Rupiah anjlok. Kemarin sudah tembus Rp 15.000/dolar AS. Publik terbelah. Ada yang “menyerang” pemerintah. Ada pula yang membela mati-matian nir nalar.
Mereka yang menjadikan isu meroketnya dolar dianggap tak nasionalis. Kerjanya hanya mengrkritik Jokowi. Kata mereka, jika Prabowo jadi presiden pun tak akan bisa mencegah ambruknya rupiah.
Saatnya bergendengan tangan. Saatnya dukung pemerintah. Teriak mereka.
Siapapun, termasuk pendukung Prabowo, atau #2019GantiPresiden, tak pernah bahagia dengan merosotnya nilai tukar rupiah. Karena di depan mata sudah terbayang beban ekonomi yang menghantui.
Lalu mengapa mereka berteriak soal ini?
Mereka bukan tidak suka Jokowi. Mereka bukan bergembira. Mereka bukan menari-nari di atas penderitaan bangsa. Tapi karena ini adalah puncak keresahan dan kemarahan mereka, termasuk saya.
Saat rupiah terus bergerak naik, pemerintah mengatakan tak masalah. Funademantal ekonomi kita bagus.
Menkeu Sri Mulyani mengatakan pendapatan negara akan bertambah Rp 8 triliun hingga akhir tahun dengan adanya pelemahan kurs tersebut.
“Pendapatan negara dengan kalkulasi sekarang, dengan kurs di semester II dan lain-lain itu, kami lihat akan 100% atau Rp 8 triliun lebih tinggi,” ujar Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (10/7).
Lalu ada menteri yang berkata angkuh bahwa jika rupiah mencapai Rp 20.000/dolar AS pun tidak masalah.
“Tidak berarti. Enggak apa-apa itu, (dolar AS) Rp 20 ribu saja pelemahannya enggak apa-apa. Kita juga terus upayakan kok sejauh ini agar pelemahan rupiah tidak terlalu jauh,” kata Menko Perekonomian Darmin Nasution saat ditemui di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Minggu (22/7).
Padahal, di sisi lain, banyak langkah kebijakan ekonomi pemerintah yang terkesan panik. Sementara itu, cadangan devisa kita terus merosot untuk mengatasi pelemahan kurs rupiah ini.
Diketahui, cadangan devisa Indonesia terkuras 6,89 persen dari US$132 miliar pada Januari 2018 menjadi US$122,9 miliar pada Mei lalu. Cadangan devisa menciut demi stabilisasi rupiah yang keok terhadap dolar AS.
Polah tingkah pemerintah ini mengingatkan saya pada film Wag the Dog. Berkisah tentang keberhasilan proyek rekayasa fakta-sosial yang dilakukan Conrad Brean (Robert DeNiro), spin-doctor kepresidenan AS yang berkolaborasi dengan Stanley Moss (Dustin Hoffman), seorang produser film Hollywood.
Dikisahkan Sang Petahana dalam posisi kritis akibat skandal seks, hanya beberapa hari sebelum pemilihan berlangsung. proses pemilihan presiden AS. Reputasi Sang Presiden memburuk dan simpati mulai berkurang.
Untuk menyelamatkan presiden, Conrad Brean (Robert De Niro), spin-doctor Sang Presiden yang berotak brilian segera menyusun skenario bagaimanan menciptakan rekayasa isu yang lebih besar sehingga menutupi skandal yang dilakukan.
Terciptalah skenario perang Albania. Media secara massif menayangkannya. Tampak dalam gambar yang disiarkan televisi nasional tersebut (visualisasi CNN), seorang gadis (diperankan Kirsten Dunst) bersama kucingya tengah kepayahan menyelamatkan diri dari serangan membabi buta terhadap perkampungan penduduk Albania.
Setelah film pendek tersebut ditayangkan di televisi sebagai Newsbreaks Special Report, efeknya sungguh luar biasa. Serta merta kasus skandal presiden bagai tertelan bumi. Perhatian publik AS, bahkan masyarakat dunia beralih pada Krisis Albania.
Jika berkaca pada film ini, sepertinya tak cuma soal anjloknya rupiah saja pemerintah bertingkah mirip Wag The Dog. Sejak sebelum pilpres 2014 hingga kini, begitu banyak pola-pola semacam itu dimainkan.
Membentuk opini. Mengalihkan isu. Hingga pencitraan yang didukung media arus utama.
Jadi, jika ada publik yang menjerit keras soal pelemahan rupiah ini, mereka bukan tak nasionalis dan bahagia. Tapi mereka hanya ingin kejujuran dari pemerintah. Jika penguasa berkata apa adanya, kita siap bersatu padu mengatasi anjloknya rupiah ini.
Tapi mungkinkah?
Erwyn Kurniawan
Penulis dan Jurnalis