Ngelmu.co – Korban kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Pancasila, bersuara.
Kasus ini disebut sebagai kasus pertama yang menjerat pejabat tertinggi di kampus.
Aktivis perempuan, Adriana Venny, menyatakan, polisi harus segera menguak kejahatan tersebut.
Adriana juga berkata, kasus itu menjadi peringatan keras bagi kampus, agar serius mengimplementasikan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Amanda Manthovani selaku kuasa hukum korban, menyebut jika kliennya mengalami trauma berat.
Kliennya juga berharap segera mendapatkan keadilan.
Para korban berkata, tidak mau ada korban pelecehan seksual lain di kampus tersebut.
Adapun Kemendikbudristek, mengaku akan menindaklanjuti peristiwa ini.
Sesuai Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), dan akan melakukan investigasi bersama pihak terkait.
Bagaimana kronologinya?
Amanda mengatakan, korban dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno, ada dua orang.
Dua korban ini berstatus pegawai honorer dan karyawan.
Dari pengakuan para korban, kejadian itu berlangsung pada Januari dan Februari 2023.
Modus yang dipakai terduga pelaku adalah meminta korban datang ke ruangannya untuk membicarakan pekerjaan.
Korban pertama yang berusia masih 25 tahun, syok berat ketika beberapa bagian tubuhnya digerayangi terduga pelaku tanpa persetujuannya.
Dalam kondisi kaget dan ketakutan, korban langsung keluar ruangan sembari menangis sejadi-jadinya.
“Keluar ruangan, nangis-nangis, syok, diam, gemetar…,” jelas Amanda kepada BBC News Indonesia.
Selang sebulan, korban kedua lah yang mengalami pelecehan.
Menurut Amanda, waktu itu korban dipanggil ke ruangan rektor untuk membahas soal pekerjaan.
Korban kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan terduga pelaku.
Namun, terduga pelaku perlahan bangkit dari kursinya, dan duduk di dekat korban.
“Tiba-tiba, rektor itu menghampiri dan mencium pipi korban,” kata Amanda.
“Korban langsung berdiri dan mau keluar ruangan dengan bilang, ‘Jangan gitu Prof sama saya, saya enggak mau!’,” jelasnya.
Namun, terduga pelaku malah meminta korban untuk meneteskan obat mata dengan dalih matanya merah, padahal korban sudah menolak.
“Cuma yang namanya relasi kuasa, akhirnya [korban] mau tetesin obat, dan di saat itulah terduga pelaku ini menyentuh bagian vital yang enggak boleh disentuh,” kata Amanda.
Atas kejadian pelecehan seksual itu, diketahui, kedua korban sudah melayangkan surat kepada Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila.
Harapan mereka, ada penyelesaian terhadap peristiwa tersebut.
Namun, tidak ada tanggapan sama sekali. Sampai akhirnya korban memilih melaporkan ke polisi.
“Banyak yang bertanya, kenapa baru sekarang? Karena ini ada hubungannya dengan relasi kuasa.”
“Saat yang memegang kekuasaan melakukan tindakan pelecehan seksual, yang namanya karyawan pasti merasa trauma, ketakutan…”
“Untuk membuat laporan, awalnya enggak berani, karena mereka tahu siapa yang dihadapi, orang yang berkuasa dan punya uang.”
“Sementara korban berpikir, siapalah mereka?” jelas Amanda.
Alami trauma
Kedua korban mengalami trauma berat akibat pelecehan seksual itu.
Korban pertama memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya.
Secara psikis, korban pertama jadi menutup diri dan takut bersosialisasi dengan orang yang baru ia kenal.
Adapun korban kedua, mengalami perubahan perilaku, yakni sering bertengkar dengan sang suami.
“Setelah didesak, akhirnya [korban kedua] cerita pada suaminya, dan keluarganya marah. Makanya melapor ke polisi. Mereka tidak terima.”
Usai kejadian itu, korban secara mendadak didemosi ke kampus Pascasarjana Universitas Pancasila, tanpa sepengetahuan atasannya, yakni Wakil Rektor IV, karena pada waktu itu sedang menjalani operasi.
