Oleh: M Sohibul Iman, Ph.D (Presiden PKS)
Ramalan Indonesia bubar 2030 menjadi isu yang hangat diperbincangkan di publik Tanah Air. Adalah Prabowo Subianto Ketua Umum Partai Gerindra yang memantik isu tersebut menjadi diskursus publik. Dalam pidatonya di hadapan kader-kadernya, dia mengingatkan bahwa ada pihak-pihak di luar negeri yang meramalkan bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030.
Beberapa pihak menilai pandangan Prabowo Subianto tidak akurat karena hanya merujuk kepada sebuah Novel yang berjudul “Ghost Fleet: A Novel of The Next World War” yang merupakan karya fiksi-ilmiah. Di lain pihak, Prabowo Subianto menilai bahwa analisis intelijen tidak harus berupa laporan resmi dari sebuah institusi. Kajian intelijen juga bisa ditemukan dalam bentuk skenario writing di karya fiksi. Terlebih lagi jika melihat latar belakang kedua penulisnya memiliki reputasi internasional di bidang intelijen, pertahanan dan politik global, sehingga perlu menjadi perhatian.
Dalam disiplin ilmu kajian strategis, kita mengenal metode skenario planning sebagai instrumen untuk meramal masa depan. Jika kita membuat plausible scenarios Indonesia di masa depan, paling tidak ada tiga pilihan sejarah yang tersedia.
Pertama, Indonesia menjadi negara papan bawah atau negara gagal. Peringatan yang disampaikan oleh Prabowo Subianto bahwa Indonesia bisa bubar 2030 itu adalah salah satu kemungkinan yang bisa saja terjadi. Pilihan pertama ini adalah pilihan yang terburuk (worst scenario), pilihan yang tidak kita inginkan (unwanted scenario) dan sangat kecil kemungkinan terjadi (unlikely to happen).
Meskipun tingkat probabilitasnya kecil, bukan berarti kita bisa mengabaikannya begitu saja. Siapa yang mengira bahwa Uni Soviet sebagai salah satu negara dengan kekuatan ekonomi dan militer terkuat di dunia ternyata bisa runtuh pada 26 Desember 1991? Jika kita membaca sejarah bangsa-bangsa di dunia, banyak imperium terkuat di dunia ini juga telah runtuh. Imperium Romawi, Persia, Ottoman, Britania Raya semua pernah menjadi penguasa dunia tapi akhirnya bubar.
Inilah yang oleh Nasim Nicholas Thaleb seorang penulis dan investor terkemuka Amerika Serikat sebut sebagai Teori Angsa Hitam (Black Swan Theory), yakni sebuah kejadian yang tak terduga yang datangnya tiba-tiba, di luar jangkauan pikiran kebanyakan orang dan berdampak luar biasa. Seringkali kita mengenal hanya ada satu jenis angsa, yakni angsa putih. Sehingga ketika ada muncul angsa hitam, semua terkejut.
Dua puluh tahun yang lalu Indonesia pernah mengalami ketakutan kolektif akan bubarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saat itu kita mengalami krisis ekonomi yang paling buruk dalam sejarah. Krisis ekonomi tersebut diikuti dengan krisis politik, krisis sosial, krisis kepemimpinan dan ancaman disintegrasi bangsa. Banyak kalangan, baik di dalam maupun luar negeri saat itu meragukan keberlangsungan Republik ini sebagai sebuah negara-bangsa yang bersatu: apakah akan tetap utuh ataukah justru akan menuju ke lembah kehancuran?
Thomas Friedman kolumnis New York Times pernah menyebut Indonesia sebagai ‘Messy State”, yakni negara yang amburadul. Too big to fail, too messy to work. Negara yang tak punya masa depan karena bertaburan konflik, perselisihan dan sengketa sesama anak bangsa. Bahkan ada beberapa kalangan yang memperkirakan bahwa Indonesia ini akan mengalami balkanisasi, terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil dimulai dengan Timor Leste terlebih dahulu, kemudian menyusul lainnya.
