Ngelmu.co – Rabu, 23 Agustus 2023 lalu, seorang guru, mencukur rambut belasan siswi di SMP Negeri 1 Sukodadi, Lamongan, Jawa Timur.
Apa alasannya?
Berdasarkan informasi yang terkumpul, guru berinisial EN, mencukur rambut belasan siswi, karena para murid itu tidak memakai ciput.
Kasi Humas Polres Lamongan Ipda Anton Krisbiantoro juga telah membenarkan hal ini.
Menurutnya, “Karena orang tua murid tidak melaporkan, dan bukan tindak pidana, itu delik aduan, [maka permasalahan] diselesaikan internal sekolah.”
Terpisah, Harto selaku Kepala SMPN 1 Sukodadi, menjelaskan, peristiwa berawal ketika EN tengah mengajar siswi kelas IX.
Saat mengajar, EN mendapati sejumlah siswi tidak memakai ciput.
Lalu, ia menghukum belasan siswi itu dengan mencukur rambut mereka menggunakan mesin cukur yang telah disiapkan.
Menurut Harto, SMP Negeri 1 Sukodadi, tidak memiliki aturan soal siswi wajib mengenakan ciput. “Untuk ketertiban saja.”
“Enggak gundul, enggak enak disebut gundul. Dipotong sebagian saja, karena pakai pemotong yang mesin [elektrik] itu, jadi mungkin agak kebablasan.”
Atas perlakuan guru tersebut, sejumlah wali murid pun protes, karena tidak terima rambut anaknya dicukur.
Akhirnya, pihak sekolah mengumpulkan wali murid serta para guru–termasuk EN–pada Kamis (24/8/2023); untuk mediasi.
Dalam pertemuan tersebut, EN mengaku salah. Harto pun mengeklaim, jika kedua belah pihak sudah saling memaafkan.
Baca juga:
Meski demikian, pihak sekolah tetap melaporkan EN ke Dinas Pendidikan Lamongan, lantaran tindakan yang bersangkutan tidak dapat dibenarkan.
Dinas Pendidikan Lamongan pun memberi sanksi kepada EN, hingga tidak boleh mengajar di SMP Negeri 1 Sukodadi; dalam kurun waktu tertentu.
Kurun waktu yang tidak dijelaskan sampai kapannya.
“Itu tindakan salah. Itu sudah kami laporkan ke dinas, dan sekarang gurunya sudah ditarik ke dinas untuk pembinaan. Enggak mengajar,” jelas Harto.
Pihak sekolah juga mengaku tengah mencarikan psikolog untuk mendampingi belasan siswi.
“Biar enggak down, walaupun anak-anak saat ini sudah sekolah semua,” kata Harto.
“Entah terlalu sayang [kepada siswi] atau seperti apa, Bu EN, melakukan itu. Memakai alat cukur elektrik,” sambungnya.
Tanggapan Pakar
Pakar pendidikan dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Holy Ichda Wahyuni, angkat bicara.
Ia menilai, kekerasan bukanlah solusi dalam pendidikan karakter.
Holy juga menyinggung konsep pendidikan humanis yang dibawa oleh Ki Hajar Dewantara.
Konsep itu menggaungkan pendidikan sebagai tujuan untuk mencerdaskan anak bangsa, membangun keterampilan, dan karakter yang dilakukan dengan cara memanusiakan manusia.
“Zaman sudah berganti, banyak pendekatan yang bisa diterapkan untuk mendidik karakter siswa atau anak, apalagi konteksnya anak remaja,” tutur Holy, mengutip laman UM Surabaya.
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) itu kemudian menambahkan, pendekatan secara kultural, personal, dan dengan penuturan yang bersahabat, dapat menghasilkan respons yang lebih positif.
Holy menjelaskan, bahwa masa remaja adalah masa di mana seorang anak membutuhkan figur teman yang mengayomi.
Bukan figur pendikte, terlebih dengan paksaan.
“Persoalan kesempurnaan dalam berhijab, seharusnya guru bisa memakai cara lain daripada dengan membotaki rambut yang tentu akan meninggalkan rasa trauma pada anak,” tegas Holy.
Mediasi Berujung Damai
SA adalah salah satu dari 11 siswi yang menjadi korban cukur EN.
“Karena tidak pakai ciput,” akuan SA, menjelaskan alasan EN mencukur rambut belasan siswi.
Pada Rabu (30/8/2023), SA juga menyampaikan, saat itu ia dan teman-temannya langsung diminta oleh EN untuk membuka jilbab.
Lalu, EN langsung memotong rambut mereka secara asal.
“Dipotong sebagian, rambut bagian depan,” jelas SA.
“Sudah saling memaafkan, dan sudah tidak ada masalah. Kemarin itu sudah dipertemukan antara ibu saya dengan sekolah,” pungkasnya.