Assalau’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Milad ke-22 PKS hari ini kita rayakan secara sederhana, mengingat kita sedang dalam suasana prihatin menghadapi wabah pandemi Covid-19. Kita doakan saudara-saudara kita yang telah wafat akibat Covid-19 agar mendapat terbaik di sisi Allah Swt. Dan bagi mereka yang kini sedang menjalani perawatan semoga segera sembuh dan kembali kepada keluarga masing-masing.
Bagi kita yang hari ini baik-baik saja mari tingkatkan imunitas dan stamina tubuh dan juga mari disiplin menjalani Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan sebaik-baiknya sehingga kita tidak tertular dan tidak menularkan. Dan bagi yang memiliki kelebihan rezeki mari berbagi kepada saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Kita yakin dengan kebersamaan sebagai satu bangsa kita akan melewati masa-masa penuh malaise (kondisi buruk) ini dalam waktu yang tidak terlalu lama dan kita kembali pada kehidupan normal. Aamiin.
Hari ini juga bertepatan dengan perayaan Hari Bumi (earth day) yang jatuh tiap tanggal 22 April. Spirit Hari Bumi adalah agar kita selalu sadar akan beban yang ditanggung oleh bumi tempat kita berpijak akibat perilaku kita yang tidak terlalu menghiraukan dampaknya bagi polusi udara, darat, dan laut.
Peringatan Hari Bumi tahun ini mungkin tidak terlalu gegap gempita karena dengan adanya PSBB hari-hari ini, bulan-bulan ini kita sesungguhnya sudah dan sedang menjalankan apa-apa yang biasa kita lakukan saat Hari Bumi. Kita tiap hari ada di rumah, mengurangi aktivitas berkendaraan, menghentikan sebagian besar operasi pabrik-pabrik dan kantor-kantor (yang umumnya ber AC), mengurangi penambangan, kilang minyak, dan penebangan hutan, dan lain-lain. Pendek kata kita bukan saja menjalani Hari Bumi tapi kita menjalani Bulan-bulan Bumi (Earth Months) karena belum tahu sampai kapan ini berakhir. Mungkin istilah yang tepat hari-hari ini adalah Every day is Earth day.
Sebagai bangsa yang religius, kita tidak pernah mengutuk musibah apapun, tapi justru kita berpikir positif bahwa dalam setiap musibah selalu ada hikmah di dalamnya. Tentu bukan hanya menerima begitu saja, tapi juga disertai upaya-upaya manusiawi untuk memitigasi dampaknya.
Dalam kaitan spirit Hari Bumi misalnya hikmah tersebut jelas sekali kita rasakan. Jika selama ini mungkin hanya segelintir orang yang menyadari tentang beban berat bumi dan lingkungan hidup kita, bahkan mungkin juga lebih sedikit lagi yang mengetahui dan mematuhi Hari Bumi, tapi kini dengan Covid-19 semakin banyak yang menyadari pentingnya mengubah perilaku sebagaimana yang diinginkan oleh Hari Bumi. Bahkan yang belum menyadari pun akhirnya terpaksa mengubah perilaku karena mereka khawatir terpapar Covid-19.
Hikmah lebih penting lagi adalah bahwa dengan kegiatan-kegiatan selama PSBB di atas hari-hari ini terlihat ada perubahan signifikan pada penampakan wajah bumi, udara, dan laut, bahkan pada tampilan tanaman serta perilaku hewan di sekitar kita.
Langit terlihat biru lagi, getaran seismik bumi berkurang, laut, sungai, dan hutan terlihat lebih segar kembali. Lapisan ozon tidak menganga seperti biasanya, hewan-hewan banyak yang muncul di tempat-tempat yang selama ini disabotase dan diduduki oleh manusia, seperti pantai, gunung, dan tempat rekreasi alam yang lain. Seolah tanaman dan hewan bersukacita mendapatkan kembali habitat mereka yang terampas oleh manusia.
Daratan, lautan, dan udara pun seakan tersenyum karena berkurangnya beban polusi yang harus mereka tanggung. Semua itu menggambarkan seolah kita sedang diberi pengalaman baru oleh Tuhan untuk hidup di sebuah dunia yang sama sekali lain dari dunia yang selama ini kita tempati dan jalani. Sebuah dunia yang lebih manusiawi dan lebih menjamin harmoni antara manusia dengan lingkungan.
