Entah siapa yang memulai tradisi ini, yang jelas sejak saat di IPNU saya telah mengenal istilah bisyaroh. Secara bahasa, bisyaroh maknanya kabar gembira.
Sementara secara urf (tradisi), bisyaroh yang umumnya berbentuk uang yang dibungkus amplop, adalah bentuk penghormatan kepada Kiyai atau ulama yang telah menyampaikan dakwah, ceramah, menjadi khatib Khutbah Jumat, memimpin doa, atau sejumlah aktivitas keagamaan ditengah umat.
Secara filosofi, ulama dalam tradisi puritan sering melupakan aktivitas maisyah (mencari nafkah). Mereka telah berfokus menginfakan waktunya untuk dakwah dengan menebar ilmu dan nasehat kepada umat.
Atas dasar itulah, jamaah yang dikelola oleh panitia kegiatan, atau santri, atau komunitas yang mengadakan kegiatan, mengakadkan anggaran bisyaroh untuk Kiyai atau ulama, sebagai santunan pengganti waktu untuk bekerja yang digunakan sang Kiyai untuk berdakwah. Harapannya, dengan bisyaroh yang diberikan bisa membantu nafkah atau setidaknya operasional dakwah sang Kiyai.
Tak mudah bagi jamaah atau santri dapat memberi pengertian kepada sang Kiyai untuk menerima bisyaroh. Banyak, diantara para Kiyai yang Waro’ dan enggan menerima bisyaroh. Kadang, dalam kondisi tertentu bisyaroh ini perlu ‘pemaksaan’ agar diterima sang Kiyai.
Bisyaroh bisa disejajarkan atau dianalogikan dengan ‘santunan’ untuk Khalifah. Saat Khalifah memimpin umat, praktis seluruh waktu dan hidupnya untuk umat. Padahal, Khalifah juga pribadi yang memiliki tanggungan nafkah untuk dirinya dan keluarganya.
Khalifah tidak berhak atas gaji sebagai kompensasi atas jabatannya, karena akad menjadi Khalifah itu bukan bekerja (ijaroh). Melainkan, akad baiat untuk menerapkan kitsbulloh dan Sunnah Nabi-Nya. Karena itu, negara khilafah memberikan bantuan berupa santunan kepada Khalifah untuk mencukupi kebutuhan nafkah dirinya dan keluarga.
Pada periode Abu Bakar, beliau mengambil seperlunya harta dari Baitul Mal untuk kebutuhan nafkah keluarga. Demikian pula pada periode Umar, Utsman dan Ali. Pada periode Umar Bin Abdul Azis, beliau pernah mengembalikan sebagian santunan dari Baitul Mal karena dirasa berlebih.
Demikian juga dengan Bisyaroh. Bisyaroh bukanlah gaji atau upah bagi sang Kiyai untuk berceramah atau berdakwah. Karena dakwah adalah kewajiban yang ditetapkan Allah SWT tanpa kompensasi harta. Namun, seorang ulama atau Kiyai pasti membutuhkan harta untuk kebutuhan nafkah dirinya dan keluarganya yang tidak boleh terbengkalai karena aktivitas menjalankan kewajiban dakwah.
Demikianlah, jamaah atau para santri kemudian menyiapkan bisyaroh untuk Kiyai atau ulama, kalaupun tidak untuk menanggung kebutuhan nafkah Kiyai dan keluarganya, tetapi setidaknya mampu menopang ongkos dan kebutuhan aktivitas dakwah sang Kiyai.
Tiba-tiba, istilah bisyaroh yang mulia ini, yang esensinya untuk menopang dakwah, diklaim sebagai fee korupsi oleh Rommi dan Lukman. Keduanya, menisbatkan uang suap (riswah) yang diterima sebagai bisyaroh.
Rommi dan Lukman itu bukan Kiyai, bukan ulama, menerima uang juga bukan karena aktivitas dakwah. Lantas darimana dasarnya menyebut fee korupsi dari jual beli jabatan di Kemenag sebagai Bisyaroh ?
Romi dan Lukman memang memiliki kebutuhan akan harta untuk menanggung nafkah, dirinya dan keluarganya. Tapi bukankah keduanya sudah punya gaji ? Romi gajinya bejibun sebagai anggota DPR RI. Lukman juga punya banyak duit dari gaji Menag.
Memangnya gaji sebagai anggota DPR RI dan Menag kurang untuk nafkah diri dan keluarga ? Memangnya kalau tidak terima fee korupsi mereka berdua akan menjadi fakir ?
Sakit sekali batin ini, ketika mendengar istilah khas yang mulia, yang terhormat, yang dijaga dan disegani dalam tradisi dakwah dicampuradukkan dengan perilaku korupsi. Kalian berdua sudah tercemar karena korupsi, jangan mencoreng aktivitas dakwah dengan menarik istilah ‘bisyaroh’ dalam aktivitas kejahatan kalian.
Nasrudin Joha