Ngelmu.co – Semakin berkembang zaman, aktivitas yang terkategori-kan mendekati zina yang dilarang dalam Al Qur’an surat Al-Israa, ayat 32, “…wa laa taqrobuz zinaa…”, kini bukan cuma pacaran. Tapi juga pengesahan undang-undang, sampai propaganda istilah ‘sexual consent’.
Ada lorong menuju zina yang dibangun oleh para feminis radikal, di balik kampanye anti kekerasan seksual.
Sekadar melihat cover-nya, kampanye itu mulia. Tapi di-ulik lebih dalam, ada pesan yang menjerumus.
Sebab, yang tidak dianggap kekerasan seksual adalah aktivitas seks dengan persetujuan, tanpa melihat halal atau haramnya.
Justru yang diinginkan mereka adalah tak ada ganggu gugat untuk aktivitas seksual yang terbangun konsensus, pada dua anak manusia, apa pun bentuknya.
Di-naungi ikatan pernikahan atau tidak, bahkan apa pun orientasinya.
Sexual consent, diperkenalkan untuk perlahan menggusur pernikahan.
Menggiurkan, bagi mereka yang ingin bebas dari norma agama dan budaya.
Menjadi komponen yang mengelilingi neraka, sebagaimana hadits Rasulullah:
“Surga itu diliputi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, dan neraka itu diliputi hal-hal syahwat (yang menyenangkan),” (HR. Muslim).
Siapa yang menjadi objek kampanye sexual consent? Anak kita yang beranjak dewasa.
Adik-adik kita, keluarga, dan kerabat, serta kawan-kawan kita.
Mencakup semua pihak yang ditanyakan Rasulullah, kepada seorang pemuda yang meminta izin berzina, di mana saat itu Rasulullah berkata:
“Wahai anak muda, apakah engkau suka bila perzinaan itu terjadi atas diri ibumu?”
“Wahai anak muda, apakah kamu rela bila hal itu terjadi atas diri putrimu?”
“Wahai anak muda, apakah kamu rela bila hal itu terjadi atas diri putrimu?”
“Apakah engkau suka, jika hal itu dilakukan kepada bibi-bibimu?”
Maka, wahai umat Muslim, bagaimana bila pertanyaan Rasulullah, itu ditujukan ke kita?
Apakah kita rela, ajaran sexual consent, diterima oleh keluarga kita?
Na’udzubillahi min dzalik, tsumma na’udzubillahi min dzalik.
Bersamaan dengan kampanye itu, terancam nyawa-nyawa teraborsi yang menjadi ampas perilaku sexual consent, atau anak yang tumbuh tanpa figur orang tua utuh.
Mereka yang tak menemukan keteladanan tanggung jawab keluarga.
Sadarkah jika yang paling dekat adalah wanita yang dibiarkan menanggung sendiri akibat sexual concern? Bak habis manis sepah dibuang.
Wahai umat Muslim, lalu kalau tidak setuju, janganlah bisu melihat penganjur kemaksiatan menyeru manusia berperilaku seksual suka sama suka, tanpa timbangan agama dan moral.
Bersuaralah menghadang di setiap jalan yang mereka lalui.
Mereka tak ‘kan segan mengampanyekannya di kampus negeri, kepada mahasiswa baru yang dalam usia gejolak.
Indoktrinasi kebejatan berlabel ilmiah, diberikan kepada calon ilmuwan sejak dini.
Puncaknya adalah adanya payung hukum dalam bentuk undang-undang, untuk melegalkan sexual consent.
Disarukan dalam kata ‘penghapusan kekerasan seksual’.
Padahal, perbuatan keji yang dipandang agama dan budaya, lebih luas dari sekadar aktivitas seksual, tanpa konsensus.
Wahai umat Muslim, jangan tinggalkan para anggota dewan yang masih memiliki nurani berjibaku, sementara kita tak menahu, apa yang terjadi.
Bersuaralah tak kalah kencang dengan para penganjur kemaksiatan.
Buka mata, buka telinga, dan bersatulah dalam kebulatan tekad, menghadang legalisasi kemaksiatan.
“Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman,” (HR. Muslim).
Oleh: Zico Alviandri