Baik korban pertama dan kedua, menurut Amanda, sudah menjalani tes psikologi forensik di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.
Hasil pemeriksaannya juga bakal menjadi salah satu alat bukti yang diberikan ke penyelidik.
Amanda menekankan, para korban hanya ingin mendapatkan keadilan. Mereka tidak mau ada korban pelecehan seksual lain di kampus tersebut.
“Yang penting bagi korban, keadilan segera diwujudkan. Mereka tidak mau hal itu terjadi lagi pada perempuan lain.”
“[Korban] mengatakan kepada saya, ‘Mbak, enggak apa-apa saya korbankan diri, aib saya dibuka’,” jelas Amanda, menyampaikan pernyataan korban.
Bantahan pihak Edie
Pada Senin (26/2/2024), Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno, seharusnya memenuhi panggilan di Polda Metro Jaya.
Itu merupakan jadwalnya melakukan pemeriksaan terkait kasus dugaan pelecehan seksual terhadap karyawannya.
Namun, kuasa hukum Edie, yakni Raden Nanda Setiawan, mengatakan bahwa kliennya sedang berhalangan hadir.
Pihaknya juga telah melakukan penyerahan surat permohonan penundaan pemeriksaan.
Di sisi lain, Edie juga berulang kali membantah telah melakukan pelecehan seksual terhadap dua pekerjanya.
“Berita tersebut kami pastikan didasarkan atas laporan yang tidak benar, dan tidak pernah terjadi peristiwa yang dilaporkan,” kata Nanda.
Ia juga bilang, tiap orang berhak untuk melapor, tapi Nanda, mengingatkan, adanya konsekuensi hukum jika laporan itu fiktif.
Nanda menilai, laporan tersebut janggal, karena dilakukan di tengah proses pemilihan rektor baru.
Walaupun, ia menyebut pihaknya menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
“Saat ini kami sedang mengikuti proses atas laporan tersebut. Kita percayakan kepada pihak kepolisian untuk memproses secara profesional,” kata Nanda.
Terdapat dua laporan terkait kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Pancasila.
DF–korban pertama–mengadukan kasusnya ke Bareskrim Polri pada 29 Januari 2024, dan RZ–korban kedua–melaporkan ke Polda Metro Jaya pada 12 Januari 2024.
Namun, karena kasusnya serupa, Bareskrim telah melimpahkan laporan dari korban pertama ke Polda Metro Jaya.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ary Syam Indradi, mengatakan, polisi telah memeriksa delapan saksi dalam kasus ini, termasuk korban.
Adapun penyidik Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya, telah menerim surat permohonan penundaan pemeriksaan terhadap terduga pelaku.
Maka pemeriksaan ulang dijadwalkan akan dilakukan pada Kamis (29/2/2024) mendatang.
Kemungkinan pemecatan
Adriana Venny yang juga aktif di Lembaga Partisipasi Perempuan, mengatakan, dugaan pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Pancasila ini merupakan kasus pertama yang menjerat pejabat tertinggi di kampus.
Namun, jika merujuk pada catatan Kemendikbudristek (Juli 2023), disebutkan bahwa kasus kekerasan seksual terbanyak, terjadi di perguruan tinggi dengan 65 kasus.
Adapun angka kekerasan seksual di sekolah menengah 22 kasus, dan sekolah dasar 28 kasus.
Apa yang jadi masalah? Menurut Adriana, meskipun hampir semua perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia, sudah memiliki Satgas PPKS, tapi kerjanya tidak cukup efektif.
“Satgas PPKS, belum diberi ruang yang memadai untuk bisa bekerja dengan optimal.”
“Sosialisasi belum berjalan dengan menyeluruh, karena yang perlu sosialisasi biasanya dilakukan untuk mahasiswa…”
“Namun, untuk pegawai, dosen, dan pejabat, kadang belum tersosialisasi,” kata Adriana.
