Ngelmu.co – Tentang tiga usia manusia. Lebih dari 100 tahun yang lalu, seorang lelaki membaca koran pagi. Lalu terkejut campur takut, karena membaca namanya tertulis di kolom berita ‘orang-orang yang meninggal’.
Koran tersebut mengabarkan berita kematiannya, karena salah. Berita ini membuatnya hampir kehilangan kesadaran.
“Saya di sini, atau di sana?”
Setelah kesadarannya pulih sepenuhnya, ia berpikir mengenai komentar orang-orang tentang dirinya.
Lalu, ia membaca dalam ucapan belasungkawa, “Raja dinamit telah meninggal dunia.” Ia juga disebut sebagai ‘pedagang kematian’.
Di saat membaca berbagai sebutan itu, ia bertanya dalam hati, “Apakah ini yang akan dikenang orang-orang?”
Ia kemudian memutuskan untuk mengubah berbagai sebutan tersebut.
Sejak hari itu, ia mulai merintis dan peduli dengan masalah perdamaian.
Orang tersebut adalah Alfred Nobel, yang kini dikenal dengan ‘Nobel Peace Prize [Penghargaan Nobel Perdamaian]’.
Pesannya adalah manusia punya tiga usia.
Pertama, usia biologis; yang dijalaninya di dunia ini. Kedua, usia historis, yaitu usia ‘sambungan’ di dunia, setelah usia biologis berakhir.
Namun, karena ia memiliki banyak amal kebaikan yang dirasakan banyak orang setelah kematiannya, maka amal-amalnya itu terus bisa dinikmati orang.
Usia kedua ini bisa lebih panjang dari usia pertama, dapat mencapai ribuan tahun, tergantung amal-amal kebaikan seseorang.
Ketiga, usia keabadian di akhirat kelak. Usia ini paling panjang, karena akan hidup abadi; selamanya.
Jika bahagia, maka ia akan bahagia selamanya. Jika sengsara, maka ia juga akan sengsara selamanya.
Ketiga usia ini harus menjadi perhatian utama, karena saling berkaitan erat.
Usia Biologis
Usia biologis sangat singkat, rata-rata usia umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di seputaran 60-70 tahun.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Umur umatku antara 60 tahun, hingga 70 tahun,” (Sunan Tirmidzi 2331).
Umur biologis ini sangat penting, dan menentukan kelanjutan pada usia historis dan usia keabadian. Maka itu harus dimanfaatkan secara optimal.
Allah memberi kesempatan, sarana, dan cara untuk mengoptimalkan usia biologis kepada semua orang.
Agar dapat memperpanjang usia historis, melalui beberapa hal di antaranya; sebagaimana disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Apabila manusia meninggal, maka terputus amalnya kecuali dari tiga hal: amal jariah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh/salihah yang medoakannya,” (HR. Muslim: 1631).
Amal Jariah
Semua orang dapat melakukan amal jariah, baik kaya pun miskin.
Dalam hal ini, Allah menegakkan keadilan-Nya dengan menilai amal berdasarkan nilai pengorbanan, bukan nominalnya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Satu dirham mengalahkan 100 ribu dirham.”
Para sahabat bertanya, “Bagaimana bisa terjadi?”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:
“Ada seorang lelaki punya dua dirham, lalu ia bersedekah dengan separuhnya. Sementara ada seorang lelaki lain punya harta banyak, lalu ia bersedekah dengan seratus ribu dirham dari hartanya itu,” (Sunan an-Nasa’i 2527 dan Musnad Ahmad 8929).
Ilmu yang Bermanfaat
Ilmu yang bermanfaat, bukan hanya ilmu agama, tetapi semua ilmu yang memberi manfaat bagi umat manusia.
Peluang ini juga dimiliki oleh siapa saja yang mengajarkan ilmu yang bermanfaat.
Terutama para guru, dosen, pendidik, ilmuwan dan para ulama.
Para Nabi, para sahabat Nabi, dan para ulama adalah orang-orang yang memiliki usia historis sangat panjang.
