Ngelmu.co – Andi Taufan Garuda Putra, yang merupakan Staf khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi), menarik kembali surat berkop Sekretariat Kabinet, yang ditujukan kepada para camat, untuk mendukung pelaksanaan program relawan desa lawan COVID-19. Ia juga meminta maaf, terkait beredarnya surat tersebut.
“Saya mohon maaf atas hal ini, dan menarik kembali surat tersebut,” kata Andi, dalam keterangan tertulis, seperti dilansir Detik, Selasa (14/4).
Sebelumnya, dalam surat bernomor 003/S-SKP-ATGP/IV/2020 yang dikeluarkan pada 1 April 2020 lalu, disebutkan adanya kerja sama dengan PT Amartha Mikro Fintek (Amartha).
Di mana Andi, merupakan pendiri dan CEO, dari perusahaan yang disebut akan berpartisipasi dalam menjalankan program relawan desa lawan COVID-19, di Sulawesi dan Sumatera itu.
Pada surat tersebut, dijelaskan tentang cakupan komitmen bantuan yang akan diberikan, yakni edukasi COVID-19, serta pendataan kebutuhan APD di Puskesmas.
Kemudian, Andi meminta bantuan dan dukungan perangkat desa, agar pelaksanaan program kerja sama dapat berjalan efektif.
Tetapi beberapa hari setelahnya, surat Andi, terus menjadi perhatian publik.
“Perlu saya sampaikan, bahwa surat tersebut bersifat pemberitahuan dukungan kepada program Desa Lawan COVID-19, yang di-inisiasi oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,” kata Andi.
“Maksud saya, ingin berbuat baik dan bergerak cepat, untuk membantu mencegah dan menanggulangi COVID-19 di desa, melalui dukungan secara langsung oleh tim lapangan Amartha, yang berada di bawah kepemimpinan saya,” sambungnya.
Dukungan yang diberikan untuk program relawan desa lawan COVID-19 itu, lanjut Andi, tanpa menggunakan APBN.
Ia pun berjanji, akan terus berkontribusi dalam melawan Corona.
“Dukungan tersebut, murni atas dasar kemanusiaan, dan dengan biaya Amartha, dan donasi masyarakat, yang akan dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel,” jelas Andi.
“Dukungan yang diberikan, dilakukan tanpa menggunakan anggaran negara, baik APBN maupun APBD. Saya akan terus bergerak membantu Pemerintah dalam menangani penyebaran COVID-19,” imbuhnya.
“Bekerja sama dan bergotong royong dengan seluruh lapisan masyarakat, baik Pemerintah, swasta, lembaga, dan organisasi masyarakat lainnya, untuk menanggulangi COVID-19 dengan cepat,” kata Andi.
“Sekali lagi, terima kasih dan mohon maaf atas kegaduhan dan ketidaknyamanan yang timbul. Apa pun yang terjadi, saya tetap membantu desa, dalam kapasitas dan keterbatasan saya,” pungkasnya.
Meski demikian, publik tetap menyayangkan apa yang Andi lakukan sebelumnya, dan menilai permintaan maaf saja belum cukup.
@AlapSambernyawa: Cuma gitu doang? Minta maaf trus selesai? Itu jelas-jelas PELANGGARAN PIDANA, cuma selesai dengan minta maaf?
@riharsya: Itu ‘kan karena ketahuan aja. Coba kalau kagak, lain lagi ceritanya.
@henryudha: Karena minta maaf adalah PRIVILEGE.
@h_farhan: Pak presiden @jokowi, layak mencopot jabatannya, dan gantilah stafsus yang melampaui kewenangan seorang staf. Jangan mendegradasi kehormatan lembaga presiden.
Baca Juga: Ramai-Ramai Menjawab Pertanyaan Stafsus Presiden soal “Apa yang Bisa Saya Lakukan untuk Negeri?”
Selain masyarakat pada umumnya, seorang penulis yang juga dikenal sebagai aktivis HAM, Andreas Harsono, ikut mengomentari langkah Andi.
“Saya yakin, Harvard mengajarkan ‘konflik kepentingan’ di kampus. Bagaimana mungkin seorang Stafsus Presiden @jokowi, yang juga lulusan Harvard, di Jakarta, menggunakan Istana untuk memastikan layanan perusahaannya sendiri digunakan secara nasional?” kritiknya.
Begitupun dengan pendiri dan CEO @asumsico, Pangeran Siahaan, yang ikut angkat bicara, “Kalau mau kirim surat sebagai stafsus, ya tidak usah bawa-bawa perusahaan sendiri.”
“Kalau mau bawa-bawa perusahaan, ya tidak usah kirim surat sebagai stafsus. Kalau begini, ya sudah pasti terlihat sebagai conflict of interest,” tegasnya.