Ngelmu.co – Betapa liciknya Partai Komunis Indonesia (PKI), membuat pengajian jebakan, demi menumpas umat Islam di Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim).
Pada 18 Oktober 1965, mereka menyebar undangan atas nama NU.
Mendapat kabar tersebut, warga Dusun Krajan, Desa Cemetuk, Kecamatan Cluring pun berduyun-duyun menuju rumah Pak Lurah Matulus.
Namun, nyatanya undangan tersebut berasal dari PKI. Mereka sengaja menyamar sebagai Banser dan Fatayat.
Sebagai dedengkot PKI setempat, Matulus menjadikan undangan pengajian palsu tersebut untuk menjebak warga desa. Terutama para aktivis Banser dan Anshor.
Anggota Gerwani yang mendapat bagian mengurus bagian konsumsi, mengenakan kerudung serta seragam warna hijau, khas Fatayat NU.
Mereka juga ikut menyenandungkan sholawat. Iya, sebagian Gerwani mengurus makan minum, sebagian lagi bertugas sholawatan di panggung.
Itu mengapa, pengajian penuh petaka itu tak menimbulkan kecurigaan sama sekali.
Warga desa juga ikut menyenandungkan sholawat. Mengikuti pengajian hingga akhir, dan makan-makan bersama.
Namun, kegembiraan mereka sebagaimana ketika menjalani pengajian pada umumnya, berakhir duka.
Sebab, tak lama kemudian, para tamu undangan nampak memegang perut dan leher mereka, dan kejang.
Para tamu merasa begitu kesakitan di rumah Matulus.
Ternyata? Makanan yang mereka makan, telah tercampur racun. Pelakunya tak lain adalah Gerwani.
Rencana keji mereka berhasil menghilangkan nyawal puluhan anggota Anshor dan Banser Banyuwangi.
Setelahnya, para Gerwani pun nampak tertawa. Mereka gembira saat melihat anggota Banser dan Anshor, sekarat.
Satu per satu peserta pengajian tumbang. Bagi mereka, potret tersebut membuat tak ada perlawanan berarti.
Cukup dengan racun makanan, pihak yang mereka anggap musuh pun runtuh bersamaan.
Baca Juga:
Di waktu yang sama, Gerwani juga tak lagi berpura-pura menjadi anggota Fatayat. Mereka berhenti menyenandungkan sholawat.
Para Gerwani melanjutkan kegiatan dengan mendendangkan lagu ‘Genjer-genjer’.
Kekejaman PKI tidak berhenti sampai di situ, karena ketika anggota Banser dan Anshor–peserta pengajian–sekarat, mereka digelandang.
Menuju rumah Mangun Lehar, yang tak lain merupakan tokoh utama PKI Desa Cemetuk. Di sana-lah, pembantaian terjadi.
Mereka membantai 62 anggota Banser dan Anshor, tanpa ampun. PKI mengiris, memotong, juga mencacah puluhan orang itu.
Rumah Mangun Lehar pun banjir darah. Lantai, dinding, hingga perabot rumahnya berubah warna. Merah.
Gerwani yang jelas turut serta dalam pembantaian ini, asyik menari dan menyanyi ‘Genjer-genjer’. Tak mengenal henti.
Entah mengapa. Begitu biadabnya hati mereka. Seolah menikmati darah manusia, sebagai pelengkap tarian.
Pembantaian terlihat seperti pesta pada umumnya.
Pasca pembantaian keji, jenazah anggota Banser dan Anshor, mereka kubur dalam tiga lubang besar.
Lubang-lubang yang juga telah mereka buat, sejak jauh hari.
Lubang pertama berisi 10 mayat, sama dengan lubang kedua, sementara lubang ketiga, mereka isi 42 mayat.
Sampai saat ini, ketiga lubang tersebut masih ada di Desa Cemetuk, Banyuwangi.
Kekejian PKI tak bisa melayang begitu saja. Maka untuk mengingatnya, dibangun monumen Pancasila Jaya.
Berupa burung Garuda besar, berisi daftar nama 62 orang yang dibantai. Lengkap dengan relief pembunuhan keji tersebut.
Tiga lubang kuburan massal juga dinamakan lubang buaya.
Pengingat nyata untuk seluruh elemen bangsa, bahwa kebiadaban, kekejaman, begitu tertanam di tubuh PKI.
Mereka tak memiliki belas kasih terhadap sesama. Tak punya hati nurani. Keji!