memperkenalkan diri sebagai orang tua dari anak Tuli, bernama Langit.
“Sebelumnya, saya apresiasi dan ucapkan terima kasih atas diselenggarakannya peringatan Hari Disabilitas Internasional,” tuturnya melalui akun Instagram, @iiesarum.
“Alhamdulillah, kami bisa menghadiri secara langsung acara di Kementerian Sosial (Kemensos) RI.”
“Dan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada ibu, saya ingin menyampaikan beberapa hal.”
Berikut pernyataan Iies, selengkapnya:
Saya merasa sedih dan terluka, ketika ibu mengatakan, memaksimalkan pemberian Tuhan, dengan meminta anak Tuli untuk berbicara.
Mohon maaf dengan sangat. Tuhan menciptakan makhluknya sudah dalam kondisi sempurna. Saya percaya itu.
Keberagaman kondisi adalah warna yang Tuhan berikan, untuk manusia saling belajar memahami dan saling menghormati.
Memaksimalkan anak Tuli, bukan dengan meminta mereka berteriak, ‘Hore, Aaaa, Iiiiii, Uuuu’. Bukan.
Memaksimalkan anak Tuli adalah dengan memberikan akses yang tepat untuk mereka bisa menerima informasi dan pengetahuan.
Memberikan mereka kesempatan untuk berkarya. Membersamai mereka untuk push the limit dalam karya-karya mereka.
Sedih hati saya, bu. Sulit bagi orang tua untuk menjelaskan, kenapa kami menerima keikhlasan anak-anak kami yang menitipkan pendengaran mereka kepada Tuhan.
Sulit juga bagi kami awalnya, menerima kondisi ini, tapi ini bukan akhir, bu. Kita semua berproses.
Mari kita bertumbuh bersama, membersamai mereka. Jika ibu berkenan, kami pun bersedia untuk berdiskusi dengan ibu.
Kejadian kemarin sangat melukai saya dan anak saya, tapi itu tidak mengurangi sayang kami kepada ibu.
Mari bu, kita membersamai mereka untuk bertumbuh, hormati, dan hargai pilihan mereka untuk generasi ke depan lebih baik dan lebih maju.
Salam sayang kami untuk ibu Menteri Sosial RI Tri Rismaharini.
Sang anak, Langit, juga bicara. “Bu/Pak, saya mempunyai pertanyaan.”
“Kenapa tunanetra boleh braille, ponsel bersuara, dan tongkat pintar?”
“Sedangkan Tunarungu atau Tuli, tidak boleh berisyarat? Padahal bahasa isyarat adalah bahasa ibu, dan hadiah untuk para Tuli,” kata Langit.
“Jangan-jangan… Indonesia buta Hati?!” pekiknya.
Risma Paksa Anak Tuli Bicara
Sebelumnya, Mensos Risma, memaksa teman Tuli untuk bicara di hadapan banyak orang. Tepatnya saat peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2021.
Potret inilah yang kemudian membuat, ‘Bu Risma’, trending di media sosial Twitter, pada Kamis (2/12/2021) siang.
Sebagai perwakilan dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), Stefanus (Stefan), bicara.
Ibu mohon maaf, saya mau berbicara dengan ibu, sebelumnya. Ibu, saya harap sudah mengetahui CRPD [Convention on the Rights of Persons with Disabilities].
Bahwasanya anak Tuli itu memang menggunakan alat bantu dengar, tapi tidak untuk kemudian dipaksa untuk berbicara.
Tadi saya sangat kaget, ketika ibu memberikan pernyataan…
Belum selesai bicara, Risma menghampiri Stefan. Ia pun bertanya, “Mohon maaf, apakah saya salah?”
Risma menjawab, tidak. Lalu, Stefan pun melanjutkan penjelasannya.
Jadi, perkenalkan, nama saya Stefanus, panggilannya Stefan.
Saya ingin menyampaikan, bahwasanya bahasa isyarat itu penting bagi kami.
Bahasa isyarat itu adalah seperti harta bagi kami…
Namun, lagi-lagi, belum selesai bicara, Risma memotong.
Namanya siapa dia? Stefan?
Jadi, Stefan, kamu bisa lihat aku? Jadi, Stefan, ibu tidak, ibu tidak mengurangi bahasa isyarat.
Tapi Stefan, kamu tahu? Tuhan, itu memberikan mulut, memberikan telinga, memberikan mata kepada kita.
Yang ingin ibu ajarkan kepada kalian, terutama anak-anak yang menggunakan alat bantu dengar, sebetulnya, tidak mesti dia bisu, sebetulnya tidak mesti bisu.
Jadi, karena itu, kenapa ibu paksa kalian untuk bicara? Ibu paksa memang.
Supaya kita bisa maksimal, memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita. Mulut, mata, telinga.
Jadi, ibu tidak melarang menggunakan bahasa isyarat, tapi kalau kamu bisa bicara, maka itu akan lebih baik lagi… Mengerti ya, Stefan?
Stefan pun kembali menanggapi Risma. “Ibu, saya mau menambahkan sebentar.”
Jadi, kemampuan bicara anak-anak Tuli itu bermacam-macam.
