Ngelmu.co – Mantan Menteri BUMN [Badan Usaha Milik Negara], Dahlan Iskan, ikut bicara soal wacana pemerintah, bakal memungut PPN [pajak pertambahan nilai] dari sejumlah barang dan jasa.
Di mana salah satunya adalah kelompok bahan kebutuhan pokok (sembako). Ia mengatakan, “Untung dokumen publik ini bocor.”
Demikian tulis Dahlan, Sabtu (12/6) lalu, seperti Ngelmu kutip dari catatan hariannya, DI’s Way.
Menurutnya, dengan bocornya dokumen tersebut, maka diskusi publik pun dapat terjadi.
“Meskipun kacaunya bukan main,” tutur Dahlan.
Baca Juga:
- Sembako Bakal Kena Pajak 12 Persen, Berikut Daftarnya
- Pemerintah Perpanjang Diskon PPnBM saat Publik Protes Wacana Pajak Sembako
Pada Jumat (11/6) sore, Narasi Institute [lembaga think tank kebijakan publik yang independen] juga membahas hal ini, dengan tajuk, ‘Arah Kebijakan Pajak di Kala Pandemi‘.
“Soal pajak sembako, yang asalnya dari penyampaian rencana undang-undang pajak ke DPR,” ujar Dahlan. “Lalu, isinya bocor ke publik.”
“Terutama, bagian-bagian yang paling sensitifnya,” sambung Dahlan. “Yang mudah dilepas dari konteksnya.”
Baginya, potret ini memicu kehebohan, “Sampai ada pejabat yang kebakaran jenggot.”
Pejabat yang Dahlan maksud adalah ia yang menyesalkan kehebohan publik, akibat bocornya dokumen negara.
Pernyataan yang kemudian membuat Ekonom Senior Indef [Institute for Development of Economics and Finance] Enny Sri Hartati, mengaku tidak senang.
“Saya marah mendengar ada pejabat ngomong begitu,” akuannya. “Itu ‘kan dokumen publik. Tidak hanya harus bocor. Harus dibuka,” tegas Enny.
Lebih lanjut, Dahlan menjelaskan, bahwa bagian yang juga menghebohkan adalah soal pengampunan pajak.
“Yang oleh publik, ditafsirkan sebagai tax amnesty Jilid II. Padahal, seperti dikatakan Prof Anthony Budiawan di forum itu, ‘Tax amnesty yang lalu pun gagal total’.”
Berikut lanjutan tulisan Dahlan, selengkapnya:
Untung ada Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis di Zoominar itu.
Namanya Yustinus Prastowo. Pembawaanya kalem. Bicaranya datar, tapi intonasi dan gaya bicaranya enak.
Yustinus juga bukan tipe juru bicara yang asal tangkis. Tidak pula mudah terpancing.
Ia memberi kesan akomodatif, tapi berhasil menyampaikan misinya. Tanpa ada kesan menggurui.
Ternyata, semua debat di media sosial itu banyak yang rujak sentul–satu ke utara, satunya ke selatan.
Pajak sembako itu misalnya, ternyata belum akan dikenakan dalam waktu dekat.
RUU itu diajukan sebagai antisipasi, kalau pandemi sudah terlewati.
Sebutan ‘pajak sembako’ sendiri, ternyata juga rujak sentul. Yang akan dipajaki itu ternyata sembako premium.
Kalaupun beras, beras yang akan dikenai PPN adalah beras yang harganya Rp50.000 per kilogram.
Kalaupun daging, yang kena PPN itu sejenis daging kelas wagyu ke atas. Yang kalau jadi steak, satu porsi berharga Rp1,5 juta.
Semua itu juga baru rencana. Masih akan dibahas di DPR, dan yang jelas, seperti dikatakan Yustinus, itu belum akan berlaku selama masih ada pandemi.
Selama pandemi, ujar Yustinus, pemerintah justru telah begitu banyak memberikan keringanan pajak.
“Sekarang ini kita lagi memikirkan bagaimana pajak setelah tidak ada pandemi,” ujar Yustinus.
Yustinus itu orang Gunung Kidul. Sekolahnya di SMAN 1 Wonosari. Ayahnya guru SD.
Yustinus, lantas mendapat beasiswa masuk STAN Jakarta. Begitu lulus, ia harus menjadi pegawai negeri.
Tugas awalnya di Ditjen Pembinaan BUMN–sebelum ada kementerian BUMN–lalu ke Ditjen Pajak.
Setelah beasiswanya ‘terbayar’, ia berhenti dari pegawai negeri.
Yustinus mendirikan LSM perpajakan: Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA). Yusnitus produk lokal murni.
Ia memiliki dua gelar master: Administrasi Publik dari Universitas Indonesia, dan master filsafat dari STF Driyarkara.