Namun, prediksi tersebut salah. Ketakutan-ketakutan itu tidak pernah terjadi. Fakta yang terjadi justru berkebalikan. Ketika reformasi bergulir, Indonesia mampu melewati krisis multimensi itu dengan selamat. Meskipun banyak keinginan reformasi yang belum terpenuhi hingga saat ini, Indonesia sebagai negara bangsa tetap tegak berdiri dan memiliki peran penting di dunia internasional.
Pilihan sejarah yang kedua adalah menjadi negara papan tengah atau medioker. Para ahli menyebutnya sebagai negara yang terjebak dalam pendapatan menengah atau Middle Income Trap yakni sebuah negara yang terjebak dalam pendapatan menengah bawah (2.000-7.250 USD) dalam waktu yang lama dan gagal naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah atas dan tinggi. Demokrasi negara tersebut juga belum mengalami konsolidasi, sistem politiknya masih terus mencari bentuk idealnya, stabilitas sosial politik masih mengalami volatilitas, dan penegakan hukum lemah. Skenario kedua inilah yang justru mengkhawatirkan karena realitas tersebut yang sedang kita alami saat ini.
Pertumbuhanekonomi pasca commodity boom tahun 2013 sudah mulai melambat dan stagnan di angka 5 persen. Kesehatan fiskal yang buruk dengan semakin membengkaknya utang dan defisit keseimbangan primer. Defisit transaksi berjalan yang terus melebar dan deindustrialiasasi dini semakin nyata di depan mata. Tidak hanya mengalami defisit fiskal, Indonesia juga mengalami defisit perdagangan, pangan dan migas. Di saat yang sama, ketimpangan ekonomi meningkat dan kemiskinan masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi pun tak mampu menciptakan lapangan-lapangan kerja baru (jobless growth).
Sejak tahun 1990, RI sebenarnya sudah masuk kategori negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income) dengan pendapatan per kapita 2.000 USD. Tidak heran pada tahun 1993 Bank Dunia memasukkan RI sebagai salah satu keajaiban Asia Timur. Namun setelah 28 tahun, pendapatan per kapita RI masih berkisar di angka 4.000 USD. Indonesia masih belum beranjak menjadi negara berpendapatan menengah atas (upper middle income) yang pendapatan per kapitanya harus mencapai 7.250-11.250 USD.
Pengalaman negara-negara lain, jika sebuah negara berada dalam posisi lower middle income selama 28 tahun, maka negara tersebut akan jatuh dan terjebak dalam Middle Income Trap dalam waktu yang cukup lama dan gagal naik kelas ke tangga berikutnya sebagaimana dialami oleh negara-negara Amerika Latin saat ini.
Tentunya, sebagai bangsa kita menginginkan skenario yang lebih optimistis. Karena optimisme itulah yang akan membawa kita bergerak maju. Karena itu kita memilih skenario yang ketiga yakni menjadi negara papan atas atau berperadaban maju.
Menjadi yang berhasil menjamin terbentuknya masyarakat yang adil, demokratis, aman, memiliki martabat dan harga diri (dignity) di hadapan bangsa-bangsa lain. Bangsa yang memiliki peradaban materi yang maju dan pada saat yang sama juga memiliki kematangan religiusitas dalam hidup menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara (religious civilized society).
Dalam ukuran kemajuan materi, para ahli menyebutnya dengan istilah negara berpendapatan tinggi atau high income countries yakni sebuah negara yang memiliki pendapatan per kapita lebih dari 11.750 USD.
Kita bisa belajar dari negara-negara lain yang sudah cukup sukses membangun peradaban materi yang maju. Korea Selatan bisa menjadi rujukan terdekat. Di tahun 1960, RI dan Korea Selatan memiliki pendapatan per kapita yang tidak jauh berbeda. Di tahun 1970-2002, rata-rata pertumbuhan ekonomi Korsel secara konsisten tumbuh 7-9 persen per tahun. Pertumbuhan yang tinggi itu tercipta karena innovation-driven bukan natural-resources driven.
