Ngelmu.co – Lebaran ini, saya mendapat kado istimewa: surat ancaman (somasi), dari Muannas Alaidid, pengacara/politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Ketua Umum Perhimpunan Cyber Indonesia.
Muannas, mengancam melaporkan saya ke polisi, jika tidak mencabut kritik saya di Twitter, tentang kerja sama Menteri Koperasi-UKM; Teten Masduki, dengan Blibli (Djarum Group).
Saya menolak mencabut kritik itu.
Pertama, kritik terhadap kebijakan publik adalah hak setiap warga negara terhadap pemerintahnya (dalam hal ini menteri).
Kedua, saya punya dasar untuk menyebut kerja sama tadi, akan merugikan publik dan kepentingan negara kita.
Kritik saya, berkenaan dengan peristiwa pada 20 Mei lalu.
Ketika Menteri Teten, dan CEO Blibli; Kusumo Martanto, meluncurkan kerja sama membentuk ‘KUKM HUB’, di toko online yang dimiliki oleh raksasa bisnis Grup Djarum itu.
Pertanyaan yang segera muncul: mengapa Blibli?
Mengapa bukan Tokopedia, Bukalapak, atau Shopee?
Mengapa bukan Gudang Garam atau Sampoerna Retail?
Apakah karena Blibli menang tender?
Tapi saya mau melewatkan pertanyaan itu, karena bagi saya tidak penting.
Kerja sama itu tidak layak dilakukan dengan toko online atau jaringan ritel (eceran) swasta yang manapun.
Menteri Teten mengatakan, kerja sama itu akan mendorong pengembangan UKM di Indonesia, yakni ketika yang besar membantu yang kecil.
Apalagi di masa pandemi sekarang, ketika banyak usaha, hanya bisa mengandalkan perdagangan online.
Saya tak memungkiri manfaat toko online. Aplikasi digital via mobile phone, memudahkan kita bertransaksi jual-beli, tak dibatasi ruang maupun waktu.
Tapi mengapa Kementerian, tidak mengembangkan toko online sendiri?
Apakah tidak punya biaya?
Bukankah membuat aplikasi toko online itu sangat mudah dan murah? Bahkan bisa gratis, menggunakan platform open source?
Sejak 2007, Kementerian, sudah punya Gedung Smesco (Small and Medium Enterprises and Cooperatives), yang megah dan mewah di Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
Gedung itu dilengkapi dengan ruang pamer dan pasar produk UKM.
Kenapa tidak meningkatkan marketplace yang sudah ada itu (lengkap dengan database yang dimiliki) ke level digital?
Ketimbang dengan swasta, Kementerian, juga semestinya bisa menjalin sinergi dengan dua badan usaha milik negara.
Sekaligus menghemat dana publik: dengan PT Sarinah, yang menyediakan pasar produk UKM lokal, serta PT Telkom, yang menyediakan platform toko online Blanja.com (dengan syarat Telkom mendepak partner multi-nasional Ebay dulu).
Membangun digital-marketplace besar, tentu saja tidak cukup hanya dengan menyediakan aplikasi.
Ini juga memerlukan manajemen dan sistem pengelolaan.
Jika Kementerian, lagi-lagi mengeluh tak punya sumber daya, kita perlu mempertanyakan ke mana dan untuk apa anggaran serta pegawai yang banyak selama ini dikerahkan.
Menurut saya, Kementerian, perlu memiliki marketplace UKM sendiri.
Mengapa?
Agar bisa mengendalikan tujuan untuk benar-benar mengembangkan dan memberdayakan UKM lokal.
Tujuan seperti itu tidak bisa diharapkan pada toko online swasta.
Toko online memang berjasa memperbesar omzet dan transaksi jual-beli. Masalahnya: barang dari manakah yang dijual?
Miftahul Choiri, pejabat Bank Indonesia, belum lama lalu menyebut bahwa mayoritas barang yang dijual di toko online adalah barang impor.
Dengan kata lain, toko online menguntungkan produsen asing ketimbang lokal; serta memperparah defisit perdagangan nasional kita.
Bhima Yudhistira, pengamat ekonom Indef (Institute for Development of Economics and Finance), memperkuat pernyataan Choiri.
“Sekitar 93 persen barang yang dijual di marketplace adalah barang impor. Produk lokal hanya tujuh persen,” kata Yudhistira.
Toko-toko online berkontribusi meningkatkan impor barang konsumsi, yang pada 2018, misalnya, naik 22 persen.
Kita tahu, toko-toko online Indonesia belakangan ini disuntik dana investasi asing besar-besaran untuk menjadi menjadi unicorn/decacorn.
Investor asing bisa masuk ke perdagangan ritel online, berkat kebijakan liberal Pemerintahan Jokowi.
Pada 2016 dan 2018, pemerintah membuka kepemilikan 100 persen investasi asing, di 95 bidang usaha, salah satunya di bidang ritel online.
