Ngelmu.co – Tampak teduh diantara pepohonan rindang, 14-18 Desember 1957 Siti Hinggil Kraton Kesultanan Yogyakarta, yang saat itu dijadikan Kampus UGM, menjadi saksi bisu silang pendapat dan adu argumen antara Muhammad Yamin dan Soejatmoko tentang filsafat sejarah nasional.
Semua berlangsung dalam perhelatan akademik pertama dari para perintis Historiografi Indonesia dalam hajatan akademis yang keemudian dikenal dengan “SEMINAR SEJARAH NASIONAL 1” (SSN 1).
Yamin mengutarakan butir-butir pemikiran filsafat sejarah nasional yang ia beri nama “Catur Sila-Khalduniah” yaitu empat dalil filsafat kesejarahan yang menurutnya merujuk pada filsuf terkemuka Ibnu Khaldun.
Sementara Soejatmoko, mempresentasikan pemikiran sejarahnya yang disebutnya dengan judul “Merintis Hari Depan”.
Yamin berpendapat, kajian sejarah modern Indonesia harus dilakukan pada kaedah ilmiah dan berjiwa nasionalistik. Hasilnya bisa berfungsi menumbuhkan kesadaran nasional.
Sementara Soejatmoko, berpandangan bahwa kajian sejarah semacam ini akan membawa sejarah pada subyektifisme yang mengesampingkan kaidah-kaidah ilmiahnya.
Kala itu euforia nasionalisme sungguh terasa semangatnya, khususnya bagi mereka yang sudah yakin dengan doktrin negara bangsa (Nation State) dan bersama ingin melihatnya faktanya.
Seminar Sejarah Nasional 1 ini juga digelar bertepatan dengan isu-isu separitisme serta perpecahan politik di Indonesia masih dirasakan bersama. Maka dari itu, tentu pandangan Yamin mendapat dukungan dari banyak peserta seminar.
Penentuan filsafat sejarah nasional memang adalah agenda pertama dalam SSN 1 yang perdebatannya belum berakhir hingga kini.
Sri Margana dan kawan-kawan sebagai editor dalam Buku “Menemukan Historiografi Indonesiasentris”, menyatakan dalam pengantar mereka di awal halaman buku itu,
“…sekalipun konsepsi filsafat sejarah yang nasionalistik terus dibawa bahkan terus menguat pada masa orde baru, namun di lingkup akademik konsep filsafati sejarah nasional ini terus dipertanyakan, apalagi dalam perjalanannya muncul kecenderungan mitologisasi sejarah. Kekhawatiran yang disampaikan oleh Soejatmoko sejak awal ini rupanya terbukti dengan kecenderungan mitologisasi sejarah ini. Banyak peristiwa sejarah nasional yang dijadikan tonggak hari-hari bersejarah nasional yang landasan historisnya mulai dipertanyakan. Sejarawan senior Taufiq Abdullah dan juga Kuntowijoyo dalam beberapa karyanya banyak menyajikan persoalan mitologisasi sejarah ini.” (Menemukan Historiografi Indonesiasentris, 2017, hal. xv).
Bertahun-tahun kemudian, nampaknya perjalanan lapangan wartawan majalah National Geographic, Mahandis Y. Thamrin, juga menemukan salah satu contoh dari mitologisasi sejarah yang dikuatirkan itu.
Pada majalah National Geographic edisi September 2012, Mahandis mengungkapkan hasil-hasil penelitian dari Eriawati (ahli Arkeologi dari Pusat Arkeologi Nasional) dan DR Hasan Djafar (Anggota Tim Cagar Budaya Nasional, ahli arkeologi, epigrafi dan sejarah kuno) yang telah lama melakukan penelitian di tempat-tempat peninggalan kerajaan Majapahit.
Pada halaman 31, Mahandis menulis; “Pada masa Raja Hayam Wuruk ketika Majapahit mencapai masa keemasannya, “Prapanca menuliskan gambaran Nusantara dengan begitu detailnya dengan menyebutkan berbagai kepulauan,” tutur (Hasan) Djafar. Dia mengacu pada sumber sejarah Kakawin Nagarakertagama yang sesungguhnya berjudul Desawarnana”.
Karya pujasastra ini diubah oleh Rakawi Prapanca pada 1365, seorang pujangga Majapahit yang kelak menjadi pelopor sejarawan modern dan jurnalis pionir di Indonesia”.
“Lalu, saya menanyakan kepada Djafar tentang sesuatu yang telah menjadi panutan umum: ‘bahwa Majapahit mempunyai wilayah Nusantara yang teritorinya sepeti Republik Indonesia?’”