Sudah lama para ilmuwan yang tercerahkan (enlightened scientists) mengkritisi cara-cara kita mengelola dunia ini. Mereka mengkritik mengapa kita hanya mengadopsi paradigma pembangunan ala Barat yang hedonis materialistis. Bahkan kita dipaksa hanya memikirkan dan menerima sebuah realitas dunia tunggal seperti yang kita jalani. Seolah mustahil ada realitas dunia lain yang bisa kita kembangkan. Kita sudah terjebak pada satu pola pembangunan tunggal yang di-drive oleh paham materialistic hedonism.
Dengan Covid-19 ternyata kita diberi energi luar biasa untuk mengubah perilaku kita dan hasilnya adalah sebuah pengalaman dalam realitas hidup yang berbeda dengan yang kita jalani sehari hari. Ini menguatkan keyakinan bahwa sesungguhnya kita mampu menciptakan realitas dunia yang lain. Ada banyak alternatif realitas dunia yang jauh lebih manusiawi dan lebih harmoni dengan lingkungan dibanding selama ini.
Memang ini bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang mustahil. Ini sebuah perjalanan panjang menemukan kehidupan yang lebih baik yang boleh jadi sangat melelahkan bahkan membosankan (desperately seeking paradise). Semoga pasca Covid-19 kita lebih serius membangun realitas dunia yang lebih baik tersebut. Aamiin.
Sudah lama para ilmuwan tersebut gelisah saat mereka hanya menemukan worldview (cara pandang dunia) Barat yang sangat mekanistik, kuantitatif, dan materialistik. Lalu mereka menengok ke dunia Timur, dan mereka meraba-raba adanya worldview yang lebih organik, kualitatif, dan spiritualistik.
Salah satu yang mereka temukan adalah worldview China berupa Yin dan Yang (Fritjof Capra dalam “The Turning Point”). Yang adalah aspek dinamis, keriuhan, antusiasme, dan lahiriah, sementara Yin adalah aspek-aspek keteduhan, kesejukan, ketenangan, dan bathiniyah. Kedua aspek ini beriring sejalan membentuk realitas yang seimbang antara lahiriah dengan batiniyah, antara material dengan spiritual.
Di luar paradigma China, mereka juga mengidentifikasi adanya worldview Islam yang dalam banyak aspek berbeda dengan worldview Barat. Islam misalnya memiliki konsep penting yang disebut Tazkiyah. Al Quran menyebut orang yang berbahagia adalah orang-orang yang selalu melakukan tazkiyah. Tazkiyah (dalam beberapa kamus diterjemah kan sebagai growth and purification) adalah sebuah konsep penyucian diri dalam ruang dan waktu yang tidak vakum, sebuah konsep penyucian diri dalam dunia yang dinamis.
Didalamnya terkandung makna bahwa penyucian diri hanya memiliki arti ketika manusia tersebut aktif dan dinamis mengelola dunia. Dan sebaliknya penyucian diri kehilangan relevansinya bagi mereka yang sehari-hari mengisolasi diri di ruang atau pojok-pojok dunia. Konsep ini mendorong kaum Muslimin untuk selalu terlibat secara aktif dan proaktif dalam pengelolaan dunia dan pembangunan peradaban manusia (tugas Al Imarah, At Takwiniyah, membangun dan memakmurkan dunia).
Di saat bersamaan tazkiyah juga mewanti-wanti kaum Muslimin untuk tidak jor-joran dalam membangun dunia, mereka harus mawas diri jangan sampai merusak sifat asali (fitrah) manusia dan alam semesta secara umum (tugas Al Riayah, At Tasyri’iyah, memelihara dan menjaga dunia). Jadi tazkiyah adalah konsep penyucian diri yang dinamis, tidak statis, dan sekaligus konsep pembangunan dunia yang mawas diri. Dengan kata lain, ada dinamika dalam penyucian diri, dan ada mawas diri dalam membangun dunia.
Di luar konsep tazkiyah, Islam memiliki banyak konsep lain yang intinya adalah keseimbangan antara aspek-aspek material dengan spiritual, antara lahiriah dengan batiniah, antara keimanan dengan ikhtiar.
Di masa wabah Covid-19 ini kita menyaksikan ada beberapa ilmuwan baik dari kalangan Muslim maupun Nonmuslim, yang mencoba menampilkan ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan penanganan Covid-19. Salah satu yang menonjol adalah Craig Considine, seorang sosiolog Amerika yang sangat menaruh perhatian pada ajaran-ajaran Islam. Considine menulis opini di majalah Newsweek 17 Maret 2020 dengan judul: “Can the power of prayer alone stop a pandemic like the coronaviruses? Even the prophet Muhammad thought otherwise”.
