Ngelmu.co – Jurnalis senior Farid Gaban melayangkan serentetan tanya kepada Budiman Sudjatmiko, soal cita-citanya membangun bukit algoritma dengan konsep mirip Silicon Valley di Amerika Serikat (AS).
‘Silicon Valley’ Indonesia
“Kalau boleh tahu, Mas @budimandjatmiko, kenapa yang digandeng untuk mengembangkan ‘Silicon Valley’ itu BUMN bidang konstruksi?”
“Kenapa bukan Telkom, misalnya? Lantas, Rp18 triliun itu untuk bikin apa? Bagaimana business model-nya, setidaknya di level konsep?”
Demikian tanya Farid, Ahad (11/4) kemarin, seperti Ngelmu kutip dari akun Twitter pribadinya, @faridgaban.
Menurutnya, pendanaan swasta di kawasan ekonomi khusus, tidak dapat disebut swasta murni, karena ada insentif pajak.
“Artinya subsidi publik. Apalagi jika BUMN yang terlibat, dijamin pemerintah dan pengambilalihan lahan melibatkan polisi (aparat publik),” ujar Farid.
“Prinsip akuntabilitas publik berlaku di situ,” tegasnya lagi.
Daripada ikon ‘Silicon Valley’ seperti Steve Jobs dan Bill Gates, Farid mengaku lebih kagum dengan orang Finlandia, Linus Torvalds.
Sosok yang mempromosikan opersource Linux; bukan sekadar produk.
“Tapi juga simbol gerakan/movement dunia maya yang lebih demokratis, egaliter, dan sosialistik,” kata Farid.
Baca Juga: Sebelum Tunjuk Politikus PDIP, Sederet Kader Partai Ini Telah Erick Thohir Pilih Jadi Komisaris
Sebelumnya, Budiman selaku Ketua Pelaksana Kiniku Bintang Raya KSO [Kerja Sama Opersional], telah meneken kontrak Pekerjaan Pengembangan Rencana KEK [Kawasan Ekonomi Khusus] Pengembangan Teknologi dan Industri 4.0.
“Ini merupakan mimpi jangka panjang, untuk tahap pertama selama tiga tahun, AMKA [PT Amarta Karya] menjadi mitra kepercayaan untuk membangun infrastruktur,” tuturnya.
“Termasuk akses jalan raya, fasilitas air bersih, pembangkit listrik, gedung konvensi, dan fasilitas-fasilitas lainnya,” sambung Budi.
Proyek ‘Real Estate’ Bertema
Namun, di mata Farid, KEK merupakan proyek ‘real estate’ yang bertema.
“Dipromosikan sebagai pusat pertumbuhan mandiri, tapi potensial jadi parasit infrastruktur publik; menuntut negara membangun jalan, pelabuhan, bandara,” kritiknya.
KEK, lanjut Farid, juga menguntungkan developer lewat kenaikan harga lahan pun bangunan.
“Tapi menyedot resources negara/publik, termasuk mengalihkan anggaran yang terbatas untuk pembangunan masyarakat desa, misalnya, yang juga menjadi kepedulian @budimandjatmiko,” jelasnya.
Sedangkan dari sisi tata kota, kata Farid, KEK yang dipromosikan sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, pada dasarnya menganut teori trickle down [membangun pusat agar kemakmuran menetes ke bawah].
“[Tapi] Trickle down itu mitos,” ungkapnya. “Yang terjadi sebaliknya: ketimpangan kota vs desa, kian menganga.”
Indonesia, sebenarnya telah memiliki dua KEK digital, di Batam, “Yang kurang gegap gempita,” kata Farid.
Lebih lanjut, ia menilai, KEK ‘Silicon Valley’ sebagai impian yang ambisius dan spektakuler.
“Bagus punya impian, tapi kalau gagal, akan menjadi kegagalan spektakuler,” ujar Farid.
Itu mengapa, ia meminta kepada Budi untuk merenungkan rencana ini matang-matang.
Melupakan ‘Hal’ Dasar
“Suka internet dan teknologinya sejak 1995, saya apresiasi impian digital @budimandjatmiko,” kata Farid.
“Tapi menurut saya, KEK ‘Silicon Valley’ lebih menonjol bisnis properti, ketimbang membangun ekosistem digital bottom-up,” imbuhnya.
‘Silicon Valley’ Indonesia juga terlalu mengawang, “[Jika] Dilihat dari desa saya, di kaki Gunung Sindoro,” ucap Farid.
Ia juga menilai, pada akhirnya, perdebatan tentang ‘Silicon Valley’ akan sampai pada debat konsep.
“Debat konsep pembangunan yang mau kita promosikan: pertumbuhan vs pemerataan; infrastruktur fisik vs manusia,” ujar Farid.
“Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita masih di papan bawah dunia, 100 besar pun tidak masuk,” sambungnya.
Debat ‘Silicon Valley’, lanjut Farid, juga akan menyentuh pertanyaan dasar.
“Apakah kita puas cuma menjadi peniru, atau membangun jati diri dan kemandirian; membangun dari apa yang kita punya,” tuturnya.
“Memanfaatkan keunggulan sebagai negeri bahari, hutan tropis, dan megadiversity [keanekaragaman] hayati.”
Di akhir, Farid menilai, “Kita cenderung terpukau pada riset internet yang over-hype. Pada 4.0 yang mengawang.”
Begitu juga pada unicorn serta decacorn yang menciptakan ketergantungan.
“Kita lupa kembali mengurusi hal-hal basic [dasar] pertanian, perikanan, kehutanan, kerusakan lingkungan; problem-problem di depan mata,” pungkas Farid.
Jawaban Budi Atas Pertanyaan ‘Rp18 Triliun’
Dari serentetan tanya yang Farid layangkan kepada Budi, ada satu yang mendapat tanggapan, yakni soal anggaran.
“[Biaya sebesar Rp18 triliun] Ya, untuk konstruksi infratstuktur fisik,” jawab politikus PDIP itu, lewat akun Twitter pribadinya, @budimandjatmiko.
“Tapi untuk konstruksi infrastruktur digital, akan mengagndeng BUMN Telkom, tentunya,” sambungnya.
Uang Rp18 triliun itu, kata Budi, juga akan digunakan untuk membangun jalan, gedung-gedung riset, sekolah, universitas, hingga rumah sakit.
Harapan di Balik ‘Silicon Valley’ Indonesia
Terlepas dari tanya Farid dan jawaban singkat itu, sebelumnya, Budi yang juga merupakan Komisaris Independen PT Perkebunan Nusantara V, telah bicara soal ‘Silicon Valley’ Indonesia.
Ia mengaku berharap, Bukit Algoritma yang akan segera diwujudkan tersebut, dapat menjadi pusat penelitian dan pengembangan [termasuk SDM Indonesia]. Terutama bagi generasi muda.
“Muda‐mudi anak bangsa sudah banyak yang menorehkan prestasi dan menciptakan inovasi di kancah global,” kata Budi.
Maka menurutnya, kelak, kawasan tersebut akan menjadi salah satu pusat pengembangan inovasi serta teknologi tahap lanjut.
“Semisal kecerdasan buatan, robotik, drone, hingga panel surya untuk energi yang bersih dan ramah lingkungan,” jelas Budi.