Ngelmu.co – Return of The Mahasiswa. Fenomena gerakan mahasiswa yang sangat masif akhir-akhir ini begitu menarik perhatian publik. Betapa tidak, ribuan mahasiswa berhasil mengepung gedung DPR RI dalam waktu singkat.
Mahasiswa yang berasal dari beragam universitas itu, terkonsolidasi, bersatu padu, menyerbu Senayan.
Tidak hanya itu, bahkan gerakan sejenis juga terjadi di kota-kota lain, selain Jakarta.
Padahal sebelumnya, mereka dianggap tidak bersuara dalam menyikapi berbagai permasalahan bangsa.
Misal, di mana suara mereka saat BBM, TDL, dan BPJS dinaikkan. Aneh ‘kan?
Muncul Berbagai Spekulasi
Beragam spekulasi pun kemudian bermunculan. Gerakan ini pasti ditunggangi.
Tidak mungkin gerakan mahasiswa sebesar ini bisa terjadi jika tidak ada yang menunggangi.
Mereka yang pro pemerintah mengatakan, kaum radikal dan anti pemerintah telah menyusupi gerakan ini.
Hati-hati, gerakan mahasiswa telah ditunggangi.
Sementara kaum yang kontra pemerintah bilang, ini hanya settingan, jebakan, memanfaatkan mahasiswa untuk mengangkat posisi Jokowi pada akhirnya.
Makin simpang siur.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Mahasiswa Siap Sambut Bergabungnya Alumni 212 ke Dalam Aksi Mereka
[/su_box]
Konsolidasi dalam waktu singkat pun menimbulkan pertanyaan besar.
Kok bisa ya, tiba-tiba saja mahasiswa berkumpul dan bergerak dalam jumlah yang besar? Dan menyebar dibeberapa kota.
Kok bisa ya, mahasiswa yang katanya biasa asyik main mobile legend, nge-vlog, nge-prank, tiba-tiba saja turun ke jalan dalam jumlah besar?
Tiba-tiba saja bela KPK, tiba-tiba saja menuntut ORBA. Ajaib ini.
Tuntutan yang dibawa juga membingungkan. RUU yang ingin mereka batalkan juga masih kontroversial.
Misal RUU KUHP. Bagi sebagian orang, ini bagus, karena melindungi kehidupan keluarga.
Tetapi ada juga yang menganggap beberapa pasal bermasalah, bagi kebebasan berdemokrasi.
Target sasaran demo pun dipertanyakan. Kenapa ke DPR RI dan DPRD? Kenapa tidak ke Istana? ‘Kan RUU dibahas bersama DPR dan pemerintah.
Kenapa oh kenapa?
Tapi saya tidak ingin membahas tentang tuntutan yang mereka bawa. Itu butuh pembahasan tersendiri yang lebih serius.
Lagian waktu kita mahasiswa juga, konten tidak pernah sempurna.
Kalau mau diadu, kalah lah ilmu kita yang masih calon sarjana ketika itu, dengan para mentri yang juga dosen-dosen kita.
Konten yang menembak banyak pihak, dan tidak spesifik bisa terjadi setidaknya karena dua alasan.
Pertama ia terjadi karena mahasiswa merancang sendiri secara independen kontennya. Atau ia ditunggangi, tetapi oleh begitu banyak kepentingan, jadi tidak ada yang dominan.
Yang menarik perhatian saya adalah eskalasi dalam waktu singkat. Banyak orang terpana oleh begitu singkatnya waktu yang dibutuhkan oleh mahasiswa, untuk menggalang kekuatan.
Di kepala saya, ini tidak masuk akal. Kok bisa?
Return of The Mahasiswa
Tapi kemudian saya teringat pesan om Ray Dalio. Truth is the essential foundation for producing good outcomes.
Saya harus lebih menerima realita. Telah terjadi demo mahasiswa dalam jumlah besar, itu adalah realita. Ditunggangi, tiba-tiba, dan lain sebagainya, itu adalah asumsi.