Setiap kali hadis dikutip, maka perawi dan tiap orang yang terlibat dalam pencatatan serta periwayatannya, memiliki usia historis panjang.
Tiap kali pendapat seorang ulama dikutip, maka ulama tersebut; serta orang yang terlibat dalam penyebaran ilmunya, juga dapat memiliki usia historis panjang.
Itu mengapa para ulama seperti masih hidup bersama kaum muslimin, di sepanjang masa.
Sebab, mereka punya usia historis yang sangat panjang.
Usia biologis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, hanya sekitar 60 tahun.
Namun, usia historisnya sampai hari kiamat; selama Islam masih ada di muka bumi.
Usia biologis Imam Syafii hanya 54 tahun [150 H -204 H], tetapi usia historisnya hingga sekarang dan nanti, selama kajian fikih dan hadis masih ada.
Imam Bukhari usia biologisnya hanya 62 tahun [194 H -256 H], tetapi usia historisnya hingga sekarang dan nanti, selama hadis masih dibaca dan dikaji.
Usia biologis Imam ath-Thabari hanya 86 tahun [224 H -310 H], tetapi usia historisnya hingga sekarang dan nanti, selama kajian tafsir masih dilakukan.
Doa Anak Saleh
Anak saleh yang mendoakannya, termasuk anak cucu, selama kesalehan bisa terus terwariskan.
Begitu juga bukan hanya anak biologis, tetapi termasuk anak ideologis atau binaan yang terus menyebarkan ilmu yang mereka dapat secara turun-temurun, dan mendoakan gurunya.
Sebab, dalam hal ini berlaku sistem multi-level pahala.
Usia Historis
Usia historis juga bisa diwujudkan melalui prakarsa dan perintisan kebaikan.
Bila seseorang bisa memprakarsai atau menginisiasi suatu kebaikan di tengah masyarakat, lalu kebaikan itu terus berkembang dan diwariskan turun-temurun, maka sang pemrakarsa dan inisiator bisa memiliki usia historis yang panjang.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Siapa yang memprakarsai kebaikan, lalu kebaikan itu dilaksanakan, maka ia mendapat pahalanya dan mendapat pahala orang yang melaksanakannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Barang siapa memprakarsai keburukan, lalu keburukan itu dilaksanakan, maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang melakukannya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun,” (Sunan Ibni Majah 203).
Usia historis juga bisa didapat melalui jihad di jalan Allah, lalu terbunuh sebagai syahid.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki,” (QS. Ali Imran: 169).
Sebab, perjuangan dan pengorbanan mereka terus menginspirasi perjuangan serta menggelorakan semangat jihad di jalan Allah, untuk kalangan kaum muslimin; sepanjang masa.
Usia historis juga bisa dicapai melalui dakwah.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya salah seorang di antara kalian berbicara dengan suatu perkataan yang diridhai Allah, ia tidak mengira sampai sejauh mana pengaruh ucapan itu, lalu dengan sebab perkataan itu, Allah menulis keridhaan-Nya kepadanya, hingga hari ia bertemu dengan-Nya. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kalian berbicara dengan suatu perkataan yang dimurkai Allah, ia tidak mengira sampai sejauh mana pengaruh ucapan itu, lalu dengan sebab perkataan itu, Allah menulis kemurkaan-Nya kepadanya, hingga ia bertemu dengan-Nya,” (Sunan at-Tirmidzi 2319, lihat juga Shahih al-Bukhari 6478).
Usia Keabadian
Usia keabadian harus mendapat perhatian utama, karena jika kita lalai darinya, bisa membuat kita menyia-nyiakan usia pertama yang sangat menentukan.
Maka itu Allah, mengenalkan di banyak ayat-Nya, tentang kehidupan di usia keabadian ini; agar kita tidak melupakannya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut orang yang perhatiannya selalu tertuju kepada usia keabadian, dan mempersiapkan diri untuk hidup di sana, sebagai orang yang cerdas.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah,” (Musnad Ahmad 17123).
Oleh: Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc.
Baca Juga: