Ngelmu.co – Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) belakangan tengah menjadi perbincangan publik. Bahkan, menuai banyak kritik dan penolakan dari berbagai pihak.
RUU HIP sendiri merupakan RUU yang diusulkan oleh DPR RI dan disebut telah ditetapkan dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020.
Berbagai kontroversi terkait RUU HIP ini, kian bermunculan dari berbagai kalangan. Sejumlah politisi hingga tokoh agama pun turut memberikan komentarnya.
Pihak yang Menolak RUU HIP
Mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, hingga Partai Keadilan Sejahtera.
Dengan kompak, mereka menyatakan sikapnya untuk menolak RUU tersebut. Pasalnya, di dalamnya tidak mencantumkan TAP MPRS 25/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).
Namun, ke manakah mereka yang kerap berteriak ‘Saya Pancasila’?
Masih melekat dalam ingatan, sejumlah pihak menyebut dirinya ‘Saya Pancasila’. Dengan menyebut dirinya ‘Saya Pancasila’, seharusnya keberadaan mereka sebagai pembela Pancasila sudah tidak perlu diragukan lagi.
Namun, saat ini mereka seolah bungkam. Padahal, pembelaan terhadap Pancasila, tidak bisa ditawar lagi, harus berlangsung sepanjang masa.
Seperti yang diketahui, RUU HIP yang merupakan program legislasi prioritas DPR RI 2020 ini, telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR RI menjadi usul inisiatif DPR. Beleid ini terdiri dari 10 Bab dan 60 pasal.
Poin Krusial RUU HIP
Namun, di dalam draf tersebut terdapat ketentuan yang dianggap kontroversial. Dilansir dari nasional.sindonews, berikut poin-poin krusial dalam RUU HIP:
Konsep Trisila dan Ekasila
Salah satu klausul yang cukup disorot yaitu ihwal keberadaan konsep Trisila dan Ekasila, serta frasa ‘Ketuhanan yang Berkebudayaan’. Di dalam draf RUU HIP, konsep tersebut tertuang di dalam Pasal 7 yang terdiri atas tiga ayat, yaitu:
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Larangan Komunisme
Pokok pemicu polemik berikutnya yaitu terdapat di awal draf RUU. Pada bagian ‘Mengingat’ ternyata tidak mencantumkan Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Aturan itu ditetapkan oleh Ketua MPRS Jenderal TNI AH Nasution pada 5 Juli 1966. Ketetapan tersebut dikeluarkan saat suasana Indonesia yang berkecamuk akibat peristiwa G30S/PKI pada 30 September 1965 dan aksi-aksi yang menyusul sesudahnya.
Berlakunya Tap MPRS mengenai larangan komunisme itu kemudian diperkuat kembali dalam Sidang Paripurna MPR RI pada 2003. Sebagai hasilnya, terbit Tap MPR Nomor I Tahun 2003 atau populer disebut dengan ‘Tap Sapu Jagat’ yang berisi peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan MPRS dan ketetapan MPR RI sejak 1960 sampai 2002.
BPIP Diisi TNI-Polri Aktif
Dalam draf RUU HIP memuat ketentuan TNI dan Polri aktif bisa mengisi jabatan sebagai Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Dalam Pasal 47 ayat (2) RUU HIP menyebut Dewan Pengarah BPIP berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang atau berjumlah gasal, yang berasal dari:
• Unsur Pemerintah Pusat;
• Unsur tentara nasional Indonesia, kepolisian negara Republik Indonesia, dan aparatur sipil negara, atau purnawirawan/ pensiunan;
• Unsur akademisi, pakar, dan/atau ahli; dan
• Unsur tokoh masyarakat.
Baca Juga: Datangi DPR, Paguyuban Masyarakat Betawi Dukung PKS Tolak RUU HIP
Muatan dalam draf RUU itu dinilai tak sejalan dengan aturan sebelumnya, seperti yang termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 tahun 2018 tentang BPIP. Dalam perpres tersebut, BPIP hanya membolehkan purnawirawan mengisi jabatan.