Ada yang memang dia Tuli dari sejak kecil, ada yang tidak Tuli sejak kecil seperti Mbak Angkie [Re: Angkie Yudistia].
Dan kemampuan bahasa isyaratnya juga beragam. Ada yang bisa bahasa isyarat, ada yang tidak bisa bahasa isyarat.
Jadi, itu yang harus dihargai. Bahasa isyarat bisa memberikan pemahaman juga kepada orang Tuli…
Risma pun kembali menjawab, “Aku setuju itu, aku sangat setuju itu.”
Tapi Stefan, ibu sangat setuju sekali, tapi saya berharap kita harus mencoba.
Ibu pengin coba, seberapa kemampuan, terutama anak, untuk dia memaksimalkan telinganya, memaksimalkan mulutnya.
Tidak boleh menyerah Stefan, tidak ada kata menyerah, tidak boleh berhenti.
Kamu boleh belajar, boleh tetap gunakan bahasa isyarat, bahkan kalau perlu, ibu minta sendiri juga.
Kalau ibu bicara, ibu selalu didampingi penerjemah bahasa isyarat.
Tapi Stefan, ibu pengin melatih kepada kalian semua untuk tidak menyerah, kalian harus terus berlatih, terus berlatih…
‘Bu Risma’ Trending
Setelah Stefan mengoreksi sikap Risma, dan Risma menjelaskan, mengapa ia memaksa anak Tuli untuk bicara, ‘Bu Risma’ pun trending di media sosial Twitter.
Potongan video dari acara yang disiarkan langsung di kanal YouTube Kemensos RI–bagian Stefan dan Risma bicara–itu viral.
“Baru kali ini gua denger orang bisu disuruh ngomong,” kata @askha_bayu.
“Bu Risma bahkan enggak sedikit pun coba memahami penjelasan si Stefan,” kritik @WidasSatyo.
“Iya, ini gue juga kaget banget, ya,” timpal @slvnabs. “Setelah tahu konteksnya Stefan, mau mengkritik dirinya, dia justru motong pembicara dan langsung ‘klarifikasi’.”
“Bahkan dari klarifikasinya saja dia ragu apa yang dikatakannya itu benar atau engga. Apa salahnya bilang, ‘Maaf, saya telah salah’,” sambungnya.
Pengguna Twitter @githamys, juga bicara. “Mana ada orang yang pengin enggak bisa ngomong sama dengar?”
“Mungkin ibu enggak tahu gimana rasa sakit mereka saat memakai ABD [alat bantu dengar], dan juga ketika dipaksa berbicara saat terapi wicara,” imbuhnya.
“Saya kesal dan emosi sekali mendengar pernyataan ibu,” lanjutnya.
Pemilik akun @pejabrut, juga mengingatkan Risma. “Bu, manusia juga diberi karunia untuk bisa mendengarkan, memahami, dan diam.”
“Seharusnya ibu juga memaksimalkan karunia Tuhan tersebut,” sentilnya.
“Merupakan contoh nyata, betapa pentingnya merasakan posisi orang lain dan ‘menjadi’ seperti mereka dahulu, sebelum mengeluarkan statement. Bisa jadi bumerang diri sendiri,” sahut @ptrprat.
Baca Juga:
Momen Risma Paksa Anak Tuli Bicara
Pada Rabu (1/12/2021), di Gedung Aneka Bhakti Kemensos, Risma berdiri di atas panggung bersama penyandang disabilitas rungu, wicara, dan autisme, Anfield Wibowo.
Anfield yang gemar melukis, membawa hasil karyanya yang baru dibuat di lokasi.
Lalu, ia memegang mikrofon dan mencoba berbicara. “Apa yang mau disampaikan ke ibu, apa?,” tanya Risma.
Anfield tampak memegang kertas dan mencoba bicara. Seorang juru bicara bahasa isyarat, membantu memperjelas pernyataannya.
“Selamat siang, Ibu dan Bapak hadirin sekalian di sini. Semoga Ibu Menteri suka dengan lukisan Anfield. Terima kasih.”
Demikian kata Anfield melalui juru bicara bahasa isyarat di Kemensos.
Setelah itu, Risma mengajak seorang anak Tuli lainnya, Aldi, ke atas panggung, dan bicara.
Aldi, ini ibu. Kamu sekarang harus bicara, kamu bisa bicara. Ibu paksa kamu untuk bicara.
Ibu nanam… eh melukis, tadi melukis pohon, ini pohon kehidupan. Aldi, ini pohon kehidupan.
Ibu lukis hanya sedikit, tadi dilanjutkan oleh temanmu, Anfield.
Nah, Aldi, yang ibu ingin sampaikan, kamu punya di dalam, apa namanya, pikiranmu, kamu harus sampaikan ke ibu, apa pikiranmu.
Kamu sekarang ibu minta bicara, enggak pakai alat. Kamu bisa bicara.
Aldi tampak mencoba berbicara, tetapi suaranya lirih. Namun, Risma terus memintanya berbicara tanpa menggunakan alat bantu.
Melihat ini, Stefan pun naik ke atas panggung, dan mencoba mengoreksi sikap Risma yang menyakiti banyak pihak.