Di periode tersebut, Korsel juga sukses mengoptimalkan bonus demografinya. Krisis Asia 1998 memang sempat membuat Korsel terjatuh. Akan tapi dia dengan cepat bisa bangkit kembali (rebound) dan tumbuh tinggi lagi sehingga dia berhasil menjadi salah satu high income country. Saat ini pendapatan Korsel sudah mencapai sekitar 27 ribu USD. Indonesia masih sekitar 4.000 USD. Kita tertinggal cukup jauh dengan Korsel. Ini menjadi tantangan besar bagi kita semua.
Kunci keberhasilan Korea Selatan naik kelas dari negara berpendapatan menengah menjadi negara berpendapatan maju terletak pada kemampuannya dalam membangun daya saing industrinya. Mereka mampu melakukan transformasi ekonominya dari low-value added industry menjadi high-value added industry. Mereka mampu menciptakan innovation based economy sebagai mesin pertumbuhan ekonomi mereka.
Indonesia saat ini dalam persimpangan. Indonesia telah kalah bersaing dengan Vietnam, Bangladesh, Kamboja dalam menyediakan tenaga kerja yang murah sebagai daya saing industri. Tapi pada saat yang sama, Indonesia juga tertinggal dari Malaysia, India, dan Thailand dalam menyediakan tenaga kerja yang terampil dan terdidik. Indonesia harus mengejar ketertinggalan ini dengan melakukan transformasi struktural dengan membangkitkan kembali kebijakan industrial sektor-sektor strategis nasional dan membangun desain Sistem Inovasi Nasional yang mumpuni.
Di masa-masa mendatang, RI memiliki kesempatan emas dengan berlimpahnya jumlah penduduk usia produktif. Periode tahun 2010-2030 akan menikmati bonus demografi. RI memasuki window of opportunity. Ini momentum yang tepat bagi kita untuk mendorong perekonomian nasional naik kelas dari posisi yang sekarang.
Pasca 2030, Indonesia akan mulai memasuki fase maturity. Dan pasca 2045 tepat setelah 100 tahun Indonesia merdeka, kita akan memasuki fase masyarakat yang semakin menua atau aging society sebagaimana dialami negara-negara maju sekarang ini seperti Jepang, Eropa dan negara-negara Skandinavia. Permasalahan masyarakat yang semakin menua akan membawa kompleksitas permasalahan yang semakin sulit teratasi. Jangan sampai Indonesia terlanjur menua sebelum sejahtera.
Hal yang tidak kalah penting adalah terkait pembangunan modal sosial bangsa. Fukuyama (1995) mengatakan bahwa negara yang memiliki tingkat rasa saling percaya yang tinggi atau high trust society memiliki modal sosial yang tinggi akan lebih mampu menjadi bangsa yang maju. Dan sebaliknya, jika masyarakatnya memiliki rasa saling percaya yang rendah atau low trust society atau bahkan distrust society, maka potensi negara-negara tersebut untuk maju akan sulit berkembang.
Artinya, maju mundurnya sebuah negara-bangsa bukan hanya dilihat dari sisi ekonomi, tapi juga ditentukan oleh konstruksi sosial masyarakat. Dari sinilah pentingnya membangun modal sosial yang baik. Dalam konteks Indonesia, kita harus bisa membangun modal sosial pada rel yang benar. Takdir historis dan sosiologis bangsa Indonesia adalah hasil dari perjuangan kelompok Nasionalis-Religius/Islam dengan Kelompok Nasionalis-Sekuler.
Oleh karena itu, sebagai bangsa kita harus mampu membangun titik keseimbangan antara dua kelompok tersebut dengan takaran yang pas. Tidak boleh ada sikap yang merasa paling memiliki dan paling berhak menguasai bangsa ini dan menihilkan kelompok lainnya. Di saat yang sama tidak boleh ada sikap yang merasa tidak memiliki bangsa ini sehingga dia bebas berbuat apa saja sehingga membawa keburukan bagi bangsanya.
Sebagai penerus bangsa, kita memiliki lebih banyak alasan untuk optimis dibandingkan para pendiri bangsa. Jika para pendiri bangsa ini optimis bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju, berdaulat dan bermartabat, maka kita pun harus memiliki keyakinan yang lebih dibandingkan para pendiri bangsa. InsyaAllah.
Opini dimuat di Harian Republika edisi 31 Maret 2018