Dalam menganalisa fenomena gerakan mahasiswa saat ini, masing-masing kita akan menggunakan memori ketika kita membangun gerakan di zaman kita masing-masing.
Di situlah awal masalahnya. Kita mengukur dengan penggaris masing-masing.
Dalam kepala saya, untuk membangun eskalasi gerakan, butuh waktu bermingu-minggu atau bahkan berbulan-bulan.
Karena kami harus berorasi dari kantin ke kantin, fakultas ke fakultas, nyebar ratusan flyer, hingga masuk ke kelas-kelas untuk pengakaran opini. Itu untuk level universitas.
Untuk level nasional, ya harus sering bikin pertemuan lintas universitas. Kunjungan antar pulau, antar provinsi. Buat seminar nasional, dan lain-lain.
Begitu caranya. Enggak mungkin sehari dua hari ‘kan?
Tapi yang kita lupa adalah, zaman sudah berubah, Bro.
Para pemain mobile legend dan tukang nge-vlog ini jauh lebih terkoneksi, dibandingkan kita di zamannya. Itu yang harus kita perhitungkan.
Dengan tingkat konektifitas yang mereka miliki, waktu berbulan-bulan bagi kita dulu itu, bisa dilipat menjadi hanya berhari-hari saja.
Jarak dan ruang sudah semakin tidak relevan. Di sanalah bedanya. Mereka native di era connectivity ini.
Bagi mereka, forum nasional yang rumit bisa diubah hanya jadi WAG. Ratusan flyer bermetamorfosis menjadi status IG.
Rapat rutin bertransformasi menjadi chat di Line. Pertemuan tatap muka menjadi teleconference via Skype.
Dan memanfaatkan media sosial lainnya, yang mungkin kita juga belum tahu.
Yang saya tahu, pembahasan isu korupsi ini juga sebenarnya sudah berjalan bertahun-tahun di mahasiswa.
Ia bukan isu kemarin sore. Ada demo, tapi kecil-kecil. Ia kemudian terakumulasi bersama isu lainnya, dan baru menemukan momentumnya hari ini.
Tapi ‘kan kita juga pengguna medsos, kok bisa tidak tahu? Karena boleh jadi kita melihat Facebook, sementara mereka aktif di Instagram.
Kita sibuk dengan WhatsApp, mereka menggunakan Line. Dan mereka menggunakan media sosial lainnya, yang mungkin kita belum tahu.
“Tapi enggak ah. Saya juga pengguna medsos kok. Saya juga pakai apa yang mereka pakai. Jadi saya pasti tahu”.
Ingat Senandung Alan Walker
Belum tentu. Dengarlah senandung Alan Walker, “Cause even if they understand, they don’t understand”. Kabutnya masih pekat.
Di atas itu semua, yang patut kita sadari hari ini adalah bahwa semangat dan gerakan mahasiswa itu ternyata masih ada.
Dan bisa masif juga. Jadi ia belum mati. Seperti Jedi, mahasiswa telah kembali. Return of The Mahasiswa.
Tapi dalam bentuk yang berbeda, dengan fenomena 20 atau 40 tahun sebelumnya.
Gerakan mereka cepat dan mendobrak sekat-sekat. Isu semacam cebong kampret tidak relevan bagi mereka. Mereka ingin keluar dari kotak-kotak kelompok. Semua disikat.
Rezim cebong kampret sepertinya akan segera runtuh. Ia ter-disrupt oleh gerakan mahasiswa 4.0.
Jadi kita mesti gimana? Ya bahagia, karena the force still be with us. Dukung mahasiswa!
Dan ingat, kini ia bisa hadir masif dalam waktu singkat.
Warning bagi pemerintah untuk melaksanakan amanahnya dengan benar, dan lampu merah bagi para koruptor.
Mahasiswa, semoga ia tetap independen dan impactful.
Oleh: Gari Primananda, Ketua BEM UI 04/05