“Itu omong kosong!” ujar Djafar.
“tidak ada sumber mengatakan seperti itu. Dia mengingatkan, semuanya harus kembali ke sumber tertulisnya. Wilayah Majapahit itu ada di Pulau Jawa, itu pun hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah”.
“Sayang sekali banyak ahli sejarah menafsirkan bahwa Nusantara itulah wilayah Majapahit!” Menurutnya, makna “nusa” adalah “pulau-pulau atau daerah”, sedangkan “antara” adalah “yang lain”. Jadi Nusantara pada masa Majapahit diartikan sebagai “daerah-derah yang lain”- karena kenyataannya memang di luar wilayah Majapahit.
Djafar berpendapat, Nusantara merupakan koalisi antara kerajaan-kerajaan yang turut bekerja untuk kepentingan bersama demi kemanan dan perdagangan regional. Mereka Berkoalisi sebagai mitra satata-sahabat atau mitra dalam kedudukan yang sama.
“Jangan diartikan kepulauan diantara dua benua,” ujarnya. “Bukan pula nusa yang lokasinya diantara”
Sebagai kerajaan adidaya, Majaphit berkepentingan untuk mengamankan wilayah kerajaan-kerajaan nusantara sebagai daerah tujuan pemasaran dan sebagai penghasil sumber daya alam untuk perdagangan.
Namun demikian, sampai hari ini masih saja ada tafsir bahwa kerajaan-kerajaan itu memberikan upeti nya kepada Majapahit seolah membuktikan ketundukan kerajaan-kerajaan Nusantara di bawah supremasi Majapahit.
“Tidak ada satupun kata dalam (Kitab) Negarakertagama yang bisa diartikan sebagai upeti tanda tunduk seolah menjadi negara jajahan Majaphit,” ujar Djafar.
Lalu Mahandis masih melanjutkan pertanyaannya kepada ahli Arkeologi tersebut, “Lalu mengapa sampai ada anggapan bahwa Nusantara itu adalah wilayah Majapahit?
“Barangkali karena founding fathers kita ingin menyatukan negara ini,” ujar Djafar lirih.
“Kemudian Muhammad Yamin menggunakan gagasan Nusantara sebagai bentuk negara kesatuan.”
Kepada Djafar Hasan, Mahandis kemudian juga menunjukkan sebuah peta di buku karya Yamin yang berjudul “Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara” (terbit pertama tahun 1945 dan sudah dicetak belasan kali).
Dalam lampiran buku itu ada secarik peta wilayah Republik Indonesia berjudul “Daerah Nusantara dalam Keradjaan Madjapahit.”
Tentang peta ini Djafar kemudian menilai, “Gagasan persatuan ini oleh para sejarawan telah ditafsirkan sebagai wilayah Majapahit seingga seolah ada penaklukan. Itu salahnya!”
Dalam buku itu juga Yamin menampilkan foto “sekeping” terakota berwujud wajah lelaki berpipi tembam dan berbibir tebal. Dengan keyakinan ilmu firasatnya Yamin menuliskan di bawah sosok itu, “Gajah Mada… Rupanya penuh dengan kegiatan yang mahatangkas dan airmukanya menyinarkan keberanian seorang ahli politik yang berpandangan jauh.”
Namun belakangan saya melihat “kepingan” itu di Museum Trowulan, yang memiliki koleksi Majapahit terlengkap. Sejatinya, ‘kepingan’ itu ternyata hanya bagian dari “celengan kuno” tak berkaitan dengan Gajah Mada.
“Itu skandal ilmiah dalam sejarah!” Ujar Djafar
(National Geographic, September 2012, hal.33)
Baca Juga: Sejarah Islam Majapahit
Kini, bisa kita lihat banyak patung lelaki berwajah gempal dan bermulut tebal seperti kepingan terakota yang dikonstruksi di buku Yamin itu berdiri megah di depan lembaga-lembaga pemerintahan atau tempat wisata.
Namun tak banyak yang tahu, bagaimana sebenarnya kejujuran yang harus dikuakkan di balik sejarah konstruksi wajah patung itu. Sebuah skandal ilmiah yang dilakukan demi memersatukan Indonesia.
Oleh: Rosnendya Wiguna
—*—-
Sumber bacaan:
1. Menemukan Historiografi Indonesiacentris, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2017
2. National Geographic, September 2012
3. Sumber-sumber lain
Catatan:
Untuk paparan lain dari DR. Hasan Djafar bisa dilihat di berbagai sumber, antara lain link berikut ini, klik di sini.