Juliari Tak Bersalah Hingga Bocornya OTT
Majalah Tempo edisi 21-27 Juni, ‘Siasat Gelap Firli’, mengungkap penolakan Firli, menjadikan Juliari, tersangka kasus korupsi bansos.
“Dalam gelar perkara, Firli, sempat ngotot bahwa Juliari, tidak bersalah dalam penyaluran bantuan sosial penanganan pandemi COVID-19 senilai Rp5,9 triliun itu.”
“Karena kalah suara, akhirnya, Firli yang mengumumkan penetapan tersangka politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu dalam konferensi pers.”
Majalah Tempo juga menyoroti kiprah Firli saat menjadi Deputi Penindakan KPK diduga membocorkan kasus terhadap orang-orang yang beperkara.
Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, juga bersuara. “Sejak KPK era pertama, juga sudah ada kebocoran, tapi tidak sederas sekarang.”
Ia, mencontohkan tim Satuan Tugas Penyelidikan II yang mengeluhkan lamanya proses surat-menyurat di Deputi Penindakan saat itu.
Firli, kerap mengembalikan surat yang masuk, dengan catatan, meminta detail kasus.
Seperti informasi mengenai pemberi suap, penerima, nilai, dan proyek yang tersangkut kasus korupsi.
Perilaku yang jauh dari kelaziman lingkup internal KPK, karena seharusnya, surat tersebut hanya berisi telaah dan informasi umum kasus.
Tempo juga mengungkapkan bagaimana tim Satgas Penyelidikan II, mengeluhkan rumitnya proses penyadapan.
Setiap Satgas, hanya boleh menyadap 40 nomor telepon.
Ketika surat perintah penyelidikan–akhirnya–terbit, dan penyadapan berjalan, OTT yang hendak digelar, justru bocor.
Notula Rapat Petisi Pegawai KPK
Kebocoran tak hanya sekali terjadi. Berdasarkan dokumen notula rapat petisi pegawai KPK, 16 April 2019, sedikitnya, ada 26 kasus [tengah diselidiki, kemudian bocor, dan OTT gagal].
Ada juga keluhan mengenai penundaan penekenan surat perintah penyelidikan (sprinlidik), dengan berbagai alasan, meski pimpinan KPK telah menyetujui.
Tercantum juga keluhan ekspose kasus [dibuat berlapis] di tingkat deputi KPK.
Bahkan, sederet nama terduga korupsi yang telah pimpinan setujui agar statusnya naik menjadi tersangka, juga ditahan oleh deputi.
Tingkat penyidikan kasus juga menuai keluh, dengan tujuh permasalahan yang teridentifikasi:
- Permohonan pencekalan terhadap orang-orang tertentu, tidak ditandatangani di tingkat kedeputian;
- Penghambatan pemanggilan saksi tertentu;
- Lebih dari setahun ekspose dan LKPTK belum naik penyidikan;
- Menunda eskpose kasus di tingkat kedeputian, hingga pimpinan tidak mendapat informasi.
- Terdapat upaya mengganti Satgas–yang sebelumnya telah menangani perkara;
- Adanya hambatan pemblokiran serta pencekalan; dan
- Adanya hambatan pengembangan perkara.
Berbagai kondisi ini yang kemudian menimbulkan keresahan di internal KPK.
Sebab, para penyidik dan penyelidik, kesulitan menjalankan tugas–menangkap pelaku korupsi.
Saking kronisnya, kata Febri Diansyah, tingkat kebocoran kasus membuat tim OTT, sampai harus menggunakan uang pribadi.
Demi bisa menjerat koruptor, dan pihak mana pun tak membocorkan rencana mereka.
“Sampai ada inisiatif Satgas untuk membiayai operasi mereka sendiri, dan itu yang berhasil menjalankan OTT,” beber Febri.
Sebenarnya, dugaan kebocoran kasus dan rencana OTT KPK, bukan hal baru. Setidaknya begitu kata Kurnia.