Praktis semua penjelasan tentang heboh pajak ini hanya datang dari Yustinus.
Rupanya, Kementerian Keuangan, hanya menugaskan Yustinus, untuk satu itu.
Media juga kelihatan senang berhubungan dengan Yustinus–justru karena terasa tidak terlalu defensif.
Banyak penjelasannya bernilai ‘layak dikutip’, di media.
Misalnya, “Rakyat operasi kutil, ya, jangan dipajaki, tapi artis operasi plastik, masa tidak boleh dipajaki.”
Itu bidang kesehatan.
Demikian juga bidang pendidikan, yang sekolahnya sangat komersial, harus dipajaki.
Cara Yustinus memperbaiki ‘wajah’ pemerintah, juga elegan. Misalnya, ketika ada serangan seolah pemerintah lagi menzalimi rakyat.
Sembako saja dipajaki.
Yustinus bercerita, betapa banyak fasilitas pajak yang diberikan selama pandemi.
Batas kena pajak yang lebih baik, pajak bumi dan bangunan dari 5 persen, tinggal 2 persen, dan banyak lagi.
Tapi ekonom seperti Enny, tidak mudah terpana.
“Fasilitas pajak selama pandemi ini lebih banyak dinikmati oleh pengusaha besar,” katanya.
Enny, bisa menampilkan angka-angkanya. Misalnya, Rp13,5 triliun dari pembebasan PPh 22 impor.
[Lalu] Rp20 triliun dari pengurangan angsuran PPh 25/29, dan Rp12,6 triliun penurunan PPh badan.
Sedangkan fasilitas PPh untuk UMKM, hanya Rp0,6 triliun.
Enny Hartati orang Karanganyar. Ayahnyi buruh tani, ibunyi guru SD. Ia, sarjana studi pembangunan dari Universitas Diponegoro.
Lalu, S2 dan S3 di IPB. Disertasinya di bidang fiskal.
Enny, juga tidak sependapat soal pajak pendidikan di RUU itu.
“Maraknya sekolah komersial, bukan harus diatasi dengan pajak,” ujar Enny.
Anthony Budiawan juga tidak setuju pendidikan dipajaki.
Pengenaan pajak pada sembako dan hasil pertanian, kata Anthony, hanya akan menambah kemiskinan.
Meski RUU itu dimaksudkan untuk persiapan ‘pasca pandemi’, tapi hebohnya justru bisa memperparah dampak pandemi.
Padahal, seperti dijelaskan Yustinus, RUU itu juga untuk memperbaiki struktur perpajakan. Termasuk untuk memperluas basis pengenaan pajak.
Misalnya, kata Yustinus, sekarang ini ada kecenderungan baru di seluruh dunia: menaikkan PPN dan menurunkan PPh.
“Sekarang ini menuju zaman, the dead of income tax,” ujar Yustinus.
Namun, menurut Anthony, itu bukan kecenderungan umum seluruh dunia.
“Itu terjadi di negara-negara yang belum maju, seperti Chili,” ujar Anthony yang alumnus Amsterdam itu.
Kesan Anthony, menaikkan PPn itu, hanya cari gampangnya saja, untuk menutup kekurangan pendapatan negara.
“Menaikkan PPn dan menurunkan PPh itu tidak sejalan dengan prinsip distribusi pendapatan,” ujar Anthony.
Maka bagus juga dokumen negara ini bocor. Agar semakin banyak pendapat bisa didengar. Lalu jangan lupa membuat keputusan.
Tapi dari mana lagi negara mendapat uang?
Enny cenderung lebih memelototi sumber daya alam, yang ada unsur merusak lingkungan itu. Termasuk perkebunan.
Demikian juga Anthony, melirik pajak sawit yang harganya sangat baik beberapa tahun belakangan.
“Toh sifatnya sementara,” ujar Anthony. Sedang lewat kenaikan PPn itu lebih bersifat permanen.
Memang pernah dicoba pajak warisan, tapi hebohnya bukan main. Begitu juga pajak digital.
Namun, mengingat ekonomi ke depan adalah ekonomi digital, mau tidak mau, bidang itu harus dipelototi.
Tapi benarkah akan ada tax amnesty Jidil II?
Penjelasan Yustinus, bisa melegakan banyak pihak: itu bukan tax amnesty seperti yang lalu.
“Beda sama sekali,” katanya.
Di mana bedanya? Apa yang sedang disiapkan itu begini:
Barang siapa mengisi SPT secara benar dan apa adanya, dan dilakukan secara suka rela, maka kalaupun di SPT yang baru itu dicantumkan harta yang belum pernah dilaporkan, tidak akan dikenakan denda, yang penting bayar pajaknya.
Itu tafsiran saya.