Dia tulis bahwa para imunolog berkesimpulan cara efektif menghadang penyebaran virus adalah dengan menjaga kebersihan dan dengan karantina/isolasi diri. Lalu dia jelaskan bahwa selain para imunolog tersebut sesungguhnya ada orang lain yang juga menganjurkan hidup bersih dan karantina diri lebih dari 1400 tahun lalu yaitu Nabinya orang Islam, Muhammad saw.
Dia lalu menuliskan beberapa hadits Nabi Muhammad saw, seperti prinsip bahwa kebersihan sebagian dari iman, anjuran agar cuci tangan ketika bangun tidur, cuci tangan sebelum dan sesudah makan, selalu berobat di kala sakit karena setiap penyakit ada obatnya, juga tentang larangan mendatangi daerah yang sedang wabah dan keluar dari daerah wabah.
Bahkan menariknya, dia juga mengutip kisah seorang sahabat yang tidak menambatkan untanya dengan alasan dia tawakal kepada Allah Swt, lalu sahabat tersebut ditegur oleh Rasulullah Saw dan menyuruhnya menambat onta tersebut, baru setelah itu dipersilakan tawakal.
Considine seolah ingin menunjukkan bahwa ada nilai-nilai yang sudah lama diajarkan di dunia Islam terkait bagaimana caranya menghadapi wabah, yang mana itu sangat kompatibel dengan apa yang ditemukan hari ini di dunia kesehatan. Bahkan melihat judul opininya dan kisah sahabat dengan untanya tadi, saya menangkap dia ingin menunjukkan bahwa ajaran Islam itu sangat seimbang antara doa dengan usaha, antara keimanan (faith) dengan perjuangan (fight). Dan kesan itu makin kuat jika kita baca twit-twitnya di akun @CraigCons.
Bagi kaum beragama, terutama Islam, tentu kita bangga bahwa pada akhirnya nilai-nilai agama itu menjadi acuan dunia ketika manusia mencari nilai-nilai alternatif dalam kehidupannya. Kita harus yakin bahwa nilai-nilai agama akan selalu kompatibel dengan kebutuhan manusia karena memang agama ini dihadirkan Tuhan untuk jadi bimbingan kehidupan manusia.
Tentu ini adalah hikmah lain di balik Covid-19. Semoga kedepan ajaran agama dapat menjadi lilin penerang bagi ditemukannya realitas dunia yang lain yang lebih manusiawi dan menjaga harmoni alam semesta secara keseluruhan. Kerjasama antara tokoh dan umat beragama sangat diperlukan agar agama senantiasa menemukan relevansi dan signifikansinya bagi kehidupan manusia yang lebih baik.
Saudara-saudara, berikutnya saya akan sampaikan catatan-catatan terkait penanganan Covid-19 yang sudah dan sedang dilakukan pemerintah. Catatan ini tentu tetap dalam semangat #PKSKokohBersatuMelawanCorona. Catatan-catatan ini agar ada check and balances sehingga tata kelola pemerintahan semakin efektif dan berada dalam ketatanegaraan yang benar dan menjamin berjalannya demokrasi.
Kita saat ini berada pada kondisi titik balik atau turning point yang sangat krusial dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Krusial baik dalam pengelolaan wabah dan perekonomian, maupun penataan demokrasi kita. Mari bedah satu per satu.
Pertama, Pengelolaan Wabah.
Kemampuan kita sebagai bangsa dalam mengelola Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) akan sangat menentukan rute sejarah bangsa Indonesia di masa mendatang. Apakah kita mampu melaju di rute sejarah bangsa pemenang yang mampu mengubah krisis wabah ini menjadi kekuatan? Atau kita justru terjatuh pada rute sejarah bangsa pecundang yang tak berdaya membendung gelombang krisis? Atau kita hanya puas jadi bangsa medioker, yang hanya bisa jalan di tempat dan tidak mampu membuat perubahan dan kemajuan?
Cara pandang kita melihat pandemi Covid-19 ini akan menentukan sikap dan respon kita dalam mengelolanya. Jika kita memandang pandemi Covid-19 sebagai krisis besar yang membahayakan masa depan bangsa Indonesia maka kita akan sangat serius mempersiapkan diri dan memberikan respon kebijakan yang cepat, tepat dan akurat. Dan sebaliknya, jika kita menganggap ini wabah biasa seperti yang sebelumnya pernah terjadi dan terkesan meremehkan, maka respon kebijakan yang kita berikan juga akan asal-asalan.
