Ngelmu.co – Bicara sejarah Salat Idulfitri di lapangan, sejak kapan umat muslim melaksanakannya di tanah lapang?
Siapa yang mempopulerkan salat di luar bangunan masjid; termasuk Salat Iduladha?
Muhammadiyah adalah yang pertama kali memperkenalkan salat di tanah lapang.
Pada mulanya, melakukan gagasan seperti ini tidak lazim, dan ada juga pertentangan.
Namun, seiring waktu, praktik salat di tanah lapang pun diterima sebagai sesuatu yang lumrah.
Pada 2010, dalam buku ‘Muhammadiyah Gerakan Pembaruan‘, Prof Haedar Nashir, mencatat.
Pelaksanaan Salat Id di lapangan untuk ‘pertama kali’ dilakukan Muhammadiyah pada 1926.
Dengan berlokasi di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta.
Prof Haedar, menulis, Kiai Haji Ahmad Dahlan yang wafat pada 1923, telah berusaha memahamkan umat Islam.
Agar mengikuti sunah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dengan Salat Id di lapangan terbuka.
Pada masa itu, umat muslim Indonesia; yang mayoritas bermazhab fikih Syafi’i, memang melaksanakan Salat Id di masjid.
Dengan kata lain, dipimpin oleh imam di dalam masjid, karena menganggap keberadaan masjid lebih utama.
Di sisi lain, almanak Muhammadiyah 1394 (1974), mencatat bahwa Salat Id di tanah lapang, memang dimulai Muhammadiyah pada tahun 1926.
Utamanya, dengan merujuk pada hasil keputusan Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Jawa Timur.
St. Nurhayat dan kawan-kawan, melalui Muhammadiyah, dalam Perspektif Sejarah, Organisasi, dan Sistem Nilai (2019), menjelaskan.
Asal keputusan penggunaan tanah lapang sebagai lokasi Salat Id, bermula dari kritikan seorang tamu dari India.
Kala itu masa kepemimpinan di bawah Kiai Ibrahim, tahun 1923-1933.
Tamu dari India tersebut, protes, mengapa Muhammadiyah melaksanakan Salat Idulfitri di dalam Masjid Keraton Yogyakarta.
Menurut tamu itu, Muhammadiyah yang telah memosisikan diri sebagai gerakan Tajdid (pencerahan), seharusnya melaksanakan Salat Idulfitri dan Iduladha di tanah lapang.
Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Baca Juga:
Penggunaan Masjid Keraton sebagai tempat Salat Id, memang tidak terlepas dari bentuk penghormatan Muhammadiyah.
Kepada Sultan Hamengkubuwono VII, yang telah mengamini izin dari Kiai Ahmad Dahlan.
Agar Muhammadiyah boleh berbeda tanggal perayaan hari besar Islam dengan Keraton.
Pasalnya, Muhammadiyah memakai sistem hisab dan kalender Hijriah, berbeda dengan Keraton yang memakai penanggalan tradisional Jawa atau Aboge.
Sehingga terdapat perbedaan tanggal hari besar Islam.
Melalui keputusan muktamar, St. Nurhayat, menuliskan soal masa Kiai Ibrahim.
Bahwa fokus Muhammadiyah, mulai bergeser pada persoalan Takhrij Hadis dan persoalan ubudiah. Terutama pada 1927.
Dari titik inilah, kemudian terjadi penghimpunan para ulama Muhammadiyah untuk membicarakan berbagai persoalan peribadatan.
Di mana pada kemudian hari, diberi nama sebagai Majelis Tarjih.
Meskipun eksistensinya di Muhammadiyah, baru tampak pada masa kepemimpinan Kiai Mas Mansur, 1936-1942.
Atas keputusan muktamar tahun 1926 itu juga, berbagai konsul dan cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia, ditengarai mulai rutin menggelar ibadah Salat Id di tanah lapang pada tahun-tahun berikutnya.