Ngelmu.co – Seakan tak terhenti, aksi unjuk rasa kembali digelar oleh mahasiswa untuk memprotes sejumlah RUU kontroversial yang dibahas DPR RI dan Presiden. Aksi ini dilakukan di Jakarta, Bandung, Makasar, Solo, Jogja dan berbagai kota besar lainnya.
Selama berhari-hari berlangsung, mulai berjatuhan korban luka-luka hingga meninggal dunia dari kalangan peserta aksi. Salah satunya adalah yang dialami oleh Randy dan Muhammad Yusuf Kardawi. Para mahasiswa Universitas Halu Oleo di Kendari yang meninggal tertembak peluru panas setelah aksi unjuk rasa yang berujung rusuh.
Tragedi mengerikan ini dinilai mahasiswa lainnya sebagai peristiwa berdarah. Maka kini mereka menobatkan bulan September sebagai “September Berdarah”.
Koordiantor Pusat Aliansi BEM Seluruh Indonesia (SI), Muhammad Nurdiyansyah berorasi keras. “Cukuplah kami kehilangan kawan-kawan kami yang kini menjadi luka mendalam. September kini menjadi September berdarah,” serunya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat pada hari Selasa (1/10).
Mahasiswaa yang juga merupakan Ketua BEM IPB ini menyebut, kematian tak hanya terjadi pada mahasiswa yang ikut aksi demonstrasi, namun juga bagi lembaga anti korupsi, yakni KPK. Hal itu bisa dilihat dengan disahkannya RUU KPK oleh DPR RI.
“Kematian KPK, kematian teman-teman kami, kebakaran hutan di Riau dan Kalimantan, kasus diskriminasi Papua. Itulah kondisi-kondisi bangsa kita saat ini dan kita memaknai bulan September ini menjadi bulan “September berdarah,” imbuh Nurdiyansyah seperti dikutip oleh Kumparan.
Pada aksi hari ini, peserta aksi dari berbagai universitas juga membawa bunga untuk dibagikan kepada polisi dan TNI yang menjaga aksi mereka. Bagi-bagi bunga adalah bentuk solidaritas mereka untuk mahasiswa yang meninggal.
“Dan juga atas aksi simbolik ini kita juga mengecam pada pihak aparat yang telah melakukan penembakan terhadap kawan kita di Kendari. Dan kita mendesak pemerintah untuk segera menindaklanjuti peristiwa kematian kawan-kawan kami termasuk juga adik kita pelajar,” ungkap Nurdiyansyah.
Ia juga memohon aparat tidak bertindak represif saat menjaga aksi unjuk rasa mahasiswa. Karena dalam menjalankan aksinya, mahasiswa tak pernah membawa senjata. Mahasiswa hanya berbekal almamater dan tekad yang menjiwa di badannya.
Tak cukup sampai di situ, Nurdiansyah dengan lantang melanjutkan tuntutannya:
“Kami juga mendesak kepada aparat di sini juga ada polisi, atau kepada Kapolri khususnya, untuk ke depan lebih bisa mengkondisikan massa secara humanis. Kami tegaskan dalam orasi kita, mahasiswa tidak membawa alat apapun. Identitas kami hanya almamater ini. Kami tidak membawa alat apapun, senjata apapun.”
“Kami minta pada aparat dalam setiap unjuk rasa mahasiswa hindarilah cara represif. kami juga bukan hewan yang bisa ditembaki. Kami ini manusia. Mahasiswa juga menyuarakan berdasarkan keresahan masyarakat,” demikian pungkas Nurdiyansyah menyuarakan isi hatinya dan teman-teman mahasiswa.