Baik Choiri maupun Yudhistira, menyebut bahwa banjir investasi asing pada unicorn/decacorn toko online, bertanggung jawab atas defisit perdagangan, yang pada gilirannya memicu defisit neraca berjalan (CAD), dan secara laten memperlemah nilai rupiah.
Jadi, toko-toko online swasta unicorn itu, hampir tidak ada manfaatnya dalam pengembangan UKM lokal.
Sebaliknya, dalam praktek justru membahayakan kondisi ekonomi negeri kita, serta menciptakan ketergantungan atas barang impor.
Kondisi itu relevan dengan apa yang dikeluhkan oleh Presiden Jokowi sendiri beberapa waktu lalu:
“Kenapa bahkan cangkul pun harus kita impor dari luar negeri?”
Baca Juga: Soal Corona, Dokter Gunawan ‘Sentil’ Sekjen PSI yang Sebut Avigan Ampuh
Menurut saya, sangat ironis, jika Menteri Teten (tanpa menimbang hal-hal di atas), justru menjalin kerja sama dengan toko online seperti Blibli.
Kerja sama itu, juga akan lebih menguntungkan Blibli, ketimbang UKM yang ingin dibela oleh Pak Menteri Teten.
Dalam beberapa tahun terakhir, raksasa rokok Djarum, Sampoerna, dan Gudang Garam, bersaing satu sama lain untuk menguasai jaringan ritel hingga pedesaan.
Mereka punya program yang mirip satu sama lain untuk ‘memodernisasi’ kios kelontong pedesaan:
- Djarum Retail Partnership (DRP yang belakangan disatukan dengan Blibli);
- Sampoerna Retail Community (SRC); dan
- Gudang Garam Strategic Partnership (GGSP).
Kios-kios kelontong pedesaan itu tak hanya menjual rokok, tapi juga produk konsumsi lain.
Ini penetrasi yang lebih agresif dari jaringan Indomaret dan Alfamart, yang sudah berlangsung beberapa tahun terakhir.
Kehadiran minimarket (swalayan modern) tak hanya meminggirkan pedagang/pasar tradisional, tapi juga memperbesar ketergantungan desa terhadap produk-produk dari kota.
Ini memperlemah sentra-sentra produksi dan ekonomi lokal, yang pada gilirannya memicu ketimpangan dan kemiskinan.
Pengakuan tentang dampak buruk minimarket bahkan datang dari pemerintah sendiri.
Pada 2018 lalu, pemerintah berjanji akan mengeluarkan ‘peraturan presiden tentang pengendalian minimarket’.
Tapi alih-alih membatasi, pemerintah justru membiarkan ekspansi jaringan ritel hingga jauh ke pelosok desa, oleh raksasa rokok tadi.
Lagi-lagi, makin ironis, jika Menteri Teten (tanpa menimbang dampak buruk tadi) justru memberi panggung lebih luas bagi Blibli (Djarum) untuk berkiprah.
Pasar (marketplace) hanya satu aspek saja dari ekonomi lebih luas.
Tugas Kementerian Koperasi-UKM, tak hanya memperluas pasar; tidak hanya mengurus pedagang.
Pelaku UKM itu, tak cuma pedagang, tapi juga produsen barang-barang dan jasa, bahkan termasuk petani (pelaku usaha tani) di dalamnya.
Tak ada gunanya marketplace yang menyingkirkan produsen atau petani lokal.
Tak ada gunanya pula marketplace yang memperlemah ekonomi lokal, yang pada gilirannya memperlemah ekonomi nasional kita.
Lebih dari segalanya, ada kata ‘koperasi’ dalam nama Kementerian Pak Teten itu, yang bukan cuma embel-embel atau hiasan belaka.
Koperasi, menawarkan sistem produksi-konsumsi serta perniagaan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan, karena bertumpu pada kekuatan lokal.
Dari Bung Hatta, kita juga belajar bahwa koperasi bukanlah cuma badan usaha (atau tentang pasar belaka).
Koperasi juga tentang sistem sosial dan politik demokrasi dari bawah; fondasi penting tak hanya bagi ekonomi nasional, tapi juga bagi demokrasi politik dan cita-cita keadilan sosial Indonesia, sesuai Pancasila.
Begitulah, ada banyak kritik lain yang bisa ditambahkan tentang Kementerian ini.
Tapi pada prinsipnya, kita warga negara berhak untuk selalu mempertanyakan kebijakan publik pemerintah.
Jangankan menteri, kebijakan presiden pun bisa dipertanyakan.
Akan halnya somasi Muannas Alaidid, saya berharap dia mengurungkan niat mempolisikan saya.
Bagaimanapun, itu terserah dia.
Jika berlanjut, saya siap menyambut Pak Polisi yang datang mengetuk rumah saya.
Oleh: Wartawan Senior, Farid Gaban