Wabah pandemi Covid-19 adalah bencana kesehatan global terbesar abad ini. Wabah ini jauh lebih besar baik dari skala, magnitude dan kecepatan menyebarnya dibandingkan wabah yang sudah pernah terjadi dalam 20-30 tahun terakhir ini. Para epidemiologist berpendapat bahwa Covid-19 adalah bencana wabah terparah setelah Pandemi Spanish Influenza yang terjadi 100 tahun lalu pada 1918-1920.
Dalam hanya waktu 3 bulan sejak Outbreak pertama kali di kota Wuhan-Tiongkok pada 22 Januari 2020, virus ini telah menginfeksi lebih dari 2.5 juta jiwa di seluruh dunia dan menelan korban meninggal lebih dari 171 ribu jiwa (21/04/2020).
Bagaimana dengan Indonesia? Sejak outbreak pada 2 Maret 2020, Coronavirus sudah menginfeksi 7.135 jiwa dengan korban meninggal 616 jiwa per tanggal 21/04/2020. Tingkat kematian di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia yaitu 8.6% atau hampir 3 kali lipat rata-rata kematian tingkat dunia yang berkisar 2-3%.
Beberapa ahli menilai bahwa angka yang dilaporkan Pemerintah adalah angka yang underreported. Ikatan Dokter Indonesia misalnya menyatakan bahwa kematian di Indonesia seharusnya sudah mencapai angka 1000 jiwa. Angka ini hampir dua kali lipat dari angka resmi yang dikeluarkan pemerintah. Bahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melaporkan bahwa warga DKI Jakarta yang dimakamkan dengan Protokol Covid-19 telah mencapai 1.043 jiwa (per 16/04/2020).
Mengapa kasus di Indonesia tampak lebih sedikit? Jawabannya sederhana: karena Pemerintah tidak mampu melakukan testing dengan cepat dan masif. Ironis! Indonesia adalah salah satu negara yang paling rendah tingkat testingnya di dunia. Pemerintah hanya mampu melakukan testing terhadap 50.374 spesimen atau hanya 184 test per 1 juta populasi (per 21/04/2020).
Testing adalah satu kebijakan yang krusial dalam mitigasi penyebaran Covid-19. Tanpa testing yang cepat dan masif, kita tidak akan punya data dan informasi yangmemadai sebagai basis kebijakan. Apa mungkin mempetakan dan memitigasi penyebaran Covid-19 jika testing yang dijalankan Pemerintah sangat rendah?
Lambannya respon kebijakan Pemerintah Indonesia memunculkan kekhawatiran di mata dunia internasional, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Dalam sebuah kesempatan, WHO bahkan secara terbuka memperingatkan kepada Pemerintah Indonesia akan kemungkinan terburuk bahwa Indonesia berpotensi menjadi episentrum baru Wabah Pandemi Covid-19 di Asia. Peringatan ini harus jadi intropeksi bagi Pemerintah dan kita semua bangsa Indonesia.
Pemerintah bisa belajar dari negara-negara lain yang sudah mengalami wabah Covid-19 ini lebih dulu dan bagaimana mereka memformulasikan kebijakannya. Ada cara Tiongkok dan Eropa yang memilih lockdown policy (lockdown total atau pun lockdown parsial). Ada cara massive and rapid testing seperti Korea Selatan dan Singapura. Atau seperti Vietnam dengan komando militernya melakukan direct-contact tracing dan social distancing secara sangat ketat dan disiplin. Semua pilihan dan kebijakan ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Pilihan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan Pemerintah dengan cara mendesentralisasikannya berdasarkan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah semakin membuat kebijakan penanganan Covid-19 menjadi sangat lamban, tidak terkoordinasi dengan baik, tidak integratif dan seperti jalan sendiri-sendiri tanpa adanya satu komando dari Pemimpin tertinggi di Republik ini. Kebijakan tersebut terkesan Pemerintah Pusat ingin berlepas tangan dengan berbagi beban dan tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah.
Bahkan yang memprihatinkan adalah ketika dalam Pemerintah sendiri justru terjadi kegaduhan-kegaduhan. Di internal pemerintah terjadi sikap saling berbeda. Dalam situasi krisis, republik ini sangat membutuhkan hadirnya Pemimpin nasional yang dapat memberikan sense of direction and confidence kepada rakyatnya. Agar rakyat punya harapan dan keyakinan bahwa Pemimpinnya dapat diandalkan!
