Ngelmu.co – Pemuda Muhammadiyah menanggapi pemberitaan yang dirilis oleh Wall Street Journal, beberapa waktu lalu. Di mana, WSJ menyebut sejumlah ormas Islam Indonesia, menjadi bungkam atas penindasan yang dialami muslim Uighur, setelah menerima suap dari pemerintah China.
Tanggapan pun muncul, langsung dari Ketua Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Razikin.
Ia menilai, pemberitaan tersebut menjadi salah satu upaya, agar Ormas Islam, baik MUI, Muhammadiyah, maupun NU, tersudut.
Di sisi lain, ia juga mengomentari rentetan penindasan dan diskriminasi terhadap etnis Uighur, yang terus menciptakan pemberontakan.
Hal itu disebut Razikin, disebabkan oleh penindasan yang semakin membuat para korban memberontak.
Aksi-aksi separatisme yang terjadi di China ini, bukan tak mungkin, merupakan manifestasi dari rasa frustasi masyarakat Uighur, karena terus di-diskriminasi.
“Karena itu, pemerintah China menggunakan retorika melawan radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme, untuk membenarkan tindakan pembantaian terhadap muslim Uighur,” tuturnya.
“Dan itu merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), karena itu kami sangat mengecamnya,” lanjut Razikin, seperti dilansir RMOL, Senin (16/12).
Baca Juga: Soal Uighur, Media Asing Ungkap Adanya ‘Rayuan’ China ke Ormas Islam RI
Lebih lanjut ia mengatakan, saat ini pemerintah China sedang berusaha keras membentuk suatu identitas kesatuan bangsa.
Namun, mereka terganjal masalah, karena melanggar HAM fundamental, dari kelompok Uighur.
China mengingkari perangkat-perangkat hukum yang ada, mulai dari ranah domestik, hingga internasional.
“Banyak persoalan HAM fundamental dari etnik Uighur, yang tidak bisa ditegakkan, seperti hak untuk mengekspresikan identitas kulturalnya, hak bebas diskriminasi,” kata Razikin.
“Seperti mendapatkan pekerjaan, hak untuk mendapatkan rasa aman, dan hak-hak lainnya,” sambungnya.
Kebijakan pemerintah China dalam membangun nasionalisme, juga lebih banyak dijalankan dengan cara-cara represi serta diskriminasi.
Salah satunya seperti yang dilakukan pada minoritas, etnis Uighur, di Xinjiang.
“Diskriminasi tersebut, terpotret secara jelas, dengan tidak diakuinya identitas lokal etnik Uighur, dengan memaksakan memberikan ‘identitas baru’ sebagai bangsa China,” jelas Razikin.
“Sementara identitas baru tersebut, dapat menghilangkan identitas-identitas lokal yang telah lama melekat dalam diri masyarakat Uighur,” imbuhnya.
Sedangkan soal pemberitaan WSJ yang menyudutkan ormas Islam Indonesia, Radikin juga memaknainya sebagai pemantik.
Agar dapat lebih keras lagi dalam bersikap, membangun solidaritas pembelaan terhadap Muslim Uighur.