Hal yang sangat disayangkan, karena menurutnya, jika Satgas PPKS dibuat optimal, maka bisa melindungi.
Tidak hanya mahasiswa, tapi seluruh pegawai yang bekerja di perguruan tinggi.
“Jadi, kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi, memang seperti gunung es yang korbannya lebih banyak yang tidak melapor, karena malu, dan takut tidak lulus.”
Sepanjang pengalamannya menjadi fasilitator nasional untuk membangun kapasitas Satgas PPKS di perguruan tinggi di seluruh Indonesia, Adriana menemukan bahwa karyawan universitas, memiliki posisi tawar paling lemah.
Kalau mereka mengalami pelecehan seksual, mereka takut melapor, karena risiko dipecat dan kehilangan pekerjaan.
Di sisi lain, kampus juga tidak merasa adanya Satgas PPKS itu penting, karena dugaannya, beberapa pejabat kampus bisa terkena dampak.
Akibatnya, Satgas PPKS, tidak diberikan anggaran yang memadai untuk memiliki pos dan ruang pengaduan.
Baca juga:
Itu mengapa, Mendikbudristek, perlu mengingatkan seluruh rektor, agar memberikan anggaran yang memadai untuk kerja-kerja Satgas PPKS.
Sehingga kampus benar-benar merdeka dari kekerasan seksual.
Begitu juga korban, harus dikuatkan untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami di kampus.
Sehingga mereka mendapatkan keadilan, dan tidak ada lagi korban berikutnya.
“Pelaku juga harus diberikan sanksi yang berat!” tegas Adriana.
“Untuk kasus Rektor Universitas Pancasila, Permendikbudristek bisa dijalankan paralel dengan proses hukum di kepolisian.”
“Jadi, proses hukum berjalan, sanksi pemecatan juga bisa diberlakukan,” jelasnya.
Aktivis perempuan, Damaira Pakpahan, sependapat.
Ia menilai, kalau masih ada kasus pelecehan seksual yang terlambat ditangani, maka harus dicek.
Apakah Satgas PPKS yang ada di kampus-kampus diisi oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan dan keberpihakan pada korban?
“Kalau orang di satgas menganggap perempuan sebagai objek atau kelas dua, ya, susah,” kata Damaira.
Namun, lebih dari itu, ia berharap pihak Universitas Pancasila maupun Kemendikbudristek, memercayai pengakuan korban.
Sebab, pada banyak kasus, tidak banyak korban yang berani berbicara.
Kampus dan Kemendikbudristek juga harus mengungkap interaksi terduga pelaku dengan bawahannya selama ini.
Apakah dikenal kerap menggunakan otoritas dan kewenangannya untuk mengintimidasi bawahannya atau tidak.
“Harus dicek, sejauh mana rektor itu melakukan pelecehan? Pasti ada pembicaraan di kalangan alumni atau mahasiswa soal perilaku dia.”
Tanggapan Kemendikbudristek
Nizam selaku Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi di Kemendikbudristek, buka suara.
Ia mengatakan, pihaknya sudah mengetahui kasus di Universitas Pancasila dari laporan masyarakat.
Nizam mengeklaim, kasus ini sudah ditangani oleh inspektorat jenderal Kemendikbudristek.
Pihaknya mengaku akan menindaklanjuti peristiwa ini sesuai Permendikbudristek tentang PPKS.
Selain itu, Kemendikbudristek juga bakal melakukan investigasi bersama stakeholder terkait.
“Biasanya bersama dengan LLDIKTI [Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi] dan badan penyelenggara perguruan tingginya.”
“Kepolisian, ya, sesuai dengan peraturan perundangan yang ada,” jelas Nizam.
Adapun seperti yang diberitakan, Sekretaris Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila Yoga Satrio, mengatakan, pihaknya akan menyelenggarakan rapat pleno untuk membahas kasus tersebut, sekaligus memutuskan status Edie.
Rapat pleno akan berlangsung di sela tahapan pemilihan rektor yang masa baktinya berakhir pada 14 Maret 2024.