Kedua, Pengelolaan Perekonomian
Bangsa ini harus memiliki kesamaan pandangan bahwa keberhasilan atau kegagalan kita dalam memitigasi pandemi Covid-19 akan sangat menentukan nasib perekonomian nasional. Semakin baik kita memitigasi kerusakan yang ditimbulkan oleh wabah ini, semakin cepat pemulihan ekonomi nasional di masa mendatang. Dan sebaliknya, semakin buruk dan lamban kita memitigasi wabah ini, maka prospek perekonomian nasional akan semakin lambat pulihnya.
Keselamatan warga adalah hal yang utama dan pertama di atas segalanya termasuk di atas kepentingan ekonomi. Kondisi ekonomi nasional dan global cepat atau lambat akan pulih kembali (rebound), sedangkan warga yang meninggal tidak bisa kembali lagi. Setiap warga yang meninggal bukanlah angka statistik semata. Mereka adalah saudara-saudara kita yang memiliki keluarga yang sangat mencintai mereka. Bayangkan jika itu terjadi kepada diri kita, keluarga kita, kerabat kita dan sahabat kita. Tentu hal tersebut akan sangat menyedihkan hati kita.
Jangan pernah beranggapan bahwa warga yang meninggal dan yang terinfeksi sebagai biaya dari krisis (cost of crisis). Apalagi jika itu dianggap sebagai biaya dari pemulihan ekonomi (cost of economic recovery).Pemulihan ekonomi sejalan dan seiring dengan keberhasilan kita menyelamatkan nyawa warga kita. Selamatkan ekonomi Indonesia dengan menyelamatkan warga, bukan mengorbankan warga!
Namun demikian, sayang seribu sayang, ternyata respons kebijakan yang dipilih Pemerintah justru sebaliknya. Pemerintah lebih memilih kepentingan ekonomi di atas kepentingan penyelamatan nyawa warganya. Pemerintah lebih fokus mengatasi dampak Covid-19 terhadap perekonomian nasional dibandingkan memberi keberpihakan maksimal untuk memitigasi penyebaran Covid-19 itu sendiri.
Dalam merespons krisis wabah pandemi Covid-19, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan dalam Menangani Covid-19. Sayangnya, Perppu ini ternyata jauh lebih banyak diperuntukan guna menangani dampak Covid-19 terhadap ekonomi bukan untuk menekan laju penyebaran Covid-19 itu sendiri.
Perubahan postur APBN 2020 pun oleh Pemerintah lebih banyak digunakan sebagai stimulus ekonomi untuk mengantisipasi dampak ekonomi akibat Covid-19 bukan untuk memitigasi penyebaran Covid-19. Bagi Pemerintah alokasi belanja Rp20 triliun untuk kartu Pra Kerja dengan menu pelatihan online melalui platform digital jauh lebih penting daripada membeli kelengkapan APD dan obat-obatan bagi para tenaga medis kita, lebih penting dari menambah fasilitas pengobatan untuk Rumah Sakit di seluruh Indonesia atau lebih penting dari menyelenggarakan massive testing kepada masyarakat. Disinilah letak gagal paham Pemerintah dalam menangani wabah pandemi covid-19.
Stimulus fiskal Pemerintah seharusnya selain untuk menekan laju kasus Covid-19 juga lebih diprioritaskan kepada penguatan sistem jaminan sosial nasional (social safety net), bagi masyarakat miskin, rentan miskin, pekerja informal, petani-nelayan-buruh, pelaku UMKM yang mana mereka adalah kelompok mayoritas di negeri ini yang paling rentan dan terdampak dengan adanya Covid-19.
Perppu No.1 tahun 2020 justru berbicara lain. Ia lahir sebagai cara tercepat pemerintah menyukseskan agenda Omnibus Law Perpajakan untuk memberikan insentif pemotongan pajak bagi korporasi-korporasi besar yang beroperasi di sini. Pemerintah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Krisis sebagai pintu masuk untuk memberikan karpet merah bagi kepentingan pemodal dan korporasi.
Perppu No.1 juga menabrak rambu-rambu tata kelola yang baik (good governance) dalam pengelolaan fiskal dan moneter. Defisit APBN tidak berbatas. Bank Indonesia kehilangan independensinya dan dilibatkan dalam pendanaan APBN. Pemerintah bisa berhutang dalam skala dan jumlah yang tak terbatas. Defisit berapapun dalam jumlah sebesar apa pun diperbolehkan oleh Perppu ini.
Ini tentu membahayakan masa depan APBN kita bagi generasi mendatang. Hal ini tidak boleh dibiarkan. Harus ada pembatasan jika kita masih sayang dengan masa depan anak cucu kita nantinya. Mereka lah yang akan menanggung akibat semua ini.
Ketiga, Penataan Demokrasi
Titik balik penting berikutnya adalah tentang penataan demokrasi kita. Para pendiri Republik ini telah memilih jalan demokrasi sebagai sistem politik di Indonesia. Demokrasi menjamin kebebasan warganya dalam batas-batas konstitusi dan falsafah dasar kehidupan bernegara yang sudah menjadi kesepakatan para pendiri Republik ini.
Jika kita melihat kembali sejarah sejak Republik ini berdiri, tampak sekali bahwa tarik-menarik antara pro-demokrasi dengan anti-demokrasi itu terjadi. Demokrasi mengalami beberapa kali perubahan bentuk wajah sesuai karakteristik dari rezim yang berkuasa. Meskipun tiap rezim mengklaim eranya menjalankan demokrasi tapi faktanya sistem yang berjalan masih jauh dari prinsip-prinsip demokrasi.
Fakta menunjukkan, seringkali krisis membuka dua kemungkinan. Yaitu jatuhnya pemerintahan yang otoriter dan lahirnya pemerintahan yang demokratis atau sebaliknya bangkitnya pemerintahan yang otoriter dan matinya demokrasi. Dalam analisis kami Perppu No.1 tahun 2020 memberi jalan terbuka bagi lahirnya pemerintahan otoriter. Atas nama penyelamatan ekonomi Perppu tersebut memberi legitimasi benih-benih otoritarianisme melalui perundang-undangan.
Perppu No.1 tahun 2020 secara eksplisit memangkas hak-hak legislasi dan anggaran DPR RI. Perubahan postur APBN cukup melalui proses Peraturan Presiden tanpa melalui proses legislasi UU yang harus mendapatkan persetujuan DPR RI sebagaimana amanat Konstitusi kita UUD NRI 1945.
Sebagaimana kredo politik yang sangat masyhur “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely,” maka penting ada pembagian kekuasaan Trias Politica agar terjadi ‘check’ and ‘balances’. Kekuasaan tidak boleh dimonopoli oleh eksekutif. Dalam sistem Presidensial dimana Presiden dipisahkan dari kekuasaan parlemen dan merupakan penguasa tertinggi Lembaga Eksekutif, ia harus dikontrol oleh kekuasaan legislatif. Sehingga gerak langkah Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan tetap pada rel yang benar sesuai dengan Konstitusi dan Perundang-undangan yang berlaku.
DPR RI tidak boleh menjadi ‘Rubber Stamp’ yang hanya jadi tukang stempel kebijakan-kebijakan pemerintah. DPR RI harus bersikap rasional dan kritis atas setiap kebijakan pemerintah. Karena itu DPR RI sebagai kekuatan legislatif harus bersikap sebagai kekuatan penyeimbang Pemerintah dan pejuang suara hati rakyat.
Perppu No.1 tahun 2020 ini memiliki potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan potensi penyalahgunaan penggunaan sumber daya keuangan (abuse of money). Perppu ini tidak hanya memangkas hak legislasi dan anggaran DPR RI, tapi juga memberikan kekebalan hukum kepada penyelenggara pemerintahan dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Konstitusi sudah jelas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan. Dan semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Tidak ada satu pun warga negara di Republik Indonesia yang berhak mendapatkan kekebalan hukum. Bahkan Presiden sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan pun memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.
Oleh karena itu, demi menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia dan menjaga amanat konstitusi, DPP PKS memerintahkan Fraksi PKS DPR RI untuk mengkaji lebih dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan menyiapkan argumen-argumen rasional konstitusional sebagai bahan FPKS menolak Perppu tersebut dijadikan Undang-Undang.
Baca Juga: 22 Tahun PKS: Dua Digit, Dua Periode Oposisi, Dua Besar di 2024?
Saya juga mengajak kepada seluruh Pimpinan Partai Politik dan Pimpinan DPR RI untuk bersama-sama menyelamatkan dan mengawal demokrasi dan konstitusi kita agar tetap on the track! Demikian. Semoga catatan ini bermanfaat untuk kita semua.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Oleh: Mohamad Sohibul Iman, PhD
Presiden Partai Keadilan Sejahtera